Saturday, November 12, 2005
Winning hearts and minds to prevent terrorism
Opinion and Editorial - November 11, 2005
Estananto, Frankfurt (actually I live in Munich)
Vice President Jusuf Kalla in a recent interview said that the government would take stronger measures in the war against terrorism, including taking a closer look at pesantren (Islamic boarding schools).
This step is to prevent radicalism being taught to young students. Specifically, Kalla mentioned three names: Imam Samudra, Sayyid Qutb and Hasan Al-Banna.
In addition, he mentioned also "Khawarijism" as being a dangerous stream of thought (Gatra, Oct. 24, 2005). Later however, Kalla said that only two pesantren required intensive observation. He also denied the existence of Jamaah Islamiyah.
Separately, Hery Haryanto Azumi, chairman of PMII -- an autonomous youth body of Nahdlatul Ulama that represents many pesantrens -- told reporters that only 3 percent of approximately 17,000 pesantrens taught radicalism to their students (NU online). Based on this assumption, this means that approximately 500 pesantren should be looked at by the authorities -- far more than the mere two mentioned by Kalla. This puts a big question mark about what exactly is meant by radical teachings and how far these teachings influence society.
The 33-year-old terrorist Imam Samudra published his autobiography in August 2004, entitled Aku Melawan Teroris (I Oppose Terrorists). He wrote his story from childhood to his time in Afghanistan, an experience that he says turned him into a "true Muslim".
What has been written by Samudra shows that his personal understanding of Islam grew from Afghanistan and was far from the Islamic traditions of Indonesia. Since Indonesia's independence in 1945, Muslim organizations here have been committed to democracy.
Although about 90 percent of Indonesians are ostensibly Muslim, from their very nature most have no desire or intention to force their religion upon the state. This is because they know that Islamic law as demanded in the Koran and Hadith could be substantively -- if not literally -- implemented within a multicultural society.
In 2002, when the 1945 constitution was to be amended, only two Islamic parties voted for the "Jakarta Charter" that explicitly stated that "Muslim citizens should live according Islamic sharia law". Two other Muslim-based parties, the National Awakening Party (PKB) and the National Mandate Party (PAN) have rejected this idea. Meanwhile, the Prosperous Justice Party (PKS) as a new, young party, proposed the Madina charter as model, that everyone should be free to practice his/her religion.
This is why many Indonesians do not believe that Indonesia is a safe haven for terrorists. They cannot believe that some form of Afghanistan-style jihad could spread to Indonesia, even though they may have expressed some solidarity with the Afghan people when they were invaded by the then-Soviet Union.
But from Samudra's story, we can see that the development of terrorists here is possible.
Afghan "jihad" alumni are not the only ones. In another context, famous Egyptian scholar Sayyid Qutb, with his monumental works like Milestones and Under the Shadow of the Koran, interpreted how a Muslim should draw a line between Islam and jahiliyya (ignorance, pre-Islamic) in very clear way.
Although it is not proven that Qutb's works spark "license-to-kill" thinking against those who do not stand "with us", the pattern seems to be "you're either with us or with them". In these works, Qutb shows that this polarized approach is a consequence of Islamic doctrine itself. The background of when Qutb wrote his works until his death by hanging in 1966 is seldom openly discussed.
Nasser's regime in Egypt was repressing all opposition, and this caused Qutb to fight back in the form of radicalism, in addition to some ideas about "purification" from the Salafists. Qutb's works spread to Indonesia mainly in the 1980s, with the publication of an Indonesian translation of The Milestones, Petunjuk Jalan, in 1980.
Kalla's proposal to ban Qutb's books would be difficult to carry out in reality. In the 1980s, some illegal Islamic magazines also publicized Qutb ideas that were freely circulated, despite strong control from the military-led New Order regime. The government, with their then-powerful intelligence apparatus, were not able to watch every corner of the vast Indonesian archipelago, including youth communities in Java that were very influential.
Now these same magazines, with more friendly styles, are being sold freely on the streets. The government can not reverse this; they can only offer alternatives. When people come to realize that Qutb's ideas are not proper for Indonesia in the modern context, they will not be influenced by even more radical ideology.
The government together with civil society should be more active in promoting a cultural Islam in Indonesia. It is not a struggle between secularists and religionists, but rather a front for discussing how to participate in modern, multicultural Indonesia.
The government must also clean up the corrupt bureaucracy. If one is able to have more than one Indonesian ID card with different addresses and even different names, does anyone have to wonder why fugitive terrorists like Malaysians Noordin M. Top and Dr. Azhaari cannot be found?
Fighting against terrorists and the seeds of terrorism is a multi-faceted war. It is not a question of who should be blamed yesterday, today, or tomorrow. The challenge is like the classic tactic of guerrilla war: winning people's hearts, and separating the terrorists from the people who cover for them.
This tactic was used in West Java when fighting against the rebellious Darul Islam, and was done in form of so-called pagar betis" (lit. "fence of people") to prevent rebels fleeing their positions. The government succeeded in convincing the people that "Darul Islam" was different from their own Islam. Without this, the Darul Islam rebellion would never have ended.
The writer is an Indonesian engineer living in Germany.
Thursday, November 10, 2005
Hari Pahlawan Kelabu
Hari Pahlawan Kelabu
Oleh ESTANANTO
TANGGAL 10 November, bangsa Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan yang ke-60. Enam puluh tahun yang lalu, salah satu peristiwa monumental yang menghasilkan korban gugur sebanyak 16 ribu orang Indonesia telah terjadi di Surabaya.
Angka 16 ribu ini diperoleh wartawan senior Rosihan Anwar dari Roeslan Abdoelgani, yang mendapatkan data dari Kepala Rumah Sakit Republik, dr. Mohammad Suwandhi (Harian Berita Sore Online).
Gugur sebanyak itu adalah hasil pertempuran dengan Divisi India-5 pimpinan Jenderal Mansergh berkekuatan 24 ribu prajurit dengan 24 buah tank Sherman, 24 buah pesawat tempur, yang telah teruji memenangkan Perang Dunia II yang dahsyat itu. Tentara Inggris gagal menguasai Surabaya dalam tiga hari sebagaimana diperkirakan, sehingga menimbulkan tanda tanya besar bagi tentara Sekutu atas apa yang terjadi di Indonesia. Menurut Rosihan Anwar lagi, tentara Inggris kehilangan 4 ribu orang dalam pertempuran Surabaya sehingga jumlah korban jiwa seluruhnya 20 ribu orang. Sedemikian gigihnya para pejuang mempertahankan Surabaya pada saat itu, akhirnya peristiwa itu diabadikan oleh pemerintah RI sebagai Hari Pahlawan.
Kiai dari Jabar
Di depan Simposium dan Silaturahmi Kader NU Luar Negeri di Kairo tanggal 30 Juli 2003, K.H. Said Aqil Siradj menceritakan bahwa dalam pertempuran Surabaya bukan hanya pejuang dari Jawa Timur yang ikut melawan tentara Sekutu, melainkan dari seluruh Jawa, bahkan Jawa Barat. Semuanya diawali oleh Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang memerintahkan "melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam" yang diikuti banyak ulama, termasuk para kiai dari Buntet, Arjawinangun, dan Babakan Ciwaringin, yang kesemuanya dari Cirebon, juga ada Kiai Suja'i dari Indramayu. Konon menurut Said Aqil, yang juga berasal, Cirebon, K.H. Abdullah Abbas dari Buntet turut terjun di medan pertempuran Surabaya.
Yang mengharukan dari kisah Kiai Said adalah bahwa dalam pertempuran itu yang diturunkan oleh Inggris menyerbu Surabaya bukanlah tentara dari Eropa melainkan dari India. Sebagai jajahan Inggris India memang terkenal sebagai penyumbang tentara dalam peperangan-peperangan di Perang Dunia II. Salah satu anggota tentara Divisi India ke-5 ini adalah Letnan Zia-ul-Haq, yang kemudian hari menjadi Presiden Pakistan (Pakistan tahun 1947 memutuskan merdeka terpisah dari India).
Masih menurut Kiai Said - yang belum pernah dituturkan ahli sejarah manapun - Zia-ul-Haq ketika melihat lawannya adalah di antaranya para santri, yang juga berwudu dan berzikir, akhirnya menolak ikut perang dan menyuruh anak buahnya untuk menghindari medan perang.
Tidak menutup kemungkinan bahwa pesantren lain di Jawa Barat juga mengirimkan santrinya dalam pertempuran Surabaya. Data sejarah kita belum terlalu baik dikumpulkan, sehingga generasi puluhan tahun sesudahnya tidak dapat lagi menemukan bukti-bukti tertulisnya. Ini merupakan bencana besar bagi sebuah bangsa yang ingin menemukan jati dirinya sendiri, bukan jati diri orang lain. Namun yang jelas, resolusi jihad untuk mempertahankan Negara RI Merdeka dan Agama Islam telah bergema dan turut membuat Belanda berpikir ulang kembali untuk menundukkan bekas wilayah jajahannya. Tentara pemenang Perang Dunia dengan dukungan kekuatan penuh darat, laut, dan udara hanya mampu merebut Surabaya dalam waktu tiga minggu, jauh dari target semula yaitu tiga hari. Sangat pantas jika diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Mengapa menjadi kelabu?
Enam puluh tahun setelah peristiwa heroik di Surabaya, apakah yang masih tersisa? Walaupun persiapan perayaan 60 tahun 10 November relatif kurang dirasakan dibandingkan peringatan 60 tahun kemerdekaan RI ataupun 60 tahun hari TNI, namun tentu bukan itu masalahnya.
Suasana duka bangsa yang dilanda krisis berkepanjangan, selalu menempati 10 besar negara terkorup di dunia, harga bahan bakar minyak yang kenaikannya lebih dari 100% yang akhirnya memicu kenaikan harga-harga hingga 15%, membuat kebanggaan dan keinginan meneladani pejuang 10 November mempertahankan negara dari campur tangan luar menjadi hambar. Duka lara ini ditambah oleh serangan demi serangan teror yang terus menimpa rakyat Indonesia, terakhir terjadi di Bali tanggal 1 Oktober 2005.
Teror terakhir ini sampai membuat wacana berkepanjangan tentang pengawasan terhadap pesantren-pesantren yang diduga mengembangkan ajaran radikal. Belakangan Wakil Presiden Jusuf Kalla meralat ucapannya menjadi hanya dua pesantren yang akan diawasi. Berbagai kalangan dalam dan luar negeri sangat yakin bahwa pelakunya adalah anggota Jamaah Islamiyah. Jusuf Kalla membantah keberadaan Jamaah Islamiyah.
Sebaliknya kalangan lain seperti Rohan Gunaratna berpendapat sebaliknya. Dalam halaman blognya, Rizqon Khamami, salah seorang intelektual muda Nahdlatul 'Ulama, menyatakan Jamaah Islamiyah benar ada, setidaknya menurut Asrori S. Kamil, seorang wartawan. Sekarang, kalaupun JI ini benar ada, mengapa dia mampu membuat jaringan pengeboman yang sangat kuat padahal jarang orang Indonesia yang mengenal atau bahkan mendengar namanya? Ataukah JI hanya "operator" dari jaringan yang lebih canggih lagi?
Lebih menghebohkan lagi adalah sebuah opini di Harian Kompas tanggal 7 November 2005. Dengan lugas Ariel Heryanto, seorang pengajar di Universitas Melbourne, membeberkan apa yang dilihatnya dalam sebuah serial jaringan televisi SBS. Jaringan ini menayangkan karya David O'Shea pada tanggal 12 Oktober 2005 yang judulnya cukup menyeramkan: Inside Indonesia: War on Terror. Apa yang disampaikan Shea cukup membuat seram pula: bukan kelompok jamaah Islamiyah yang membuat teror, melainkan tentara, polisi, dan jaringan intelijen Indonesia sendiri. Dalam beberapa saat SBS tidak lagi menayangkan transkrip acara itu dalam halaman internetnya, padahal untuk program lain transkrip selalu tersedia di halaman itu.
Jika Shea benar, tentu makin menambah kelabu perayaan ke-60 Hari Pahlawan kali ini. Jika kerusuhan dan ledakan bom yang menewaskan banyak orang memang sengaja dipelihara, alangkah kejamnya. Kerugian tak terhitung dari material dan nonmaterial, hingga cap dari dunia internasional kepada bangsa Indonesia sebagai bangsa teroris. Cap hina yang sama buruknya dengan bangsa koruptor, apalagi kedua-duanya.
Tentu sangat memprihatinkan, bahwa hingga kini pelaku bom Bali II belum bisa diungkap sama sekali. Kini dengan kesaksian Shea itu, seharusnya kita tertantang untuk membuktikan apakah tuduhan itu benar atau salah. Penulis sendiri berkeinginan bahwa tuduhan itu salah, namun tentu harus ada counter atas setiap argumen Shea, termasuk terhadap pendapat seorang mantan Presiden RI dan saksi-saksi lain yang diwawancarai oleh Shea. Kalau tidak, tidak ada yang bisa disalahkan jika orang berpendapat bahwa Shea benar. Sudahilah air mata yang terus berderai, bangkitlah sebagaimana Gubernur Suryo menjawab tantangan Jenderal Mansergh. Demi Republik Indonesia yang merdeka.***
Penulis, insinyur kelahiran Bandung, tinggal di Munich, Jerman.
Monday, November 07, 2005
Sunday, October 23, 2005
Dengan Menyebut Nama Allah
Munsyid : M. Arifin Ilham
http://liriknasyid.com
Jalani hidupmu
Yakinkan niatmu
Jangan pernah ragu
Dengan menyebut nama Alloh
Bulatkan tekatmu
Menempuh nasibmu
Kemanapun menuju
Serahkanlah hidup dan matimu
Serahkan pada Alloh semata
Serahkan duka gembiramu
Agar damai senantiasa hatimu
**Lagu ini pertama kali dibawakan oleh Novia Kolopaking (istri Emha Ainun Najib)
**Pernah juga dibawakan oleh Kelompok Warna
Wednesday, September 21, 2005
Fuel Price: 60% more
Indonesia at the crossroad: if fuel subsidies is not cut then the state budget will be heavily burdened when oil prices' fluctuation reaches some of its highest peaks. The uncertainty of Middle East politics would be of course a great influence, plus recent big hurricane which also damaged some oil facilities in America's off-shore. The oil prices in Indonesia is extremely low in South East Asia, approximately 50% of that in Malaysia, for example. Oil smuggling is found to be difficult to fight because you can get up to 100% profit if you succeed to sell Indonesian oil outside. It happens everywhere, from western borders with Singapore and Malaysia to eastern borders with East Timor and Papua New Guinea. In Kompas newspaper it is said that the state loss because of fuel smuggling could reach approximately Rp. 56 trillion, or US$5.6 billion per year. This is because actual oil price in Indonesia in 2003 was even under production costs that should be heavily subsidized.
But on the other hand, raising fuel price could cause also raising price of commodities, up to 40%. The reason what is repeatedly argued is that higher fuel price will raise also production costs, distribution costs, also retail costs to consuments. It will be a big problem for poor people. Therefore VP Jusuf Kalla said that the first priority should be to complete compensastion of fuel price raising in March 2005 to the poor people. It is harder than what is said because government databases in district levels are rather bad. It has no relation with e.g. data about their work. Indonesians usually only asked to write down their status in the ID card but a complete database about where they work, how much they earn, how much tax they pay, do they have pension funds, health insurance, etc seem to be blank for the official. For ID card itself you have two ways to do it: normal, that means you should wait for a week. and "fast way", you can have it less than 3 days with some extra (illegal) money.
It is sad to be true. Should all bureacracy system be heavily reformed first and the costs to to do that will be burdened to budget reallocation from oil subsidies? About Rp. 14 trillion or US$ 1.4 billion per year should be enough to terminate inefficient bureaucrats, building up a modern database. Modern database doesn't always mean sophisticated computer system database but a good archiving which needs a high discipline should be built, and of course, an anti-corruption system.
Tuesday, September 06, 2005
90 nm and beyond
If you are aware enough at recent computers' processor development, you'll see that now the manufacturers sell also the dimension of their transistors in their chips. Intel or AMD, for example, boast their ability to build chip consists of 90-nm transistors or at least 130-nm transistors. What does it mean?
The smaller transistor makes you to put more transistors in the same area. More transistors can be designed into more functionalities. More functionalites enhance complexity. You can have more applications with more features. In one version of Intel Pentium 4, there are at least 55 millions transistors inside. Just imagine!
Smaller transistors need also lower (operational) power per transistor for the same performance. But the problem is, as mentioned above more and more transistors are packed in the same - or smaller - area. These will produce more heat, and according to one estimation, if nothing is done then heat per area in a processor would be as high as that of rocket's nozzle. The other effect is: when you have smaller channel of CMOS transistors, you have also more leakage current - and that means also leakage power in stand-by. If the transistor is not active, you will have leakage and this would be serious challenge to future development of processor. Theere are some ways to control leakage power: to use some high-threshold transistors in non-critical path, to use bias voltage in the "body", using "sleep-mode" when the circuit in stand-by, or putting insulator between substrate and transistors called Silicon on insulator (SOI). There are, of course - still many ways to explore to overcome this problem.
Sunday, September 04, 2005
War against corruption
"Corruption is closely linked to the way in which governments conduct their affairs, and, therefore, also to the growth of governments' economic activities."
This should be mostly connected to long discussion how to end corruption in Indonesia. My question should be:
"If Indonesian people really wants to end corruption, then we should be able to look at the 2004 General Election's result. Indeed, could we see this people's will at the House of Representatives?"
Then as my first "postulate": I doubt that the Indonesian people really wants to end rampant nationwide corruption. I myself am an Indonesian, born in Indonesia, grew up in Indonesia, and will be back to Indonesia once my job in Germany finished. I feel what the people think, they want a "just prosperous society". But how to build it, they will answer, "it depends on the government.". Again government should be a "fairy tale godfather"?
I won't deny important role of leadership here. A strong good leadership will build a strong good trust. Be this trust to the government, to the people, and vice versa, this would be a fundamental capital of government-people relationship. But unfortunately, I couldn't see this in Indonesia.
Now we have democracy, even one of the most complicated election in the world. The people should vote three times in 2004: first, the members of House of Representatives and DPD (Provincial Representative Assembly). Second, first round presidential election. Third, second round presidential election, once the first failed to pass only one pair candidate elected by 51% of voters. The issue of clean government was already discussed many times, but, as we could see now, it had small impact. The people doesn't want it as top agenda, as their interests will depend of their own cronies.
Like in other Asian cultures, Indonesians spend most of their times in their big families. Also when unemployment in Indonesia reaches 30 millions this year, the government could say but this is not a crisis, because avary (big) family will take care of its (unemployment) members. That's why, if one of your crony has a good position, his other family members will be at least very proud.
What still missing from this culture is the awareness, that the ability from the big family to support the whole family is very limited. In the Western countries this role is taken by the state with social state concept, whose prerequisite is a clean, strong bureacracy, but in Indonesia the state is still not able to build that.
This is the first challenge to Indonesians, if they realize that cronies woulb be not enough to support all their relatives, so that they should adapt themselves to think a little bit selfish: let the state be trustful enough and the people keep this trust while transforming themselves to an information society.
Monday, August 15, 2005
Story from corruption jungle (2)
Still in Bahasa Indonesia :-)
ISTIQAMAH BAGIAN II
MENGURUS SIM (Surat Izin Mengemudi) MUNGKINKAH DENGAN PROSEDUR RESMI ?
SIM C saya habis tangg 5 Mei 2005, dulu saat tahun 2000 saya membuat sim di Bandung dengan cara "nembak".
Kemudian tanggal 3 Mei 2005 saya berangkat ke Daan Mogot (Pelayanan Pembuatan SIM) kebetulan saya sudah pindah KTP, yang di Bandung di "hanguskan". Sebetulnya bisa saja saya punya 2 KTP, tapi saya mau menjadi warga negara yang baik, walaupun akhirnya bingung juga akhirnya (bingung bisa dilihat akhir kisah ini).
Saya naik Bis Kota jurusan Kaliders turun langsung di depat gerbangnya, saat turun banyak orang yang menghampiri mereka menawarkan jasa pengurusan SIM (mereka berwajah serem dan berdialek daei "sebrang") saya langsung menolaknya sambil bergegas menyebrang jalan, saat di bawah gerbang situasi aman-aman ada beberapa polisi bersergam mengatur lalulintas, tapi di sebelah gerbang banyak sekali orang-orang yang setype dengan orang yang menghampiri saya saat turun dari biskota, dan ternyata mereka juga sama calo (nanti akan ketahuan di dalam kisah ini), ternyata disana banyak tukang ojek, yang menawarkan jasa ojek dengan kata-kata "ayo ojek pak Rp. 2000,- saja jauh pak kedalamnya" begitu bujuk tukang ojek, saat itu banyak yang memanfaatkan jasa mereka, saya tidak menolaknya, saya perhatikan para penumpang dan tukang ojek itu akrab sekali terlihat mereka ngobrol (dan ternyata diakhir kisah ini mereka juga ketahuan adalah calo), lalu saya bergegas berjalan kaki, sampailah say! a di pintu yang dijaga polisi disitu polisi dilengkapi sound system, dan petugas berseragam memberikan pengumuman, kurang lebih isinya "perhatian kepada para calon pembuat sim diharapkan untuk mengurus simnya tidak melewati calo, kami tidak bertanggung jawab dengan kejadian-kejadian yang terjadi, silahkan mengurusnya sesuai prosedur, apabila butuh informasi silahkan menghubungi bagian informasi", begitu.
Lalu saya masuk lagi, dirasa-rasa cukup jauh juga saya berjalan kaki + 200 M, tapi tetep saya jalan kaki walau kerasa cape. Di pinggir jalan banyak tukang jual pensil, pulpen, penghapus (saya tidak begitu peduli dengan penjual itu, saya pikir saya kan akan memperpanjang SIM tidak akan di Test dan tidak ,membutuhkan alat tulis), lalu saya masuk di area parkir kebetulan saya melewati tempat parkir motor ada yang menghampiri, mereka tukang ojek dan tukang parkir, mereka menawarkan jasa pengurusan SIM,"Pak ngurus sim, perpanjang atau baru, ayo sama saya aja ini resmi kok lewat koperasi," saya menolaknya, lalu saya masuk ke gedung, di depan ada petugas polisi memeriksa KTP terus ada metal detector, saya masuk langsung bertanya ke bagian informasi, disana saya ditanya mau buat baru atau perpanjang, saya bilang perpanjang. lalu saya ditunjuki, tapi polisi itu sesudah itu mengatakan,"mau ngurus sendiri, atau mau dibantuin"? saya menolak dengan senyum lalu saya menuju loket pendaftaran, saya harus membayar Rp.10.000 untuk pemeriksaaan kesehatan, lalu saya bayar dan mengantri diperiksa kesehatan, saya pikir periksa kesehatan itu seperti di tensi lah minimal, ternyata hanya di suruh duduk dan disuruh membaca huruf dari slide yg diputar denan cepat, tanpa bisa saya membaca, tapi sudah di suruh selesai, saya bingung tapi saya ikuti petunjuk dia untuk menunggu hasilnya, selesai lalu membayar pendaftaran pembuatan SIM Rp. 75.000,- setelah itu menuju loket lain membayar Asuransi Rp. 15.000,- Total saat itu membayar Rp. 100.000,-, Namun Ganjalan mulai menghadang, saat membayar asuransi saya ditanya dengan Bahasa Sunda oleh petugas asuransi "Kang dadan cobi ninggal SIM na, wah iyeumah teu tiasa diperpanjang kecuali kang dadan ambil berkas di Bandung," saya kaget hah! masa saya harus ngmabil berkas di polres bandung, "wah teu tiasa atuh kang kedah ka bandng mah," saya jawab, "upami kita dibatos wae," kata dia,"bantos kumaha,"kata saya. "Upami bade dibat! os ampe selesai kang dadan tinggal calik terus diphoto Rp. 300.000, upami teu kersa kedah buat SIM baru dan melalui test heula terus kalau tidak lulus bayarnya Rp.400.000,-,.wah besar sekali dan saya ditakuti dengan Rp.400.000, tapi saya menolak dan memilih ikut test, akhirnya saya ikut test, saya daftar test dan mulailah dengan soal 30, score minimal 18, selesai test saya menunggu di loket 5, ternyata tidak lulus scorenya score saya 16. Saat mengambil hasil test saya di sarankan untuk naik ke ruang test untuk di "Bantu", saya naik dikira ada "remidial" ternyata saya harus bayar Rp.250.000,- dan petugas bilang dengan uang segini bapak tinggal duduk langsungg photo, dan dianggap lulus dapat SIM. tapi bagi yang tidak bayar kembali 2 hari kemudian. Saya menolak untuk bayar dan memilih untuk ikut test yg kedua kalinya.
Saya pikir harus cari tahu soal-soal test, akhirnya ada teman yg menyarankan saya membeli buku SIM, saya keliling di Kwitang akhirnya ketemu dan membelinya Rp.20.000, dengan PD saya pelajari dan yakin lah saya akan lulus. Hari ujian saya datang dengan PD nya, lalu saya ambil soal dan ternyata pas nomor soalnya sama dengan yg pertam akali saya ujian, saya isi dengan yakin 100% benar semua. lalu menunggu hasil, dipanggil dan ternyata score saya cuma 17. dengan lemas dan penuh tanya kok gak lulus, terus saya minta lembar jawaban saya tapi mereka menyampaikan itu tidak di bagikan. dengan kesal saya pergi dan disuruh kembali lagi 2 hari kemudian. sebelum pulang saya duduk dengan lemas, dan memperhatikan buanyak sekali petugas baik yg berseragam lengkap maupun seragam sipil, berlalu lalang membawa para pembuat sim, dan ternyata mereka calo "tulen". Dalam hati ya Allah zhalim sekali orang-orang itu (petugas) dan enak sekali orang yg membuat SIM dengan calo, hanya duduk bayar lal! u tinggal photo, selesai mereka".
Dan yang tidak tahu malunya itu, bagian informasi memberikan informasi kurang lebih "Para pembuat SIM, jangan melewati calo dalam pembuatan SIM lebih baik mengurus sesuai prosedur," terus saya baca banner di dinding bertuliskan dan bergambar karikatur akibat mengurus sim lewat calo beginilah tergambar tabrakan. Saya pikir ini aturan-aturan moral teteo bobrok. dengan lemah saya menuju keluar, sesampainya di luar saya naik ojek karena lemes, dan tukang ojek itu menawarkan jasnya sekali lagi saat saya naik ojek dia, lalu saya tolak. Sesampai di gerbang saat saya mau menunggu bis jurusan pulogadung karena saya mau ke sekretariat kalam, tiba2 ada yg menghampiri dengan tawaran membantu membuatkan sim, tapi saya tolak dan langsung naik bis.
2 hari kemudian saya ikut test kembali kembali dengan penuh percaya diri karena saya sudah belajar lewat buku yg memang sangat persis dengan soal yg saya ikuti di saat ujian. Akhirnya ikut ujian dan ternyata alhamdulillah saya lulus tapi yang jadi pertanyaan score saya pas 18, kenapa saya yakin 100 % jawab dengan benar, saya menilai ada usaha membuat cape pembuat sim yg akhirnya bayar calo.
Lalu saya ikut test praktek, naik motor, sampai di lapangan ada yang menyapa saya,"buat sim pak, ya jawab saya. "saya sudah 3 kali ini belum lulus juga," hah 3 kali pak, masa..." iya. saya kemarin diminta bayar Rp.220.000, tapi saya menawarnya,kata polisi itu tidak bisa karena kalo segitu saya tidak kebagian, kata polisi yang menawarkan jasanya kepada bapak tadi. Saya melihat kasihan sekali bapak itu, pedahal saya juga akan menjadi korban juga dan "Kacian juga". Akhirnya saya dapat giliran naik motor di di test, ada usaha curang polisi, bagaimana saya bisa melewati rintangan kayu yg jaraknya hanya 50cm sedangkan motor iti pas 50cm belum ada standar, dan aturannya kalu jatuh 3 kali patok kayu itu gagal dan harus ikut test ulang kemudian hari. dan memang saya tidak bisa melewati patok tersebut.
Ada yang sangat menyakitkan hati, saat orang yg dibelakang saya sama gagal dalam melewati rintangan test tadi anehnya dia ditandatangani dan lulus, lalu saya bertanya "kok dia lulus pak, dia kan tidak bisa melewati rintangan kayu itu," petugas yg men test saya menjawab,"dia pake uang, bapak tidak, wajar kalo dia lulus," hah saya kaget dan kecewa sekali, tidakbisa ngomong lagi dan pergi saya. Ketemu lagi sama bapak yang tadi yg sudah 3 kali dan 4 kali tidak lulus dengan hari itu. Dia lemas juga dan sama-sama pulang.
Saya sampai saat ini tidak mempunyai SIM, masih yg sudah mati. Tapi dengan terpaksa saya jadi penjahat dengan melanggar aturan, yaitu mengemudikan motor tanpa SIM, saya tertekan dengan kejadian membuat SIM tersebut, dan malas untuk kembali kesana. Saya kebetulan punya sim A juga yang habisnya 5 mei 2006, tidak tahu nasibnya bagaimana ? nanti saat perpanjangan.
Kisah ini adalah sekelumit dari sudah mengakarnya korupsi di negeri kita, yang sudah sangat sistemic dan jadi rahasia umum,
saya jadi bertanya sahabat2 saya di kalam salman, baitnet, para ustadz (aagym, arifin ilham dll) pejabat, anggota DPR bahkan Presiden yang pasti punya SIM A, bagaimana mereka mendapatkan SIM, apakah nembak juga, apakah hukumnya nembak dalam membuat SIM tidak termasuk Riswah (suap) korupsi yang sudah mengakar dan harus diberantas ?????????????????
Saya tidak tahu, yang jelas saat ini saya selalu ketakutan kalau ada polisi lalu lintas, dan selalu mewaspadai ada razia gak nih?????/, akhirnya saya mempelajari bahwa polisi biasanya merazia pengendara dari jam 9.00 atau 10.00 pagi sampai jam 14.00, maka saya berusah tidak mengendarai motor saat jam tersebut, hanya karena jadi penjahat tetep saja walau sampai saat ini masih lolos, saya ketakutan sekali kena tilang, karena sim c saya mati......................, makanya petengahan juni saya jatuh dari motor, pagi itu memang jalan licin bekas hujan subuhnya, ban depan motor saya sudah gundul dan pas di daerah kalimalang ada pos polisi sedang mengadakan razia (tapi dari arah berlawanan) jalan yang akan saya lewati tidak dirazia ternyata, tapi saya khawatir saya tidak memperhatikan jalan dan malah memperhatikan polisi, tidak tahunya di depan ada yang mau lewat akhirnya saya rem mendadak rem depan lagi dan terjatuhlah saya, namun alhamdulillahnya orang yg nyebrang tidak ketaba! rak, polisi juga tidak melihat saya jatuh (sedikit jauh) dengan razia itu, segera saya bangun walau saat itu stang motor saya bengkok dan saya terpincang sakit sekali. langsung ke pinggir (kebetulan jalan sepi dibelakang saya walaupun saat itu lalulintas rame sekali) jadi saya tidak ketabark kendaraan di belakang ahamdulillah, saya tidak jadi ke sekretariat langsung ke bengkel dan pulang lumayan sakit sekali, luka di lutut, paha kanan dan sikut kanan sedikit. tulangnya ngilu. tapi Al Hamdulillah sudah sembuh dan sehat saat ini.
Tapi tetap khawatir kena tilang, karena masih belum punya SIM
Sekedar cerita dan mungkin bisa diambil hikmahnya, berkaitan dengan korupsi di kepolisian, mudah-mudahan harapan besar setelah ada Kapolri baru ada perubahan!!!!!!!!!!!!!!, tapi apakah SUTANTO bisa ???? awali awali dari diri kita ???? mari
Maaf apabila tidak berkenan
Wassalam
Dadan Alhadad
Karisma 94
di sekretariat Kalam salman
Jl. Utan Kayu no 20A
Tuesday, July 26, 2005
Story from corruption jungle (1)
Dadan Alhadad
Wednesday, July 20, 2005
Indonesia: Biggest energy waster
http://www.thejakartapost.com/detaillatestnews.asp?fileid=20050720164948&irec=2
Indonesia: Biggest energy waster
JAKARTA (Antara): Indonesia has been classified as one of the world's biggest wasters of energy, with low gross domestic product and growth rates despite the huge amount of resources it consumed, an official says.
M.A.M. Oktaufik, head of the energy efficiency division at the Agency for the Assessment and Application of Technology, said Indonesia's energy elasticity, a ratio of energy consumption growth and economic growth, reached 1.84 in 2004, compared toonly 1.69 in Malaysia, 1.16 in Thailand, 0.73 in Singapore, 0.26 in the United States, 0.17 in Canada and 0.10 in Japan.
"It is proven that industrialized countries which are willing to apply energy conservation technologies can save large quantities of energy," Oktaufik said.
On the world energy intensity index, which measures energy consumption against GDP, Indonesia got a score of 400, with Thailand at 350, less than 300 in the United States, and only 100 in Japan, he said.
The higher the numbers, the more inefficient the energy consumption in a country was, Oktaufik said. (**)
Monday, July 11, 2005
London and Srebrenica
We condolence the victims from WTC 11 September 2001, Bali 12 October 2002, Madrid 11 March 2004, and now London 7 July 2005. Those acts have been condemned by people all over the world and let them be an example how killings replace wisdom and how untrust replaces humanity. But so called "general accusations" - mainly against Muslim and Islamic symbols like woman headscarf - do happen everywhere in Western world as much as accusations against the Western colonial powers in the third world.
There was another atrocity in Europe. In Srebrenica, July 1995, 8,000 Bosnian Muslims lost their lives in the hand of Serb General Ratko Mladic, who is still searched to be brought to international trial. Four days after London bombings, Foreign Ministers of French, Dutch, and UK were present in Srebrenica, to commemorate "the worst atrocity in Europe since World War II". But should we live always in anger, hostility, and revenge?
No, I say. And let's stop this spiral of violence. Soumayya Ganoushi wrote an article about this. And believe me, one question to be answered is "do you love others more, just the same, or less than you love yourselves?"
Saturday, June 18, 2005
Wind of Change
WIND OF CHANGE, Scorpions, 1991 | | ||
| |||
|
Tuesday, June 07, 2005
They have rejected
The pros say that Europe needs a better competition in order to remain one of world's power. On the other side, some critics say that one European constitution will take states' ability to protect its citizens. One example: how could EU protect millions of jobs in Western EU countries from cheap labour from Eastern EU countries? Yet the problem of Turkey, whose process will begin in October 2005 to discuss a certain time Turkey can enter EU. Most of Europeans are not ready to accept Turkey.
Is there any possibility for a "constitutional" people rebellion against bureacracies in Indonesia?
Saturday, May 14, 2005
Busway(2)
But it doesn't happen in Busway. The construction is designed in the way so that the pasenger should buy first the ticket, then insert the ticket to the ticket machine, which allow him to pass and wait until the bus comes. There is no prompt stop outside the stops and no people overrides the system. Everything run well.
I think we should appreciate Governor Sutiyoso for his intiative. I can say this is the only success he has made in Jakarta :-) unless he could remake his corrupt and untransparent bureacracy.
Tuesday, May 10, 2005
Edelweiss
Edelweiss, edelweiss,
every morning you greet mesmall and white,
clean and bright,
you look happy to meet meblossom of snow may you bloom and grow,
bloom and grow forever
edelweiss, edelweiss, bless my home-land forever
The scene was around the time when Austria "joined" Germany's Hitler in 1938. This song shows the Captain's resistance to the Nazis. Ironically Hitler was born in 1889 in Linz, Austria, he was actually Austrian, served as a German soldier in World War I and became very nationalistic, even when compared to the German themselves. He lead the Nazi party, won the election in 1933 and with brutality seized all power to himself. He brought Germany and the world to World War II, and brought also Germany to ruins in 1945.
Every nation, even every person in this world, has a dark side which is enough to think about.
Thursday, May 05, 2005
"Jangan Berdiri Dekat Pintu"
A small instruction in the bus caught my eyes. It says "Jangan Berdiri Dekat Pintu" (Don't stand close the door). I think it is quite different with what I saw in Germany. In the S-Bahn there written something like "Don't stand in front of the yellow line", which is more clear with the yellow line. Does it have something to do with Indonesian way of thinking, which sometimes avoids clear definitions and very "flexible" indeed?
Sunday, April 24, 2005
Stereotype (1)
*Disclaimer*
I am not responsible of any external links from this web blogsite
Monday, April 18, 2005
My ST's final project
Friday, April 08, 2005
BBM dan Ambalat (2)
Katanya, Siti ini tetap sopan memegang budaya Melayu (bisa dibaca sebagai budaya Nusantara) yang tetap memakai rok panjang. Sekali lagi ini katanya lho. Jika benar, berarti jauh di bawah alam sadar khalayak penggemar Siti Nurhaliza baik di Malaysia maupun Indonesia, ada semacam kerinduan pencarian figur.
Saya sih lebih setuju kalau Siti Nurhaliza dijadikan atase Kebudayaan Malaysia di Indonesia. Tetapi, nanti kasihan para penggemar karena Siti Nurhaliza akan tersita waktunya untuk menjalankan tugas diplomatik. Jadi memang Siti Nurhaliza sudah jadi duta tidak resmi antara kedua bangsa.
Di kala Uni Eropa makin memperkukuh persatuan dan konsolidasinya, negara serumpun malah saling berebut ladang minyak. Hal-hal seperti ini di Eropa sudah terjadi puluhan tahun yang lalu dan hanya membuahkan dua kali perang dunia dan puluhan juta orang mati terbunuh. Apakah Malaysia dan Indonesia mau mengalami nasib yang sama?
Barangkali berjayanya perekonomian Malaysia menyebabkan Malaysia mampu membiayai angkatan perangnya lebih baik dari negeri tetangganya sehingga berani menetapkan garis batas sendiri. Barangkali pula perekonomian Malaysia yang melaju itu mengakibatkan naiknya kebutuhan ekspansi yang sama yang diderita bangsa Jepang sebelum Perang Dunia II. Jika benar, amat disayangkan.
Juga amat disayangkan bilamana Indonesia tidak segera berbenah mengurusi wilayah perairannya. Lebih disayangkan lagi, jika negara-negara Asia Tenggara, menjelang rencana pembentukan Blok Asia Timur. Walaupun Australia misalnya, adalah salah satu negara yang menjalin pakta pertahanan dengan Malaysia, namun jelas Malaysia tidak selalu merasa sejalan dengan sikap Australia yang arogan menjadi sheriff di Asia. Jelaslah, bahwa negara-negara Asia Tenggara plus India dan Cina justru harus menjalin aliansi startegis untuk menaikkan posisi tawar mereka dengan Australia dan Amerika Serikat.
Perang karena rebutan minyak? Mau hancur bersama, Encik dan Bung? Paling tidak perang hacker sudah dimulai. Ada himbauan simpatik dari Dr. Budi Rahardjo, pakar internet kita. Mau mundur ke belakang ataukah maju ke depan Encik dan Bung?
Wednesday, March 30, 2005
Bisnis Anne Ahira dan Elite Team: Aksi Keprihatinan
Kami, warga masyarakat dan komunitas Internet, merasa prihatin terhadap model bisnis yang diterapkan oleh Anne Ahira. Kami keberatan bahwa bisnis ini diasosiasikan dengan melakukan marketing di Internet. Marketing yang dilakukan di Internet sebenarnya adalah sesuatu yang baik dan wajar asalkan dilakukan dalam batas-batas etika dan kewajaran.
Setelah melakukan penyelidikan, kami berkesimpulan bahwa bisnis ini hanyalah sebuah praktik skema piramida yang dibungkus dengan istilah Internet Marketing. Hal ini jelas terlihat dari apa yang harus dilakukan oleh setiap anggota Elite Team, yaitu merekrut empat anggota baru. Skema piramida sejatinya merupakan penghisapan oleh segelintir individu terhadap banyak orang. Menurut kami, Internet tidak perlu dikotori dengan pemasaran dari bisnis tidak jelas seperti itu. Silakan melakukan pemasaran via Internet sejauh masih dalam batas-batas kewajaran dan bisnisnya adalah bisnis yang baik dan jelas.
Lebih jauh lagi, kami melihat bahwa Elite Team menawarkan janji yang menyesatkan, yaitu menyatakan bahwa tujuan Elite Team adalah agar semua anggota Elite Team memperoleh penghasilan $6.688 per bulan, dan bahwa ini adalah tujuan yang realistis. Tetapi realitanya adalah: seandainya semua anggota Elite Team bekerja keras dan teguh pada regimen Elite Team, hanya 1 dari 341 orang, atau 0,29%(!) yang memperoleh $6.688 per bulan. Sangatlah jauh dari apa yang diakui sebagai tujuan realistis Elite Team.
Produk yang ditawarkan Anne Ahira/EliteTeam adalah keanggotaan representative (rep.) di Financial Freedom Society, Inc. (FFSI), di mana setiap rep. harus membayar $54,95 per bulan kepada FFSI. Setiap rep. memperoleh komisi dari menjual keanggotaan FFSI ke orang lain sehingga menjadi rep. baru. Orang yang direkrut ini disebut sebagai affiliate, atau di MLM lain dikenal dengan nama downline, dan setiap rep. juga memperoleh komisi dari penjualan yang dilakukan oleh downline-nya sampai empat tingkat downline.
Selain dari keanggotaan FFSI, boleh dibilang tidak ada produk atau jasa yang dijual oleh Anne Ahira dan Elite Team. Dalam sistem Elite Team, besar penghasilan bulanan seorang anggota tergantung dari jumlah downline FFSI-nya dan bagaimana struktur downline tersebut karena tidak ada atau hampir tidak ada penghasilan seorang anggota Elite Team selain dari komisi FFSI.
Dengan perhitungan satu anggota mendapatkan 4 anggota baru, seperti yang dipraktikkan oleh Elite Team, maka hanya dalam 17 tingkat piramida jumlah anggota keseluruhan menjadi sebanyak 5.73 miliar. Sedangkan jumlah populasi manusia keseluruhan di dunia hanyalah 6.4 miliar. Jika seluruh 5.7 miliar manusia tersebut mengikuti program ini, maka hanya 89 juta orang yang akan berpenghasilan $6.688 per bulan. Sementara 5.3 miliar lainnya merugi!
Dengan demikian kami menghimbau masyarakat Internet untuk tidak mudah terjebak oleh iming-iming kekayaan yang dijanjikan oleh Anne Ahira, Elite Team maupun pihak-pihak lainnya. Kami berharap masyarakat Internet bisa menyadari adanya model bisnis semacam itu sehingga dapat lebih waspada. Kepada redaktur media massa juga kami berharap untuk selalu melakukan investigasi terlebih dahulu ketika membahas bisnis-bisnis yang tidak memiliki kejelasan seperti itu agar nantinya tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai promosi terselubung.
Internet, 30 Maret 2005
Tertanda,
Estananto
ps. Bagi rekan-rekan penulis blog yang ingin menyebarkan pernyataan sikap ini dapat menyalin seluruh isi tulisan ini pada blog masing-masing. Tetapi tidak menutup kemungkinan rekan-rekan yang bukan penulis blog untuk mengikuti aksi ini.
Tuesday, March 29, 2005
Anggota TNI Diduga Terlibat Illegal Loging di Papua
Jakarta, KCM
Empat anggota TNI diduga terlibat dalam illegal logging di Papua. Mereka disinyalir menerima aliran dana dari pengusaha asal Malaysia, Wong Tse Thung, yang saat ini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) terkait dengan kasus illegal loging di Papua.
Menurut data yang diperoleh wartawan dari sumber di pemerintahan, para petinggi TNI tersebut tiga diantaranya anggota TNI AL dan satu orang lainnya anggota TNI AD. Mereka adalah mantan Dandim Manokwari Letkol RS, Mantan Danlanal Sorong Letkol P, Kapuskopad Kolonel RG, dan Wadan Denpom Sorong Kapten KC.
Selain itu terdapat pula sejumlah anggota Polri yang diindikasikan terlibat, yaitu mantan Wakapolda Papua Brigjen Pol T, mantan Kapolres Manokwari JPW, serta Kompol MR dan KA.
Di samping itu terdapat tiga pejabat sipil yang diduga terlibat adalah pejabat Dinas Kehutanan MM, Kadis Perhutanan Manokwari H, dan Syahbandar Bituni FM. Mereka diduga menerima aliran dana dari Dirut PT Sandjaya Makmur Wong Tse Thung melalui Rekening di BNI pada tahun 2002 lalu.
Dari sumber tadi, juga disebutkan dalam setiap aksi penebangan ilegal selalu ada langkah koordinasi dengan aparat TNI, Polri, maupun sipil. Jumlah dana koordinasi yang diterima aparat berkisar pada angka Rp50 juta hingga Rp500 juta per orang.
Tingkatan jabatan aparat yang diduga telah menerima dana koordinasi ituun beragam. Mulai dari tingkatan Komandan KRI, Danlanal hingga petinggi TNI AL bintang dua.
Di lingkungan kepolisian, langkah koordinasi juga dilakukan terhadap pertugas dari berbagai lapisan. Mulai dari petugas polisi di lapangan, Kapolsek, Kapolres, Dir Airud, Dir Intel, Dir Ops, Dir Serse, Wakapolda, dan Kapolda Papua. Sedangkan, koordinasi para pengusaha dengan pejabat sipil melibatkan oknum aparat Dinas Kehutanan, Bea Cukai, dan Dinas Perhubungan.
Sementara itu, dari data yang diperoleh wartawan, hasil penyelidikan satgas gabungan menyebutkan, terdapat dua perusahaan yang mendapatkan izin penjualan kayu ke luar negeri melalui IPKMA (Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat) yakni PT Marindo Jaya Utama yang dipimpin Wong Tse Thung dan Feny Rahmat serta PT Sandjaya Makmur yang dipimpin Yudi Firmansyah.
Kedua perusahaan tersebut dalam operasinya mengunakan 19 kapal milik PT Pelayaran Sinar Sanjaya Abadi. Beberapa waktu lalu, sebanyak 51.833,56 meter kubik kayu hasil penebangan illegal itu sempat disita petugas.
Selain kedua perusahaan tersebut, ijin serupa juga dikantongi oleh perusahaan milik TW dan Robert Kardinal (anggota DPR dari Papua), yang saat ini juga tengah dalam proses pemeriksaan terkait dengan praktik illegal loging di Papua.
Selain dari IPKMA, pemberian izin penebangan kayu juga diberikan oleh induk koperasi di bawah Dephut (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu). Pemberian izin itu diberikan IUPHHK di antaranya Jayanti Grup dan Hanurata.
Sejumlah perusahaan yang mengantungi ijin bagi penebangan di daerah tertentu,ternyata juga melakukan kegiatannya mereka di luar areal yang telah ditetapkan dan menggunakan alat berat tanpa ijin.
Kisaran dana koordinasi pengusaha penebangan liar dengan oknum aparat TNI selama satu tahun mencapai Rp 11,7 miliar. Sedangkan nilai koordinasi dengan oknum aparat Polri mencapai Rp 10,32 miliar. Lalu, dengan aparat sipil mencapai Rp 3,6 miliar.
Total nilai koordinasi yang diterima ketiga unsur itu Rp 63,75 miliar per tahun, nilai yang terdistribusi secara rutin Rp 25,62 miliar per tahun. Sedangkan sisanya Rp 38,13 miliar per tahun terdistribusi kepada para pejabat sesuai permintaan.
Ketika hal itu ditanyakan kepada Komandan POM AL Brigjen Soenarko tentang dugaan keterlibatan anggota TNI AL, ia menegaskan, pihaknya siap melakukan pemeriksaan bila memang benar ada indikasi kuat adanya keterlibatan anggota TNI AL.
"No problem. Kita akan periksa," tandasnya.
Namun sejauh ini, mengatakan, pihaknya sedang menyelidiki kebenaran dugaan tersebut.
Saat ini, lanjutnya penangganannya masih dilakukan oleh Aspam KSAL karena masih bersifat dugaan.
"Jika ternyata ditemukan barang bukti dan saksi-saksi, baru Pomal dilibatkan," katanya. (Maria Donna)Monday, March 14, 2005
BBM dan Ambalat (1)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/09/opini/1611866.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/09/opini/1611882.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/08/opini/1604534.htm
Sebetulnya "keberanian" Malaysia untuk mengklaim Ambalat juga diakibatkan lemahnya kekuatan laut kita. Tidak bisa disangkal bahwa penyelundupan (paling banyak ke Malaysia ya?) masih terus terjadi. Dan anehnya, kelemahan TNI-AL dalam mencegah penyelundupan kok malah diwujudkan dengan penaikan harga BBM sampai 30%. Padahal, kalau dinaikan 5% saja dulu, dengan anggaran 5 trilyun rupiah untuk menambah patroli TNI-AL, marinir,dan kekuatan udara TNI-AL, tentu sudah sedikit menambah performansi laut TNI. Tapi seperti biasa orang kita hanya terpukau dengan hal-hal yang bombastis seperti di Ambalat.
Peristiwa-peristiwa seperti penyelundupan BBM, illegal logging, penyelundupan komoditi (ke dalam), lintas batas yang begitu sering tampaknya membutuhkan angkatan keempat yaitu Angkatan Penjaga Perbatasan (The Border Guards Service) di tubuh TNI. Amerika punya USCG karena dia adalah negara kontinental dengan garis pantai barat
dan timur. Rusia punya Angkatan Peluru Kendali untuk menangani rudal-rudalnya, sedangkan Indonesia punya garis batas meliputi laut dan darat yang amat luas melingkari kepulauan nusantara. Butuh sebuah komando tersendiri untuk itu. Sedangkan kekuatan TNI AD, AL, dan AU dikonsentrasikan di "dalam" kepulauan. Komando ini memiliki struktur sendiri dan diberi wewenang untuk menangani hal-hal seperti kejahatan ekonomi. Berapa trilyun kerugian akibat penyelundupan, baik ke dalam
maupun keluar,belum dihitung pencurian ikan oleh kapal asing?
Tampaknya jauh lebih besar dari subsidi BBM yang dihebohkan itu.
Menurut Sri Mulyani, dengan penaikan BBM itu pemerintah bisa "menghemat" subsidi sampai 20 trilyun rupiah; padahal Dirjen Pajak mengatakan potensi pajak yang tidak terealisasi sampai 600 trilyun (perolehan sekarang, dengan sistem tawar menawar antara petugas pajak dan perusahaan2 saja, diperoleh 200 trilyun rupiah). Sampai mentalitas petugas pajak dan pembayar pajak yang melestarikan sistem kongkalikong
berbaju resmi itu diubah, percayalah, negara kita akan miskin seumur-umur, atau bahkan akan ambruk, karena semuanya jadi maling!
Tuesday, March 08, 2005
Pebisnis keluhkan reformasi pajak
Pebisnis keluhkan reformasi pajak
JAKARTA (Bisnis): Kalangan pelaku usaha menginginkan kejelasan reformasi pajak serta menuntut pemerintah sungguh-sungguh memangkas biaya bisnis.
Dalam dialog dengan jajaran departemen keuangan, para pengusaha mengeluhkan berbagai permasalahan yang telah berlangsung lama namun belum ada perubahan berarti.
Mereka menyebut berbagai retribusi yang harus dibayar pengusaha maupun 'retribusi tidak resmi', aturan perpajakan serta perilaku aparat pajak hingga persoalan suku bunga yang tidak kunjung turun hingga ke satu digit.
"Inti dari pertemuan Kadin dengan jajaran Menteri Keuangan maupun Menteri Perindustrian hari ini [kemarin] adalah dunia usaha kita tidak kompetitif karena high cost economy yang notabene karena aturan pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah," ujar Ketua Umum Kadin Indonesia M.S. Hidayat sesuai dialog itu kemarin.
Pertemuan itu dilangsungkan untuk mencari jalan keluar dalam menekan biaya bisnis, setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.
Pertemuan tersebut dihadiri kalangan pengusaha anggota Kadin serta Menteri Keuangan Jusuf Anwar, Menteri Perindustrian Andung Nitimihardja, Dirjen Pajak Hadi Poernomo, serta kalangan perbankan.
Bankir yang hadir antara lain Dirut Bank BNI Sigit Pramono, Dirut Bank Mandiri ECW Neloe serta Direktur Keuangan BCA Jahja Setiaatmadja.
Paket reformasi pajak yang direncanakan pemerintah mengagendakan pemutihan pajak, namun sampai saat ini belum jelas. Karena itu, dalam dialog tersebut pengurus Kadin Chris Kanter mengingatkan Menkeu agar dalam reformasi perpajakan yang sedang berjalan sebaiknya meliputi pembahasan UU tentang pengampunan pajak dan UU Peradilan Pajak.
Pengusaha Anton J. Supit menambahkan persoalan pajak yang dihadapi dunia usaha meliputi dimensi yang sangat luas. Dia menuding kumulatif tarif pajak yang tidak kompetitif, tiadanya kesetaraan perlakuan antara WP dan pemungut pajak, kinerja administrasi perpajakan yang tidak efisien serta dominannya peran institusi perpajakan.
Ketua Asosiasi Emiten Indonesia AEI Airlangga Hartarto juga mengeluhkan adanya pemeriksaan pajak yang berlebihan terhadap sejumlah emiten tertentu. "Jangan sampai perusahaan terbuka terlalu 'ditembaki' soal pajak ketimbang perusahaan tertutup," ujarnya dalam diskusi itu.
Namun Menteri Keuangan hanya menanggapi berbagai keluhan pengusaha itu dengan jawaban-jawaban singkat dan sembari 'membanyol'. "Anda menghitung saja salah... bagaimana mengisi SPT," ujarnya sembari tertawa menanggapi ucapan Sofjan Wanandi saat menyampaikan poin-poin keluhannya.
Bahkan menanggapi tudingan dari berbagai pengusaha yang hadir pada pertemuan tersebut menyangkut 'aktivitas' Ditjen Pajak dalam menggapai WP, Jusuf hanya berkomentar pendek: "Tidak ada dusta di antara kita."
Terkait dengan keluhan emiten, Jusuf berjanji akan memberikan yang terbaik. "Emiten kan menjadi primadona pasar modal," candanya.
Potensi hilang
Di tempat terpisah, Dirjen Pajak Hadi Poernomo mengatakan potensi kehilangan (potential loss) pajak dari sektor perbankan dan pasar modal mencapai Rp679,2 triliun.
Dia menjanjikan jika Ditjen Pajak diberi keleluasaan terhadap perbankan, pasar modal, dan keterbukaan transaksi penerimaan pajak bisa tiga kali lipat per tahun.
Di pasar modal, lanjutnya, Ditjen Pajak juga tidak mendapatkan informasi data pemain saham.
Padahal, merujuk Securities and Exchange Comission (SEC), otoritas pasar modal AS itu memberikan data 40.000 pemain saham ke aparat pajak. (gak/ wiw/shm)
Wednesday, February 16, 2005
Menyongsong TV via kabel telepon
dan PT Telekomunikasi Indonesia
Teknologi Informasi
Rabu, 16/02/2005
Kabel tembaga sebagai koneksi kecepatan tinggi
Menyongsong TV via kabel telepon
Setelah TV satelit dan TV kabel, kini datang lagi teknologi terbaru televisi: televisi lewat kabel telepon. Ternyata, kabel telepon yang sudah ada pun bisa dimanfaatkan sebagai saluran TV kabel tanpa harus memasang kabel tambahan. Dengan melanjutkan teknologi ADSL (asymmetric digital subscriber line) yang kini menjadi andalan sambungan Internet cepat via kabel tembaga, Microsoft memperkenalkan xDSL-TV, atau juga TV over DSL. Nama resminya IPTV (Internet protocol television).
Adalah Microsoft, perusahaan software pembuat sistem operasi Windows, yang bersama Bluewin telah melakukan test IPTV. Bluewin sendiri adalah anak perusahaan Swisscom, perusahaan telekomunikasi Swiss. Teknologi ini selain di Swiss juga telah diujicobakan di Austria, Perancis, Hong Kong, Inggris, Taiwan, atau Monako. Divisi Microsoft-TV pertama kali memperkenalkan prototipnya di pameran International Telecommunication Union 2003 di Genewa.
Dengan IPTV, dapat disalurkan dari TV gratis hingga pay-TV, juga video-on-demand.
Dengan demikian, berbagai macam fasilitas dapat dimungkinkan untuk dinikmati konsumen: program yang dapat dipilih, navigasi yang lebih baik meliputi daftar gabungan siaran dan on-demand content, penggantian saluran yang lebih cepat dari TV digital yang ada sekarang, hingga perekaman beberapa program acara di hard disk secara paralel.
Microsoft juga menjanjikan keterhubungan yang baik antar peranti karena pertukaran berbagai macam bentuk informasi seperti foto, video, dan musik.
Konsumen bahkan dapat diberitahu segera apabila ada perubahan jadwal TV lewat e-mail atau SMS. Dengan teknologi picture-in-picture pelanggan dapat melihat dua program sekaligus tanpa mengganti lagi.
Rahasia teknologi ini adalah pada teknik kompresi baru, Windows Media 9, yang melampaui teknik-teknik kompresi yang sudah ada. Windows Media 9 lebih baik tiga kali lipat dari MPEG-2 dan dua kali lipat dari MPEG-4. MPEG-2 adalah standar Amerika yang telah diterapkan secara luas sebagai standar kompresi DVD, sedangkan MPEG-4 adalah standar Eropa berdasarkan ITU H.264. Sumber program TV atau video tidak harus satu melainkan bisa banyak jumlahnya melalui sebuah jaringan pita lebar (broadband).
Konsumen harus memiliki set-top-box (STB) yang dijalankan oleh Windows CE.NET 5.0 dan cukup memiliki prosesor Intel Pentium III (933 Mhz) dan chip grafik Intel 830M4.
Menurut majalah computer technik (c't) edisi kedua tahun 2005, kecepatan transmisi dari uji coba Bluewin dan Microsoft ini baru mencapai 1,5 Mbit per detik yang mendekati kualitas DVD.
Walaupun masih terjadi bahwa gambar menjadi kabur ketika gerakan cepat seperti olahraga disalurkan dalam TV, tapi masih banyak peluang yang ada di masa datang.
Penyebab cacat ini masih belum jelas, apakah terletak di teknik kompresi atau lebar pita yang belum cukup.
Di masa datang, transmisi yang lebih cepat seperti ADSL2plus (dengan kemampuan 20 Mbit per detik downstream dan 1 Mbit per detik upstream) atau VDSL (very high speed digital subscriber line) yang berkecepatan sampai 52 Mbit per detik untuk downstream maupun upstream, memberi kemungkinan bagi teknologi IPTV yang lebih baik lagi.
Kabel telepon biasa
DSL sendiri sebenarnya adalah revolusi besar yang berkaitan dengan pemanfaatan sistem kabel telepon konvensional yang dikenal dengan nama public switched telephone network (PSTN).
PSTN adalah sistem telepon menggunakan kabel tembaga mentransmisikan sinyal analog.
Transmisi PSTN dibatasi hingga 3.400 Hz sehingga spektrum frekuensi yang bisa disalurkan lewat PSTN adalah antara 0 dan 3.400 Hz.
Frekuensi maksimal ini setara dengan 56 kbps, dan memang inilah kecepatan tertinggi akses internet non-DSL menggunakan kabel tembaga.
Dalam praktiknya, 56 kbps ini adalah benar-benar kecepatan maksimum, artinya jarang sekali terjadi, diakibatkan ketidaksempurnaan transmisi.
DSL disalurkan dengan merombak batas ini sama sekali. DSL menggunakan frekuensi di atas 3.400 Hz, bisa dalam bilangan puluhan ribu Hz.
Frekuensi yang tinggi mengakibatkan energi yang dihabiskan untuk menyalurkan di dalam kabel juga semakin banyak sehingga mengandung risiko terjadinya atenuasi, lebih besar daripada yang terjadi di frekuensi rendah.
Besarnya energi ini juga mengakibatkan risiko lain yang dinamakan crosstalk, yaitu terpengaruhnya sinyal dalam satu kabel oleh kabel lain yang berdekatan.
Kabel-kabel tembaga untuk sambungan telepon biasanya dibundel dalam satu selubung dan ini memperbesar resiko crosstalk.
Sinyal bisa berubah dari sinyal asli dan ini tentu merugikan.
Kabel telepon itu bisa diandaikan terdiri dari dua ujung. Ujung yang satu ada di pelanggan, dan ujung kedua ada di sentral (CO, Central Office).
Tentu saja semakin dekat ke sentral, semakin banyak kabel yang terbundel, ini mengakibatkan risiko makin tinggi akan terjadinya crosstalk.
Maka untuk mengurangi risiko ini, dipergunakan frekuensi rendah untuk sinyal yang mengalir ke arah sentral dan sebaliknya frekuensi tinggi untuk sinyal yang mengalir ke pelanggan. Inilah prinsip ADSL (asymmetric digital subscriber line).
Dinamakan asimetris karena memang aliran data yang "turun" ke pelanggan (downstream) tidak sama dengan yang "naik" ke sentral (upstream). Biasanya, beda itu sangat besar, misalnya downstream 768 kbps dan upstream 128 kbps.
ADSL & home office
Di Indonesia, PT Telkom telah meluncurkan produk DSL berkecepatan downstream 512 kbps dan upstream 64kbps.
Tentu saja ini seharusnya baru awal, karena (A)DSL memungkinkan kecepatan lebih tinggi lagi, misalnya 3 Megabit per detik (atau 3.000 kbps).
Namun karena pengguna di Indonesia masih sedikit, maka produk ini hanya dapat dinikmati dengan harga relatif mahal.
Untuk layanan Speedy Heavy Metal pelanggan dikenakan biaya Rp.800.000 per bulan dan batasan download sebesar 2 GB. Ini masih lebih mahal daripada layanan Telekom Jerman yang mematok harga sekitar Rp340.000 per bulan untuk volume yang sama.
Namun demikian, prospek ADSL di Indonesia tampaknya akan makin dipicu oleh kemajuan teknologi DSL hingga ke IPTV yang dibahas di atas.
Walaupun penerapan teknologi semacam IPTV di Indonesia tampaknya baru akan diujicobakan ketika pita lebar sudah makin layak pasar, tidak tertutup kemungkinan untuk membuat peluang baru seperti konsep home office.
Home office sangat penting artinya di kota metropolitan seperti Jakarta Raya. Dengan tingkat kemacetan yang tinggi akibat pertambahan kendaraan 350 roda empat setiap hari dan panjang jalan yang hanya 5.000 km, perlu dipikirkan mode lain cara bekerja.
Dengan demikian tumpukan kendaraan di pagi dan sore hari yang menghabiskan energi dan waktu bisa dihemat.
Jika kira-kira seorang karyawan bisa melakukan dua jam kerja di rumah pada saat-saat sibuk lewat jaringan pita lebar berkecepatan 1.000 kbps, dalam waktu satu bulan bisa diselamatkan sampai 40 jam kerja. Belum lagi jika kita menghitung efek polusi udara.
Bagi karyawan perempuan yang mempunyai anak kecil di rumah, teknologi pita lebar akan mampu menolong mendamaikan antara tuntutan naluriah seorang ibu dan tuntutan profesi.
Di Jerman, konsep Heimarbeit ini telah dilakukan di beberapa perusahaan yang juga mempekerjakan para ibu.
Namun tentu saja konsep home office ini membutuhkan proses pembudayaan yang harus dimulai sejak dini. Ini berkaitan dengan pemenuhan target sekaligus konsep kerja mandiri.
Pita lebar dapat menjadi peluang sekaligus peningkat efisiensi kerja di kota besar.
Oleh Estananto Alumnus Teknik Fisika ITB, tinggal di Jerman
© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.
Thursday, January 27, 2005
Tantangan Industri Semikonduktor era Nanoteknologi
dimuat di halaman web alumni Teknik Fisika ITB
Banyak orang merujuk pada hukum Moore, bahwa jumlah transistor dalam suatu rangkaian terintegrasi (IC) akan menjadi dua kali lipat dalam 18 bulan. Ramalan ini terbukti dalam produk-produk IC sehari-hari. Dulu kita kenal prosesor Intel seri 4004, hingga 286, 386, 486, Pentium, dan hingga kini Pentium 4. Jumlah transistor pada Intel 4004 tahun 1971 "hanya" 2300 transistor, sementara pad Pentium II tahun 1997 kita
mendapati 7,5 juta transistor di dalamnya. Pentium 4 malah mengandung 55 juta transistor di dalamnya.
Jangan terkejut jika dalam waktu dekat akan ada mikroprosesor yang mengandung 1 miliar transistor. Tentu saja jumlah transistor sebesar itu menunjukkan,
bahwa ukuran setiap transistor itu amat kecilnya. Kalau tahun 1970-an transistor berukuran lebih dari 1 mikrometer (1 mikrometer adalah sepersejuta meter), maka kini perusahaan-perusahaan semikonduktor berpacu di kisaran 100 nanometer (100 sepersemilyar meter), dengan kemampuan yang makin meningkat pula. Kalau tahun 1970-an kecepatan proses mikroprosesor hanya 0,1 MHz, kini Pentium mampu bekerja di kisaran 1 GHz. Benar-benar luar biasa hasil rekayasa ini.
Meningkatnya unjuk kerja itu amat berkaitan dengan berkurangnya ukuran transistor. Berkurangnya tegangan (voltase) yang dibutuhkan oleh setiap transistor dan di saat yang sama mengurangi waktu tunda (delay time), yakni beda waktu antara masukan dan keluaran dari sebuah rangkaian transistor, jelas memperbaiki kemampuan dalam bentuk frekuensi yang disebutkan di atas. Karena jumlah transistor yang makin banyak pula,
dimungkinkan terwujudnya aplikasi-aplikasi kompleks. Telefon genggam yang dilengkapi dengan video adalah salah satu contoh yang tidak terbayangkan tahun 1970-an.
Akan tetapi timbul masalah baru karena ukuran transistor yang di bawah 100 nanometer itu. Karena jumlah transistor yang mencapai puluhan juta dalam ruang yang sempit (hanya beberapa sentimeter persegi), maka jumlah total daya yang dibutuhkan juga meningkat sangat tajam. Sebagai gambaran, prosesor Intel Pentium membutuhkan 100 Watt daya, padahal tahun 1970-an daya yang dibutuhkan hanya sekitar 0,1 Watt. Diprediksikan bahwa dalam tahun-tahun mendatang sebuah mikroprosesor akan membutuhkan 500 Watt, bahkan seknario paling buruk bisa menjadi 18 Kilowatt. Kepadatan daya ini per sentimeter persegi bahkan bisa menyamai nozzle roket
atau reaktor nuklir. Untuk itu, dibutuhkan terobosan baru agar perkiraan itu tidak terjadi.
Inilah salah satu tantangan industri semikonduktor modern, yaitu mengurangi disipasi energi transistor. Memang mengecilnya ukuran transistor berefek positif, yaitu meningkatnya arus dari sumber (source) ke penguras (drain) pada saat transistor menyala (on). Ini pada gilirannya mengakibatkan berkurangnya waktu tunda (delay) yang berbanding terbalik dengan frekuensi. Akibatnya frekuensi meningkat yang berarti unjuk kerja transistor - dan rangkaian terintegrasi secara keseluruhan - meningkat. Akan tetapi, dengan makin tipisnya lapisan oksida pada gerbang (gate) transistor, arus *bocor* melalui gerbang bisa jadi meningkat. Ini masih ditambah dengan fenomena kapasitansi parasitik, yaitu rugi energi yang diakibatkan oleh kapasitansi yang muncul sebagai parasit dalam rangkaian, baik pada transistor sendiri maupun pada "kawat" (wire) yang menghubungkan satu rangkaian transistor dengan transistor lainnya.
Ada beberapa cara untuk mengatasinya. Desain transistor SOI (Silicon on Insulator) meletakkan insulator antara gerbang dan substrat sehingga mencegah arus bocor. Atau, dengan menjadikan material yang berkonstanta dielektrik tinggi pada gerbang yang juga mencegah mengalirnya arus bocor gerbang ynag dapat menjadikan kegagalan operasi transistor. Desain FinFET, yang menambah permukaan kontak gerbang untuk mengontrol arus nyala I(on). Atau, bisa juga dengan memperbaiki material silikon menjadi silikon renggang (strained silicon) sehingga memperkecil tahanan (resistance).
Tantangan lain muncul di bidang litografi: karena ukuran transistor yang akan dicetak berukuran di bawah 100 nanometer, maka dibutuhkan teknologi yang bisa
mencetak dengan panjang gelombang sekitar 100 nm. Ini adalah salah satu titik kritis pembuatan transistor beukuran nano, karena bisa berakibat pencetakan terjadi tidak sempurna. Kini muncul berbagai teknologi baru seperti teknologi penenggeleman (immersion technology) 193 nm dengan sumber laser tertentu, dan teknik OPC (optical proximity correction).
Tantangan-tantangan ini memunculkan harapan akan munculnya generasi transistor Terahertz (satu trilyun Hertz). Tinggal kita harus memilih, akan jadi penonton, pengguna, atau pemain.
Estananto, alumni TF-ITB, kini bekerja di sebuah perusahaan desain semikonduktor.
Wednesday, January 26, 2005
Kronologi Aceh
Warna konflik itu bisa dieksplorasi dari lintasan peristiwa berikut, disarikan dari buku Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, Solusi, Harapan dan Impian, karya Neta S. Pane dan sumber-sumber lain:
22 Agustus 1945 :
Sejumlah tokoh dan pejuang Aceh berkumpul di rumah Teuku Abdullah Jeunib di Banda Aceh. Anggota Volksraad (DPR buatan Belanda di Jakarta yang menjadi Residen Aceh), Teuku Nyak Arief hadir dalam pertemuan. Politisi muda menyampaikan pemikiran, agar rakyat Aceh, tokoh, dan pejuang di Aceh mendukung Soekarno-Hatta.
23 Agustus 1945 :
Sebanyak 56 tokoh hadir dalam pertemuan lanjutan di Shu Chokan (Kantor Residen Aceh, kini kantor Gubernur Aceh. Tengku Muhammad Daud Beureueh tidak hadir. Nyak Arief mengambil Alquran dan berdiri. ”Demi Allah, Wallah, Billah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir”. Teuku Polem Muhammad Ali mengikuti, hingga seluruh peserta pertemuan melakukan sumpah senada. Mantan Kepala Polisi di Aceh, Husein Naim dan Muhammad Amin Bugeh mengibarkan bendera Merah Putih. Nyak Arief diangkat sebagai Gubernur Aceh beberapa hari kemudian.
15 September 1945 :
Teuku Muhammad Daud Cumbok, putra hulubalang Desa Cumbok, lahir tahun 1910, menentang kemerdekaan RI di Aceh. Pejuang kemerdekaan RI di Aceh, dipimpin Sjamaun Gahara menyerbu Markas Daud Cumbok. Daud Cumbok disebut-sebut meninggal. Dikenal sebagai ”Peristiwa Cumbok”, ini merupakan konflik pertama kali antara kelompok pro-RI dengan penentangnya.
Kelompok pro-RI dimotori ulama, sedangkan penentang bergabung dengan RI dimotori hulubalang dengan pusat kekuasaan di Bireun, Aceh Utara. Di daerah ini belakangan dikenal sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah Hasan Tiro ke luar negeri. Sebelumnya, pusat GAM di Pidie. Perang Hasan Tiro baru bisa diatasi akhir 1946. Peristiwa ini sebenarnya antiklimaks dari pertentangan mereka sejak penjajahan Belanda (1910-1920).
16 Juni 1948 :
Presiden Soekarno bersumpah atas nama Allah untuk memberikan hak-hak rakyat Aceh dan menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam.
19 Desember 1948 :
Ibu kota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Soekarno-Hatta menunjuk Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi Sumatera Utara. Tengku Daud Beureueh yang kemudian dikenal sebagai tokoh pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia membantu pemerintah darurat tersebut.
17 Desember 1949 :
Penampilan Daud Beureueh untuk membantu Syafruddin disambut tokoh ulama lain, di antaranya Hasan Ali, Ayah Gani, H.M. Nur E.L. Ibrahimy, dan Teuku Amin. Mereka melobi Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan Provinsi Aceh. Syafruddin mengamini dan mengeluarkan Ketetapan PDRI Nomor 8/Des/WKPH tanggal Kutaraja, 17 Desember 1949. Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh. Namun, Wali Negara Sumatera Utara, Tengku Dr. Mansur menggagas megara merdeka, terpisah dari RI. Daud Beureueh diundang pertemuan. Undangan disebar oleh pesawat Belanda.
Akhir 1949 :
Daud Beureueh bersikukuh untuk mendukung kemerdekaan RI. Bahkan, mengalang pengumpulan dana dari rakyat Aceh untuk membiayai pemerintah RI. Tempo dua bulan, terkumpul 500.000 dolar AS. Sebanyak 250.000 dolar AS disalurkan kepada angkatan perang RI, 50.000 dolar AS untuk perkantoran RI, 100.000 dolar AS untuk pengembalian pemerintah RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 1000 dolar AS diserahkan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis.
Kemudian rakyat Aceh mengumpulkan 5 kg emas untuk membeli obligasi pemerintah untuk membiayai perwakilan Indonesia di Singapura, pendirian Kedutaan Besar RI di India dan pembelian dua pesawat terbang untuk transportasi pejabat RI.
8 Agustus 1950 :
Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta memutuskan, wilayah Indonesia dibagi 10 provinsi. Provinsi Aceh yang telah berdiri pada 17 Desember 1949, dilebur dengan Provinsi Sumatera Utara, tertuang dalam Peraturan Pengganti UU Nomor 5/1950 ditandatangani Pejabat Presiden Mr. Asaat dan Menteri Dalam Negeri Susanto Tirtoprojo (tokoh Partai Nasionalis Indonesia/PNI).
23 Januari 1951 :
Perdana Menteri M. Natsir membacakan surat peleburan provinsi tersebut di RRI di Banda Aceh.
21 April 1953 :
Daud Beureueh terpilih sebagai Ketua Umum Kongres Alim Ulama se-Indonesia di Medan. Ia minta segenap ulama memperjuangkan dalam Pemilihan Umum (Pemilu 1955 supaya negara RI menjadi Negara Islam Indonesia (NII). Gagasan senada dicetuskan lebih dulu oleh Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, pasukannya dikenal DI/TII. Kemudian, ia menyusun 13 dasar pemerintah NII.
21 September 1953 :
Daud Beureueh memproklamasikan dukungan berdirinya NII yang dipelopori Kartosoewirjo.
23 September 1955 :
Tokoh Aceh menggelar Kongres Rakyat Aceh atau Kongres Batee Krueng. Daud Beureueh diangkat sebagai Kepala Negara dan Wali Negara Aceh. Aceh sebagai Negara Bagian Aceh dari konfederasi NII pimpinan Kartosoewirjo. Dibentuk Ketua Majelis Syura (DPR) Tengku Husin Al Mujahid, Kabinet Negara Bagian Aceh sebanyak sembilan menteri dan Resimen Pertahanan dan Perlawanan sebanyak tujuh wilayah.
27 September 1955 :
Menteri Negara Bagian Aceh mengadakan pertemuan khusus. Pemerintah RI mengirimkan pasukan tentara dengan sandi Operasi 19 Agustus dan utusan khusus Presiden Soekarno mengadakan dialog.
27 Januri 1957 :
Menteri Dalam Negeri RI Sunaryo melantik Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh dan Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Aceh. Pelantikan ini menandakan pembatalan likuidasi Provinsi Aceh. Kedua pejabat berhasil meraih simpati DI/TII di Aceh.
Juli 1957 :
Gubernur Ali Hasjmy dan Pangdam Aceh mengikat perjanjian dengan DI/TII di Aceh dalam ”Ikrar Lam The”. Gejolak di Aceh mereda.
15 Februari 1958 :
Daud Beureueh bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta, serta memutus hubungan dengan DI/RII Kartosoewirjo. PRRI dan Permesta dengan DI/TII di Aceh mengadakan operasi bersama menumpas orang-orang Soekarno dengan sandi Operasi Sabang-Merauke.
Desember 1958 :
DI/TII di Aceh mengirim Perdana Menteri Negara Aceh, Hasan Ali dalam pertemuan di Genewa. Hasan Tiro yang sedang kuliah di AS menghadiri pertemuan dalam kapasitas pemuda Aceh yang peduli DI/TII. Hasan Tiro berpendapat, Indonesia hanya sembilan negara bagian dari sepuluh yang dimiliki dan digagas pendirikan Republik Persatuan Indonesia.
16 Mei 1959
Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdiri, Wakil Perdana Menteri RI Mr. Hardi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1/Missi/1959, isinya memberikan otonomi bidang pendidikan, agama dan adat istiadat. Babad baru Aceh ini berkat negosiasi Gubernur Ali Hasjmy dan Pemimpin Dewan Revolusi Aceh Hasan Saleh. Ia orang dekat Daud Beureueh yang membelot dengan alasan letih berjuang dan memilih turun gunung.
8 Februari 1960 :
Republik Persatuan Indonesia didirikan dengan Presiden Syafruddin Prawiranegara dan Wakil Tengku Daud Beureueh. Ikut bergabung mantan Perdana Menteri RI M. Natsir dan Burhanuddin Harahap. Bahkan Sumitro Djojohadikusumo bergabung, hanya di dalam tubuh PRRI. Soekarno membalas dan mengadakan Operasi 17 Agustus dan Operasi Merdeka.
April 1961 :
Tokoh PRRI Sumatera Utara Mauludin Simbolon ”cerai” dengan Republik Persatuan Indonesia dan membentuk Pemerintah Darurat Militer.
25 Agustus 1961 :
Presiden Republik Persatuan Indonesia, Syafruddin Prawiranegara menyerah kepada RI di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Diikuti oleh M. Natsir. Daud Beureueh yang diajak melalui surat dua kali, menolak jejak presidennya. Bahkan, ia memproklamasikan Republik Islam Aceh, menggantikan Republik Persatuan Indonesia. Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal TNI A.H. Nasution membujuk Daud Beureueh untuk kembali ke pangkuan RI dan menjanjikan hak penuh rakyat Aceh melaksanakan syariat Islam.
22 Desember 1962 :
Diadakan rekonsiliasi dalam momen Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) dan lahir Ikrar Blangpadang. Daud Beureueh menerima perdamaian dan mengakhiri (1964) pemberontakan gagasan NII atau Republik Islam Aceh. Rakyat Aceh sementara menikmati damai dengan ongkos 4.000-5.000 nyawa saudara mereka.
1972 :
Daud Beureueh kembali mengumpulkan kekuatan DI/TII untuk menggalang perlawanan pemerintah pusat dan mengutus Zainal Abidin (Menteri Dalam Negeri Pemerintah Islam Negara Aceh) menjemput kakaknya, Hasan Tiro di Kolumbia AS. Hasan Tiro menyambut hangat dan menyatakan semua senjata telah disiapkan.
20 Mei 1977 :
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diproklamasikan sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Presiden Soeharto yang mendirikan projek-projek multinasional di Aceh sejak 1970. Gerakan ini baru mencuat ke publik 1989 ketika desertir berpangkat kopral, Robert menyebut diri Panglima Perang Angkat Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) dan mencuri 18 pucuk senjata ABRI yang mengadakan aksi ABRI Masuk Desa (AMD).
24 Mei 1977 :
Para tokoh GAM membentuk kabinet dan Daud Beureueh mengusulkan Hasan Tiro Sebagai Ketua GAM dan Wali Negara Aceh. Penunjukan sempat ditentang tokoh GAM lain karena Hasan Tiro tidak hadir di pertemuan. Namun, akhirnya forum bisa menerima usulan Daud Beureueh.
Perkembangannya, pemimpin GAM tidak hanya Hasan Tiro. Di antaranya Tengku Ahmad Dewi (1949-1991) dan Tengku Bantaqiah (1952-1999). Ahmad Dewi berseberangan dengan Hasan Tiro, hilang tidak diketahui pasti rimbanya. Ada rumor dihabisi TNI pada 1991 dan ada tuduhan oleh pendukung Hasan Tiro karena tokoh ini pernah mengeluarkan fatwa hukum mati. Tengku Bantaqiyah ditembak secara membabi-buta oleh 200 pasukan TNI pada 23 Juli 1999 di Masjid Pondok Pesantren Al Bantaqiyah.
Desember 1977 :
Abdullah Syafei dikenal sebagai Ketua Komisariat Partai Demokrasi Indonesia Kecamatan Lembutu Aceh Pidie. Kegigihannya menjadikan Lembutu ”Kandang Banteng” mengalahkan Golkar pada Pemilu 1977. Ia dikejar-kejar dan lari berlindung pada tokoh-tokoh GAM dan akhirnya resmi bergabung ke gerakan ini.
Awal 1978 :
TNI mengadakan penyergapan, Abdullah Syafei dkk. melarikan diri ke Malaysia, Thailand sampai akhirnya terdampar di Libia.
1983-1987 :
Abdullah Syafii pulang ke Aceh tahun 1983. Ia mengonsolidasikan kekuatan GAM. 1987, Hasan Tiro mengangkatnya sebagai Panglima GAM. Setahun berikutnya, ia mendeklarasikan pengangkatannya kepada publik Aceh.
Awal 1989 :
Sebanyak 11 pejuang eks Libia mendirikan Majelis Pemerintahan (MP) GAM di Kualalumpur dipimpin Husaini dan Sekretaris Tengku Don Zulfadli, menyatakan Aceh merdeka pada tahun 2004. Hasan Tiro (77 tahun waktu itu) marah dan mengeluarkan mereka dari keanggotaan GAM. Zulfadli tewas ditembak lawannya 1 Juni 2000.
1989-1998 :
Presiden Soeharto menerapkan kebijakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dengan sandi Operasi Jaring Merah atas permintaan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan. Korban tewas diperkirakan 4.000-5.000 jiwa. Sumber lain menyebut 8.344 jiwa tewas.
7 Agustus 1998 :
Presiden Habibie mencabut status Aceh sebagai DOM.
5 Januari-5 Maret 1999 :
TNI melakukan Operasi Wibawa 1999. Sebanyak 730 jiwa rakyat Aceh dan 170 aparat tewas.
24 Maret 1999 :
Mahasiswa membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) untuk menggalang Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR) di Masjid Baiturrahman. SIRA, lembaga perjuangan politik menapai Aceh merdeka.
Desember 2000 :
Ahmad Kandang muncul sebagai Panglima GAM lainnya. Ia tewas oleh desingan peluru TNI.
4 Desember 1999 :
GAM merayakan hari ulang tahun secara terbuka dipimpin Abdullah Syafei.
16 Januari 2000 :
Abdullah Syafei dikabarkan tertembak. MPR GAM di Kualalumpur membantah. Abdullah Syafei pun benar masih hidup.
29 November 2000 :
Presiden Abdurrahman Wahid mengundang tokoh intelektual, ulama dan santri ke Istana Merdeka. Hadir Sofyan Ibrahim Tiba (Universitas Muhammadiyah Aceh), Naimah Hasan, Tengku Baihaqi (Himpunan Ulama Dayah dan Penasihat Thaliban), M. Daud Yoesoef (Universitas Syah Kuala). Disepakati, penyelesaian Aceh melalui dialog TNI dan GAM. Kedua pihak sepakat untuk menunjuk mediator Henry Dunand Centre (HDC) sebagai mediator.
sekilas bayangan mengapa dan kenapa dengan Indonesia, Aceh, Gam, DOM dan konflik - diambil dari pikiran rakyat. diambil dari sebuah blog website.