Saturday, November 12, 2005

Recent article in The Jakarta Post

Winning hearts and minds to prevent terrorism
Opinion and Editorial - November 11, 2005
Estananto, Frankfurt (actually I live in Munich)

Vice President Jusuf Kalla in a recent interview said that the government would take stronger measures in the war against terrorism, including taking a closer look at pesantren (Islamic boarding schools).
This step is to prevent radicalism being taught to young students. Specifically, Kalla mentioned three names: Imam Samudra, Sayyid Qutb and Hasan Al-Banna.
In addition, he mentioned also "Khawarijism" as being a dangerous stream of thought (Gatra, Oct. 24, 2005). Later however, Kalla said that only two pesantren required intensive observation. He also denied the existence of Jamaah Islamiyah.
Separately, Hery Haryanto Azumi, chairman of PMII -- an autonomous youth body of Nahdlatul Ulama that represents many pesantrens -- told reporters that only 3 percent of approximately 17,000 pesantrens taught radicalism to their students (NU online). Based on this assumption, this means that approximately 500 pesantren should be looked at by the authorities -- far more than the mere two mentioned by Kalla. This puts a big question mark about what exactly is meant by radical teachings and how far these teachings influence society.
The 33-year-old terrorist Imam Samudra published his autobiography in August 2004, entitled Aku Melawan Teroris (I Oppose Terrorists). He wrote his story from childhood to his time in Afghanistan, an experience that he says turned him into a "true Muslim".
What has been written by Samudra shows that his personal understanding of Islam grew from Afghanistan and was far from the Islamic traditions of Indonesia. Since Indonesia's independence in 1945, Muslim organizations here have been committed to democracy.
Although about 90 percent of Indonesians are ostensibly Muslim, from their very nature most have no desire or intention to force their religion upon the state. This is because they know that Islamic law as demanded in the Koran and Hadith could be substantively -- if not literally -- implemented within a multicultural society.
In 2002, when the 1945 constitution was to be amended, only two Islamic parties voted for the "Jakarta Charter" that explicitly stated that "Muslim citizens should live according Islamic sharia law". Two other Muslim-based parties, the National Awakening Party (PKB) and the National Mandate Party (PAN) have rejected this idea. Meanwhile, the Prosperous Justice Party (PKS) as a new, young party, proposed the Madina charter as model, that everyone should be free to practice his/her religion.
This is why many Indonesians do not believe that Indonesia is a safe haven for terrorists. They cannot believe that some form of Afghanistan-style jihad could spread to Indonesia, even though they may have expressed some solidarity with the Afghan people when they were invaded by the then-Soviet Union.
But from Samudra's story, we can see that the development of terrorists here is possible.
Afghan "jihad" alumni are not the only ones. In another context, famous Egyptian scholar Sayyid Qutb, with his monumental works like Milestones and Under the Shadow of the Koran, interpreted how a Muslim should draw a line between Islam and jahiliyya (ignorance, pre-Islamic) in very clear way.
Although it is not proven that Qutb's works spark "license-to-kill" thinking against those who do not stand "with us", the pattern seems to be "you're either with us or with them". In these works, Qutb shows that this polarized approach is a consequence of Islamic doctrine itself. The background of when Qutb wrote his works until his death by hanging in 1966 is seldom openly discussed.
Nasser's regime in Egypt was repressing all opposition, and this caused Qutb to fight back in the form of radicalism, in addition to some ideas about "purification" from the Salafists. Qutb's works spread to Indonesia mainly in the 1980s, with the publication of an Indonesian translation of The Milestones, Petunjuk Jalan, in 1980.
Kalla's proposal to ban Qutb's books would be difficult to carry out in reality. In the 1980s, some illegal Islamic magazines also publicized Qutb ideas that were freely circulated, despite strong control from the military-led New Order regime. The government, with their then-powerful intelligence apparatus, were not able to watch every corner of the vast Indonesian archipelago, including youth communities in Java that were very influential.
Now these same magazines, with more friendly styles, are being sold freely on the streets. The government can not reverse this; they can only offer alternatives. When people come to realize that Qutb's ideas are not proper for Indonesia in the modern context, they will not be influenced by even more radical ideology.
The government together with civil society should be more active in promoting a cultural Islam in Indonesia. It is not a struggle between secularists and religionists, but rather a front for discussing how to participate in modern, multicultural Indonesia.
The government must also clean up the corrupt bureaucracy. If one is able to have more than one Indonesian ID card with different addresses and even different names, does anyone have to wonder why fugitive terrorists like Malaysians Noordin M. Top and Dr. Azhaari cannot be found?
Fighting against terrorists and the seeds of terrorism is a multi-faceted war. It is not a question of who should be blamed yesterday, today, or tomorrow. The challenge is like the classic tactic of guerrilla war: winning people's hearts, and separating the terrorists from the people who cover for them.
This tactic was used in West Java when fighting against the rebellious Darul Islam, and was done in form of so-called pagar betis" (lit. "fence of people") to prevent rebels fleeing their positions. The government succeeded in convincing the people that "Darul Islam" was different from their own Islam. Without this, the Darul Islam rebellion would never have ended.
The writer is an Indonesian engineer living in Germany.

Thursday, November 10, 2005

Hari Pahlawan Kelabu

Artikel di Harian Pikiran Rakyat, 10 November 2005
Hari Pahlawan Kelabu
Oleh ESTANANTO

TANGGAL 10 November, bangsa Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan yang ke-60. Enam puluh tahun yang lalu, salah satu peristiwa monumental yang menghasilkan korban gugur sebanyak 16 ribu orang Indonesia telah terjadi di Surabaya.

Angka 16 ribu ini diperoleh wartawan senior Rosihan Anwar dari Roeslan Abdoelgani, yang mendapatkan data dari Kepala Rumah Sakit Republik, dr. Mohammad Suwandhi (Harian Berita Sore Online).

Gugur sebanyak itu adalah hasil pertempuran dengan Divisi India-5 pimpinan Jenderal Mansergh berkekuatan 24 ribu prajurit dengan 24 buah tank Sherman, 24 buah pesawat tempur, yang telah teruji memenangkan Perang Dunia II yang dahsyat itu. Tentara Inggris gagal menguasai Surabaya dalam tiga hari sebagaimana diperkirakan, sehingga menimbulkan tanda tanya besar bagi tentara Sekutu atas apa yang terjadi di Indonesia. Menurut Rosihan Anwar lagi, tentara Inggris kehilangan 4 ribu orang dalam pertempuran Surabaya sehingga jumlah korban jiwa seluruhnya 20 ribu orang. Sedemikian gigihnya para pejuang mempertahankan Surabaya pada saat itu, akhirnya peristiwa itu diabadikan oleh pemerintah RI sebagai Hari Pahlawan.

Kiai dari Jabar

Di depan Simposium dan Silaturahmi Kader NU Luar Negeri di Kairo tanggal 30 Juli 2003, K.H. Said Aqil Siradj menceritakan bahwa dalam pertempuran Surabaya bukan hanya pejuang dari Jawa Timur yang ikut melawan tentara Sekutu, melainkan dari seluruh Jawa, bahkan Jawa Barat. Semuanya diawali oleh Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang memerintahkan "melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam" yang diikuti banyak ulama, termasuk para kiai dari Buntet, Arjawinangun, dan Babakan Ciwaringin, yang kesemuanya dari Cirebon, juga ada Kiai Suja'i dari Indramayu. Konon menurut Said Aqil, yang juga berasal, Cirebon, K.H. Abdullah Abbas dari Buntet turut terjun di medan pertempuran Surabaya.

Yang mengharukan dari kisah Kiai Said adalah bahwa dalam pertempuran itu yang diturunkan oleh Inggris menyerbu Surabaya bukanlah tentara dari Eropa melainkan dari India. Sebagai jajahan Inggris India memang terkenal sebagai penyumbang tentara dalam peperangan-peperangan di Perang Dunia II. Salah satu anggota tentara Divisi India ke-5 ini adalah Letnan Zia-ul-Haq, yang kemudian hari menjadi Presiden Pakistan (Pakistan tahun 1947 memutuskan merdeka terpisah dari India).

Masih menurut Kiai Said - yang belum pernah dituturkan ahli sejarah manapun - Zia-ul-Haq ketika melihat lawannya adalah di antaranya para santri, yang juga berwudu dan berzikir, akhirnya menolak ikut perang dan menyuruh anak buahnya untuk menghindari medan perang.

Tidak menutup kemungkinan bahwa pesantren lain di Jawa Barat juga mengirimkan santrinya dalam pertempuran Surabaya. Data sejarah kita belum terlalu baik dikumpulkan, sehingga generasi puluhan tahun sesudahnya tidak dapat lagi menemukan bukti-bukti tertulisnya. Ini merupakan bencana besar bagi sebuah bangsa yang ingin menemukan jati dirinya sendiri, bukan jati diri orang lain. Namun yang jelas, resolusi jihad untuk mempertahankan Negara RI Merdeka dan Agama Islam telah bergema dan turut membuat Belanda berpikir ulang kembali untuk menundukkan bekas wilayah jajahannya. Tentara pemenang Perang Dunia dengan dukungan kekuatan penuh darat, laut, dan udara hanya mampu merebut Surabaya dalam waktu tiga minggu, jauh dari target semula yaitu tiga hari. Sangat pantas jika diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Mengapa menjadi kelabu?

Enam puluh tahun setelah peristiwa heroik di Surabaya, apakah yang masih tersisa? Walaupun persiapan perayaan 60 tahun 10 November relatif kurang dirasakan dibandingkan peringatan 60 tahun kemerdekaan RI ataupun 60 tahun hari TNI, namun tentu bukan itu masalahnya.

Suasana duka bangsa yang dilanda krisis berkepanjangan, selalu menempati 10 besar negara terkorup di dunia, harga bahan bakar minyak yang kenaikannya lebih dari 100% yang akhirnya memicu kenaikan harga-harga hingga 15%, membuat kebanggaan dan keinginan meneladani pejuang 10 November mempertahankan negara dari campur tangan luar menjadi hambar. Duka lara ini ditambah oleh serangan demi serangan teror yang terus menimpa rakyat Indonesia, terakhir terjadi di Bali tanggal 1 Oktober 2005.

Teror terakhir ini sampai membuat wacana berkepanjangan tentang pengawasan terhadap pesantren-pesantren yang diduga mengembangkan ajaran radikal. Belakangan Wakil Presiden Jusuf Kalla meralat ucapannya menjadi hanya dua pesantren yang akan diawasi. Berbagai kalangan dalam dan luar negeri sangat yakin bahwa pelakunya adalah anggota Jamaah Islamiyah. Jusuf Kalla membantah keberadaan Jamaah Islamiyah.

Sebaliknya kalangan lain seperti Rohan Gunaratna berpendapat sebaliknya. Dalam halaman blognya, Rizqon Khamami, salah seorang intelektual muda Nahdlatul 'Ulama, menyatakan Jamaah Islamiyah benar ada, setidaknya menurut Asrori S. Kamil, seorang wartawan. Sekarang, kalaupun JI ini benar ada, mengapa dia mampu membuat jaringan pengeboman yang sangat kuat padahal jarang orang Indonesia yang mengenal atau bahkan mendengar namanya? Ataukah JI hanya "operator" dari jaringan yang lebih canggih lagi?

Lebih menghebohkan lagi adalah sebuah opini di Harian Kompas tanggal 7 November 2005. Dengan lugas Ariel Heryanto, seorang pengajar di Universitas Melbourne, membeberkan apa yang dilihatnya dalam sebuah serial jaringan televisi SBS. Jaringan ini menayangkan karya David O'Shea pada tanggal 12 Oktober 2005 yang judulnya cukup menyeramkan: Inside Indonesia: War on Terror. Apa yang disampaikan Shea cukup membuat seram pula: bukan kelompok jamaah Islamiyah yang membuat teror, melainkan tentara, polisi, dan jaringan intelijen Indonesia sendiri. Dalam beberapa saat SBS tidak lagi menayangkan transkrip acara itu dalam halaman internetnya, padahal untuk program lain transkrip selalu tersedia di halaman itu.

Jika Shea benar, tentu makin menambah kelabu perayaan ke-60 Hari Pahlawan kali ini. Jika kerusuhan dan ledakan bom yang menewaskan banyak orang memang sengaja dipelihara, alangkah kejamnya. Kerugian tak terhitung dari material dan nonmaterial, hingga cap dari dunia internasional kepada bangsa Indonesia sebagai bangsa teroris. Cap hina yang sama buruknya dengan bangsa koruptor, apalagi kedua-duanya.

Tentu sangat memprihatinkan, bahwa hingga kini pelaku bom Bali II belum bisa diungkap sama sekali. Kini dengan kesaksian Shea itu, seharusnya kita tertantang untuk membuktikan apakah tuduhan itu benar atau salah. Penulis sendiri berkeinginan bahwa tuduhan itu salah, namun tentu harus ada counter atas setiap argumen Shea, termasuk terhadap pendapat seorang mantan Presiden RI dan saksi-saksi lain yang diwawancarai oleh Shea. Kalau tidak, tidak ada yang bisa disalahkan jika orang berpendapat bahwa Shea benar. Sudahilah air mata yang terus berderai, bangkitlah sebagaimana Gubernur Suryo menjawab tantangan Jenderal Mansergh. Demi Republik Indonesia yang merdeka.***

Penulis, insinyur kelahiran Bandung, tinggal di Munich, Jerman.