Saturday, May 01, 1999

Buruh, kampanye, dan verbalisme

Buruh, kampanye, dan verbalisme

Thu, 1 May 1997 00:13:54 GMT+07

Bismillah,
Assalamu'alaikum wr.wb.
> Kepada seluruh pembaca isnet,.
> Akhir-akhir ini , bahkan entah beberapa tahun yang lalu, kita sering
> mendengar "teriakan para buruh, " .Teriakan akan hak-hak mereka yang tidak
> terpenuhi. Begitu nyaringnya teriakan tersebut, tapi seberapa orangkah yang
> mau peduli ?
>

Hari ini saya membaca koran. Ternyata tidak hanya Indonesia yang
sedang dilanda kampanye. Inggris juga. Partainya pun ada tiga. Apa
perbedaannya dengan tiga partai di Indonesia?

Jawabannya saya dapat di berita TVRI jam 21.00. Sementara peserta
kampanye Indonesia menggoyangkan badan mengikuti irama dangdut, di
Inggris para kontestan justru mati-matian meyakinkan bahwa program
merekalah yang akan menyelamatkan Inggris! Janji-janji yang mereka
keluarkan bukan semacam globalisasi atau pembangunan merata di
seluruh Inggris, namun lebih ke hal-hal yang ril, misalnya tentang
inflasi (sampai berapa persen), peran Bank of England, kedudukan
House of Lords, dan lain-lain. Dan rakyat mereka mengamati itu. Ada
timbal balik antara partai-partai dengan rakyat biasa.

Memang, dalam wacana Islam tidak dikenal apa yang dinamakan kampanye
menarik orang memilih dirinya. Tapi antara kampanye di negeri Muslim
terbesar di dunia ini dengan kampanye di Inggris, saya toh lebih tertarik
mengikuti kampanye di Inggris. Sekali sang PM ingkar janji,
kedudukannya akan terancam. Termasuk, di dalamnya, kedudukan kaum
buruh. Maka ada yang namanya partai Buruh. Nasib buruh bisa menjadi
agenda nasional.

Sementara ada seorang pengkampanye berteriak akan membela wong cilik,
rakyat jelata, atau apapun namanya, toh sistem birokrasi yang rumit
tidak juga berubah, di sini, di "untaian zamrud katulistiwa".
Birokrasi inilah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Seolah-olah
orang-orang Indonesia tidak lagi mendengar peringatan Nabi kita
tercinta:

PERMUDAH, JANGAN PERSULIT!

Ah, celaka, sungguh celaka! Rasulullah yang kita rindui itu juga
mewanti-wanti agar hati-hati terhadap kaum lemah. Kita seolah-olah
tuli ketika orang bercerita tentang pidato pelantikan Abu Bakar r.a.
atau Umar bin Abdul Azis. Memang makin banyak orang yang tahu tentang
agama di Indonesia, tapi sebatas pada VERBALISME ketika kita hanya merasa
bangga dengan apa yang dudah diperbuat oleh pendahulu-pendahulu kita.
Bangga dengan ke-Islaman, tapi ke-Islaman-nya Imam Ghazali, Imam
Empat Mazhab, dll. Bangga dengan ke-Indonesiaan, tapi ke-Indonesiaan-nya
Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir... Ke-Islaman dan ke-Indonesiaan
diri sendiri malah TIDAK MUNCUL, tenggelam dalam kata-kata yang
semakin banyak keluar.

Estananto

http://www.isnet.org/archive-milis/archive97/apr97/0441.html