Wednesday, March 30, 2005

Bisnis Anne Ahira dan Elite Team: Aksi Keprihatinan



Aksi Prihatin Terhadap Skema Bisnis Anne Ahira Kami, warga masyarakat dan komunitas Internet, merasa prihatin terhadap model bisnis yang diterapkan oleh Anne Ahira. Kami keberatan bahwa bisnis ini diasosiasikan dengan melakukan marketing di Internet. Marketing yang dilakukan di Internet sebenarnya adalah sesuatu yang baik dan wajar asalkan dilakukan dalam batas-batas etika dan kewajaran.

Setelah melakukan penyelidikan, kami berkesimpulan bahwa bisnis ini hanyalah sebuah praktik skema piramida yang dibungkus dengan istilah Internet Marketing. Hal ini jelas terlihat dari apa yang harus dilakukan oleh setiap anggota Elite Team, yaitu merekrut empat anggota baru. Skema piramida sejatinya merupakan penghisapan oleh segelintir individu terhadap banyak orang. Menurut kami, Internet tidak perlu dikotori dengan pemasaran dari bisnis tidak jelas seperti itu. Silakan melakukan pemasaran via Internet sejauh masih dalam batas-batas kewajaran dan bisnisnya adalah bisnis yang baik dan jelas.

Lebih jauh lagi, kami melihat bahwa Elite Team menawarkan janji yang menyesatkan, yaitu menyatakan bahwa tujuan Elite Team adalah agar semua anggota Elite Team memperoleh penghasilan $6.688 per bulan, dan bahwa ini adalah tujuan yang realistis. Tetapi realitanya adalah: seandainya semua anggota Elite Team bekerja keras dan teguh pada regimen Elite Team, hanya 1 dari 341 orang, atau 0,29%(!) yang memperoleh $6.688 per bulan. Sangatlah jauh dari apa yang diakui sebagai tujuan realistis Elite Team.

Produk yang ditawarkan Anne Ahira/EliteTeam adalah keanggotaan representative (rep.) di Financial Freedom Society, Inc. (FFSI), di mana setiap rep. harus membayar $54,95 per bulan kepada FFSI. Setiap rep. memperoleh komisi dari menjual keanggotaan FFSI ke orang lain sehingga menjadi rep. baru. Orang yang direkrut ini disebut sebagai affiliate, atau di MLM lain dikenal dengan nama downline, dan setiap rep. juga memperoleh komisi dari penjualan yang dilakukan oleh downline-nya sampai empat tingkat downline.

Selain dari keanggotaan FFSI, boleh dibilang tidak ada produk atau jasa yang dijual oleh Anne Ahira dan Elite Team. Dalam sistem Elite Team, besar penghasilan bulanan seorang anggota tergantung dari jumlah downline FFSI-nya dan bagaimana struktur downline tersebut karena tidak ada atau hampir tidak ada penghasilan seorang anggota Elite Team selain dari komisi FFSI.

Dengan perhitungan satu anggota mendapatkan 4 anggota baru, seperti yang dipraktikkan oleh Elite Team, maka hanya dalam 17 tingkat piramida jumlah anggota keseluruhan menjadi sebanyak 5.73 miliar. Sedangkan jumlah populasi manusia keseluruhan di dunia hanyalah 6.4 miliar. Jika seluruh 5.7 miliar manusia tersebut mengikuti program ini, maka hanya 89 juta orang yang akan berpenghasilan $6.688 per bulan. Sementara 5.3 miliar lainnya merugi!

Dengan demikian kami menghimbau masyarakat Internet untuk tidak mudah terjebak oleh iming-iming kekayaan yang dijanjikan oleh Anne Ahira, Elite Team maupun pihak-pihak lainnya. Kami berharap masyarakat Internet bisa menyadari adanya model bisnis semacam itu sehingga dapat lebih waspada. Kepada redaktur media massa juga kami berharap untuk selalu melakukan investigasi terlebih dahulu ketika membahas bisnis-bisnis yang tidak memiliki kejelasan seperti itu agar nantinya tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai promosi terselubung.

Internet, 30 Maret 2005

Tertanda,

Estananto

ps. Bagi rekan-rekan penulis blog yang ingin menyebarkan pernyataan sikap ini dapat menyalin seluruh isi tulisan ini pada blog masing-masing. Tetapi tidak menutup kemungkinan rekan-rekan yang bukan penulis blog untuk mengikuti aksi ini.

Tuesday, March 29, 2005

Anggota TNI Diduga Terlibat Illegal Loging di Papua

http://www.kompas.com/utama/news/0503/30/011908.htm

Jakarta, KCM

Empat anggota TNI diduga terlibat dalam illegal logging di Papua. Mereka disinyalir menerima aliran dana dari pengusaha asal Malaysia, Wong Tse Thung, yang saat ini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) terkait dengan kasus illegal loging di Papua.

Menurut data yang diperoleh wartawan dari sumber di pemerintahan, para petinggi TNI tersebut tiga diantaranya anggota TNI AL dan satu orang lainnya anggota TNI AD. Mereka adalah mantan Dandim Manokwari Letkol RS, Mantan Danlanal Sorong Letkol P, Kapuskopad Kolonel RG, dan Wadan Denpom Sorong Kapten KC.

Selain itu terdapat pula sejumlah anggota Polri yang diindikasikan terlibat, yaitu mantan Wakapolda Papua Brigjen Pol T, mantan Kapolres Manokwari JPW, serta Kompol MR dan KA.

Di samping itu terdapat tiga pejabat sipil yang diduga terlibat adalah pejabat Dinas Kehutanan MM, Kadis Perhutanan Manokwari H, dan Syahbandar Bituni FM. Mereka diduga menerima aliran dana dari Dirut PT Sandjaya Makmur Wong Tse Thung melalui Rekening di BNI pada tahun 2002 lalu.

Dari sumber tadi, juga disebutkan dalam setiap aksi penebangan ilegal selalu ada langkah koordinasi dengan aparat TNI, Polri, maupun sipil. Jumlah dana koordinasi yang diterima aparat berkisar pada angka Rp50 juta hingga Rp500 juta per orang.

Tingkatan jabatan aparat yang diduga telah menerima dana koordinasi ituun beragam. Mulai dari tingkatan Komandan KRI, Danlanal hingga petinggi TNI AL bintang dua.

Di lingkungan kepolisian, langkah koordinasi juga dilakukan terhadap pertugas dari berbagai lapisan. Mulai dari petugas polisi di lapangan, Kapolsek, Kapolres, Dir Airud, Dir Intel, Dir Ops, Dir Serse, Wakapolda, dan Kapolda Papua. Sedangkan, koordinasi para pengusaha dengan pejabat sipil melibatkan oknum aparat Dinas Kehutanan, Bea Cukai, dan Dinas Perhubungan.

Sementara itu, dari data yang diperoleh wartawan, hasil penyelidikan satgas gabungan menyebutkan, terdapat dua perusahaan yang mendapatkan izin penjualan kayu ke luar negeri melalui IPKMA (Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat) yakni PT Marindo Jaya Utama yang dipimpin Wong Tse Thung dan Feny Rahmat serta PT Sandjaya Makmur yang dipimpin Yudi Firmansyah.

Kedua perusahaan tersebut dalam operasinya mengunakan 19 kapal milik PT Pelayaran Sinar Sanjaya Abadi. Beberapa waktu lalu, sebanyak 51.833,56 meter kubik kayu hasil penebangan illegal itu sempat disita petugas.

Selain kedua perusahaan tersebut, ijin serupa juga dikantongi oleh perusahaan milik TW dan Robert Kardinal (anggota DPR dari Papua), yang saat ini juga tengah dalam proses pemeriksaan terkait dengan praktik illegal loging di Papua.

Selain dari IPKMA, pemberian izin penebangan kayu juga diberikan oleh induk koperasi di bawah Dephut (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu). Pemberian izin itu diberikan IUPHHK di antaranya Jayanti Grup dan Hanurata.

Sejumlah perusahaan yang mengantungi ijin bagi penebangan di daerah tertentu,ternyata juga melakukan kegiatannya mereka di luar areal yang telah ditetapkan dan menggunakan alat berat tanpa ijin.

Kisaran dana koordinasi pengusaha penebangan liar dengan oknum aparat TNI selama satu tahun mencapai Rp 11,7 miliar. Sedangkan nilai koordinasi dengan oknum aparat Polri mencapai Rp 10,32 miliar. Lalu, dengan aparat sipil mencapai Rp 3,6 miliar.

Total nilai koordinasi yang diterima ketiga unsur itu Rp 63,75 miliar per tahun, nilai yang terdistribusi secara rutin Rp 25,62 miliar per tahun. Sedangkan sisanya Rp 38,13 miliar per tahun terdistribusi kepada para pejabat sesuai permintaan.

Ketika hal itu ditanyakan kepada Komandan POM AL Brigjen Soenarko tentang dugaan keterlibatan anggota TNI AL, ia menegaskan, pihaknya siap melakukan pemeriksaan bila memang benar ada indikasi kuat adanya keterlibatan anggota TNI AL.

"No problem. Kita akan periksa," tandasnya.

Namun sejauh ini, mengatakan, pihaknya sedang menyelidiki kebenaran dugaan tersebut.

Saat ini, lanjutnya penangganannya masih dilakukan oleh Aspam KSAL karena masih bersifat dugaan.

"Jika ternyata ditemukan barang bukti dan saksi-saksi, baru Pomal dilibatkan," katanya. (Maria Donna)

Monday, March 14, 2005

BBM dan Ambalat (1)

Ada artikel bagus di Kompas:

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/09/opini/1611866.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/09/opini/1611882.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/08/opini/1604534.htm

Sebetulnya "keberanian" Malaysia untuk mengklaim Ambalat juga diakibatkan lemahnya kekuatan laut kita. Tidak bisa disangkal bahwa penyelundupan (paling banyak ke Malaysia ya?) masih terus terjadi. Dan anehnya, kelemahan TNI-AL dalam mencegah penyelundupan kok malah diwujudkan dengan penaikan harga BBM sampai 30%. Padahal, kalau dinaikan 5% saja dulu, dengan anggaran 5 trilyun rupiah untuk menambah patroli TNI-AL, marinir,dan kekuatan udara TNI-AL, tentu sudah sedikit menambah performansi laut TNI. Tapi seperti biasa orang kita hanya terpukau dengan hal-hal yang bombastis seperti di Ambalat.
Peristiwa-peristiwa seperti penyelundupan BBM, illegal logging, penyelundupan komoditi (ke dalam), lintas batas yang begitu sering tampaknya membutuhkan angkatan keempat yaitu Angkatan Penjaga Perbatasan (The Border Guards Service) di tubuh TNI. Amerika punya USCG karena dia adalah negara kontinental dengan garis pantai barat
dan timur. Rusia punya Angkatan Peluru Kendali untuk menangani rudal-rudalnya, sedangkan Indonesia punya garis batas meliputi laut dan darat yang amat luas melingkari kepulauan nusantara. Butuh sebuah komando tersendiri untuk itu. Sedangkan kekuatan TNI AD, AL, dan AU dikonsentrasikan di "dalam" kepulauan. Komando ini memiliki struktur sendiri dan diberi wewenang untuk menangani hal-hal seperti kejahatan ekonomi. Berapa trilyun kerugian akibat penyelundupan, baik ke dalam
maupun keluar,belum dihitung pencurian ikan oleh kapal asing?
Tampaknya jauh lebih besar dari subsidi BBM yang dihebohkan itu.
Menurut Sri Mulyani, dengan penaikan BBM itu pemerintah bisa "menghemat" subsidi sampai 20 trilyun rupiah; padahal Dirjen Pajak mengatakan potensi pajak yang tidak terealisasi sampai 600 trilyun (perolehan sekarang, dengan sistem tawar menawar antara petugas pajak dan perusahaan2 saja, diperoleh 200 trilyun rupiah). Sampai mentalitas petugas pajak dan pembayar pajak yang melestarikan sistem kongkalikong
berbaju resmi itu diubah, percayalah, negara kita akan miskin seumur-umur, atau bahkan akan ambruk, karena semuanya jadi maling!

Tuesday, March 08, 2005

Pebisnis keluhkan reformasi pajak

Harian Bisnis Indonesia 8 Maret 2005

Pebisnis keluhkan reformasi pajak

JAKARTA (Bisnis): Kalangan pelaku usaha menginginkan kejelasan reformasi pajak serta menuntut pemerintah sungguh-sungguh memangkas biaya bisnis.
Dalam dialog dengan jajaran departemen keuangan, para pengusaha mengeluhkan berbagai permasalahan yang telah berlangsung lama namun belum ada perubahan berarti.
Mereka menyebut berbagai retribusi yang harus dibayar pengusaha maupun 'retribusi tidak resmi', aturan perpajakan serta perilaku aparat pajak hingga persoalan suku bunga yang tidak kunjung turun hingga ke satu digit.
"Inti dari pertemuan Kadin dengan jajaran Menteri Keuangan maupun Menteri Perindustrian hari ini [kemarin] adalah dunia usaha kita tidak kompetitif karena high cost economy yang notabene karena aturan pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah," ujar Ketua Umum Kadin Indonesia M.S. Hidayat sesuai dialog itu kemarin.
Pertemuan itu dilangsungkan untuk mencari jalan keluar dalam menekan biaya bisnis, setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.
Pertemuan tersebut dihadiri kalangan pengusaha anggota Kadin serta Menteri Keuangan Jusuf Anwar, Menteri Perindustrian Andung Nitimihardja, Dirjen Pajak Hadi Poernomo, serta kalangan perbankan.
Bankir yang hadir antara lain Dirut Bank BNI Sigit Pramono, Dirut Bank Mandiri ECW Neloe serta Direktur Keuangan BCA Jahja Setiaatmadja.
Paket reformasi pajak yang direncanakan pemerintah mengagendakan pemutihan pajak, namun sampai saat ini belum jelas. Karena itu, dalam dialog tersebut pengurus Kadin Chris Kanter mengingatkan Menkeu agar dalam reformasi perpajakan yang sedang berjalan sebaiknya meliputi pembahasan UU tentang pengampunan pajak dan UU Peradilan Pajak.
Pengusaha Anton J. Supit menambahkan persoalan pajak yang dihadapi dunia usaha meliputi dimensi yang sangat luas. Dia menuding kumulatif tarif pajak yang tidak kompetitif, tiadanya kesetaraan perlakuan antara WP dan pemungut pajak, kinerja administrasi perpajakan yang tidak efisien serta dominannya peran institusi perpajakan.
Ketua Asosiasi Emiten Indonesia AEI Airlangga Hartarto juga mengeluhkan adanya pemeriksaan pajak yang berlebihan terhadap sejumlah emiten tertentu. "Jangan sampai perusahaan terbuka terlalu 'ditembaki' soal pajak ketimbang perusahaan tertutup," ujarnya dalam diskusi itu.
Namun Menteri Keuangan hanya menanggapi berbagai keluhan pengusaha itu dengan jawaban-jawaban singkat dan sembari 'membanyol'. "Anda menghitung saja salah... bagaimana mengisi SPT," ujarnya sembari tertawa menanggapi ucapan Sofjan Wanandi saat menyampaikan poin-poin keluhannya.
Bahkan menanggapi tudingan dari berbagai pengusaha yang hadir pada pertemuan tersebut menyangkut 'aktivitas' Ditjen Pajak dalam menggapai WP, Jusuf hanya berkomentar pendek: "Tidak ada dusta di antara kita."
Terkait dengan keluhan emiten, Jusuf berjanji akan memberikan yang terbaik. "Emiten kan menjadi primadona pasar modal," candanya.
Potensi hilang
Di tempat terpisah, Dirjen Pajak Hadi Poernomo mengatakan potensi kehilangan (potential loss) pajak dari sektor perbankan dan pasar modal mencapai Rp679,2 triliun.
Dia menjanjikan jika Ditjen Pajak diberi keleluasaan terhadap perbankan, pasar modal, dan keterbukaan transaksi penerimaan pajak bisa tiga kali lipat per tahun.
Di pasar modal, lanjutnya, Ditjen Pajak juga tidak mendapatkan informasi data pemain saham.
Padahal, merujuk Securities and Exchange Comission (SEC), otoritas pasar modal AS itu memberikan data 40.000 pemain saham ke aparat pajak. (gak/ wiw/shm)