Thursday, January 27, 2005

Tantangan Industri Semikonduktor era Nanoteknologi

Tantangan Industri Semikonduktor era Nanoteknologi

dimuat di halaman web alumni Teknik Fisika ITB

Banyak orang merujuk pada hukum Moore, bahwa jumlah transistor dalam suatu rangkaian terintegrasi (IC) akan menjadi dua kali lipat dalam 18 bulan. Ramalan ini terbukti dalam produk-produk IC sehari-hari. Dulu kita kenal prosesor Intel seri 4004, hingga 286, 386, 486, Pentium, dan hingga kini Pentium 4. Jumlah transistor pada Intel 4004 tahun 1971 "hanya" 2300 transistor, sementara pad Pentium II tahun 1997 kita
mendapati 7,5 juta transistor di dalamnya. Pentium 4 malah mengandung 55 juta transistor di dalamnya.
Jangan terkejut jika dalam waktu dekat akan ada mikroprosesor yang mengandung 1 miliar transistor. Tentu saja jumlah transistor sebesar itu menunjukkan,
bahwa ukuran setiap transistor itu amat kecilnya. Kalau tahun 1970-an transistor berukuran lebih dari 1 mikrometer (1 mikrometer adalah sepersejuta meter), maka kini perusahaan-perusahaan semikonduktor berpacu di kisaran 100 nanometer (100 sepersemilyar meter), dengan kemampuan yang makin meningkat pula. Kalau tahun 1970-an kecepatan proses mikroprosesor hanya 0,1 MHz, kini Pentium mampu bekerja di kisaran 1 GHz. Benar-benar luar biasa hasil rekayasa ini.
Meningkatnya unjuk kerja itu amat berkaitan dengan berkurangnya ukuran transistor. Berkurangnya tegangan (voltase) yang dibutuhkan oleh setiap transistor dan di saat yang sama mengurangi waktu tunda (delay time), yakni beda waktu antara masukan dan keluaran dari sebuah rangkaian transistor, jelas memperbaiki kemampuan dalam bentuk frekuensi yang disebutkan di atas. Karena jumlah transistor yang makin banyak pula,
dimungkinkan terwujudnya aplikasi-aplikasi kompleks. Telefon genggam yang dilengkapi dengan video adalah salah satu contoh yang tidak terbayangkan tahun 1970-an.
Akan tetapi timbul masalah baru karena ukuran transistor yang di bawah 100 nanometer itu. Karena jumlah transistor yang mencapai puluhan juta dalam ruang yang sempit (hanya beberapa sentimeter persegi), maka jumlah total daya yang dibutuhkan juga meningkat sangat tajam. Sebagai gambaran, prosesor Intel Pentium membutuhkan 100 Watt daya, padahal tahun 1970-an daya yang dibutuhkan hanya sekitar 0,1 Watt. Diprediksikan bahwa dalam tahun-tahun mendatang sebuah mikroprosesor akan membutuhkan 500 Watt, bahkan seknario paling buruk bisa menjadi 18 Kilowatt. Kepadatan daya ini per sentimeter persegi bahkan bisa menyamai nozzle roket
atau reaktor nuklir. Untuk itu, dibutuhkan terobosan baru agar perkiraan itu tidak terjadi.
Inilah salah satu tantangan industri semikonduktor modern, yaitu mengurangi disipasi energi transistor. Memang mengecilnya ukuran transistor berefek positif, yaitu meningkatnya arus dari sumber (source) ke penguras (drain) pada saat transistor menyala (on). Ini pada gilirannya mengakibatkan berkurangnya waktu tunda (delay) yang berbanding terbalik dengan frekuensi. Akibatnya frekuensi meningkat yang berarti unjuk kerja transistor - dan rangkaian terintegrasi secara keseluruhan - meningkat. Akan tetapi, dengan makin tipisnya lapisan oksida pada gerbang (gate) transistor, arus *bocor* melalui gerbang bisa jadi meningkat. Ini masih ditambah dengan fenomena kapasitansi parasitik, yaitu rugi energi yang diakibatkan oleh kapasitansi yang muncul sebagai parasit dalam rangkaian, baik pada transistor sendiri maupun pada "kawat" (wire) yang menghubungkan satu rangkaian transistor dengan transistor lainnya.
Ada beberapa cara untuk mengatasinya. Desain transistor SOI (Silicon on Insulator) meletakkan insulator antara gerbang dan substrat sehingga mencegah arus bocor. Atau, dengan menjadikan material yang berkonstanta dielektrik tinggi pada gerbang yang juga mencegah mengalirnya arus bocor gerbang ynag dapat menjadikan kegagalan operasi transistor. Desain FinFET, yang menambah permukaan kontak gerbang untuk mengontrol arus nyala I(on). Atau, bisa juga dengan memperbaiki material silikon menjadi silikon renggang (strained silicon) sehingga memperkecil tahanan (resistance).
Tantangan lain muncul di bidang litografi: karena ukuran transistor yang akan dicetak berukuran di bawah 100 nanometer, maka dibutuhkan teknologi yang bisa
mencetak dengan panjang gelombang sekitar 100 nm. Ini adalah salah satu titik kritis pembuatan transistor beukuran nano, karena bisa berakibat pencetakan terjadi tidak sempurna. Kini muncul berbagai teknologi baru seperti teknologi penenggeleman (immersion technology) 193 nm dengan sumber laser tertentu, dan teknik OPC (optical proximity correction).
Tantangan-tantangan ini memunculkan harapan akan munculnya generasi transistor Terahertz (satu trilyun Hertz). Tinggal kita harus memilih, akan jadi penonton, pengguna, atau pemain.

Estananto, alumni TF-ITB, kini bekerja di sebuah perusahaan desain semikonduktor.

Wednesday, January 26, 2005

Kronologi Aceh

Indonesia, Aceh, GAM, DOM, Konflik NANGGROE Aceh Darussalam (NAD) cerminan dinamika daerah yang sarat konflik. Dari periode perang prakemerdekaan sampai era reformasi Indonesia, kekerasan selalu menyatu dalam jejak-jejak sejarah rakyat. Yang sangat membekas, jejak tentang stigma Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).

Warna konflik itu bisa dieksplorasi dari lintasan peristiwa berikut, disarikan dari buku Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, Solusi, Harapan dan Impian, karya Neta S. Pane dan sumber-sumber lain:

22 Agustus 1945 :

Sejumlah tokoh dan pejuang Aceh berkumpul di rumah Teuku Abdullah Jeunib di Banda Aceh. Anggota Volksraad (DPR buatan Belanda di Jakarta yang menjadi Residen Aceh), Teuku Nyak Arief hadir dalam pertemuan. Politisi muda menyampaikan pemikiran, agar rakyat Aceh, tokoh, dan pejuang di Aceh mendukung Soekarno-Hatta.

23 Agustus 1945 :

Sebanyak 56 tokoh hadir dalam pertemuan lanjutan di Shu Chokan (Kantor Residen Aceh, kini kantor Gubernur Aceh. Tengku Muhammad Daud Beureueh tidak hadir. Nyak Arief mengambil Alquran dan berdiri. ”Demi Allah, Wallah, Billah, saya akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir”. Teuku Polem Muhammad Ali mengikuti, hingga seluruh peserta pertemuan melakukan sumpah senada. Mantan Kepala Polisi di Aceh, Husein Naim dan Muhammad Amin Bugeh mengibarkan bendera Merah Putih. Nyak Arief diangkat sebagai Gubernur Aceh beberapa hari kemudian.

15 September 1945 :

Teuku Muhammad Daud Cumbok, putra hulubalang Desa Cumbok, lahir tahun 1910, menentang kemerdekaan RI di Aceh. Pejuang kemerdekaan RI di Aceh, dipimpin Sjamaun Gahara menyerbu Markas Daud Cumbok. Daud Cumbok disebut-sebut meninggal. Dikenal sebagai ”Peristiwa Cumbok”, ini merupakan konflik pertama kali antara kelompok pro-RI dengan penentangnya.

Kelompok pro-RI dimotori ulama, sedangkan penentang bergabung dengan RI dimotori hulubalang dengan pusat kekuasaan di Bireun, Aceh Utara. Di daerah ini belakangan dikenal sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah Hasan Tiro ke luar negeri. Sebelumnya, pusat GAM di Pidie. Perang Hasan Tiro baru bisa diatasi akhir 1946. Peristiwa ini sebenarnya antiklimaks dari pertentangan mereka sejak penjajahan Belanda (1910-1920).

16 Juni 1948 :

Presiden Soekarno bersumpah atas nama Allah untuk memberikan hak-hak rakyat Aceh dan menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam.

19 Desember 1948 :

Ibu kota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Soekarno-Hatta menunjuk Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi Sumatera Utara. Tengku Daud Beureueh yang kemudian dikenal sebagai tokoh pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia membantu pemerintah darurat tersebut.

17 Desember 1949 :

Penampilan Daud Beureueh untuk membantu Syafruddin disambut tokoh ulama lain, di antaranya Hasan Ali, Ayah Gani, H.M. Nur E.L. Ibrahimy, dan Teuku Amin. Mereka melobi Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan Provinsi Aceh. Syafruddin mengamini dan mengeluarkan Ketetapan PDRI Nomor 8/Des/WKPH tanggal Kutaraja, 17 Desember 1949. Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh. Namun, Wali Negara Sumatera Utara, Tengku Dr. Mansur menggagas megara merdeka, terpisah dari RI. Daud Beureueh diundang pertemuan. Undangan disebar oleh pesawat Belanda.

Akhir 1949 :

Daud Beureueh bersikukuh untuk mendukung kemerdekaan RI. Bahkan, mengalang pengumpulan dana dari rakyat Aceh untuk membiayai pemerintah RI. Tempo dua bulan, terkumpul 500.000 dolar AS. Sebanyak 250.000 dolar AS disalurkan kepada angkatan perang RI, 50.000 dolar AS untuk perkantoran RI, 100.000 dolar AS untuk pengembalian pemerintah RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 1000 dolar AS diserahkan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis.

Kemudian rakyat Aceh mengumpulkan 5 kg emas untuk membeli obligasi pemerintah untuk membiayai perwakilan Indonesia di Singapura, pendirian Kedutaan Besar RI di India dan pembelian dua pesawat terbang untuk transportasi pejabat RI.

8 Agustus 1950 :

Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta memutuskan, wilayah Indonesia dibagi 10 provinsi. Provinsi Aceh yang telah berdiri pada 17 Desember 1949, dilebur dengan Provinsi Sumatera Utara, tertuang dalam Peraturan Pengganti UU Nomor 5/1950 ditandatangani Pejabat Presiden Mr. Asaat dan Menteri Dalam Negeri Susanto Tirtoprojo (tokoh Partai Nasionalis Indonesia/PNI).

23 Januari 1951 :

Perdana Menteri M. Natsir membacakan surat peleburan provinsi tersebut di RRI di Banda Aceh.

21 April 1953 :

Daud Beureueh terpilih sebagai Ketua Umum Kongres Alim Ulama se-Indonesia di Medan. Ia minta segenap ulama memperjuangkan dalam Pemilihan Umum (Pemilu 1955 supaya negara RI menjadi Negara Islam Indonesia (NII). Gagasan senada dicetuskan lebih dulu oleh Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, pasukannya dikenal DI/TII. Kemudian, ia menyusun 13 dasar pemerintah NII.

21 September 1953 :

Daud Beureueh memproklamasikan dukungan berdirinya NII yang dipelopori Kartosoewirjo.

23 September 1955 :

Tokoh Aceh menggelar Kongres Rakyat Aceh atau Kongres Batee Krueng. Daud Beureueh diangkat sebagai Kepala Negara dan Wali Negara Aceh. Aceh sebagai Negara Bagian Aceh dari konfederasi NII pimpinan Kartosoewirjo. Dibentuk Ketua Majelis Syura (DPR) Tengku Husin Al Mujahid, Kabinet Negara Bagian Aceh sebanyak sembilan menteri dan Resimen Pertahanan dan Perlawanan sebanyak tujuh wilayah.

27 September 1955 :

Menteri Negara Bagian Aceh mengadakan pertemuan khusus. Pemerintah RI mengirimkan pasukan tentara dengan sandi Operasi 19 Agustus dan utusan khusus Presiden Soekarno mengadakan dialog.

27 Januri 1957 :

Menteri Dalam Negeri RI Sunaryo melantik Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh dan Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Aceh. Pelantikan ini menandakan pembatalan likuidasi Provinsi Aceh. Kedua pejabat berhasil meraih simpati DI/TII di Aceh.

Juli 1957 :

Gubernur Ali Hasjmy dan Pangdam Aceh mengikat perjanjian dengan DI/TII di Aceh dalam ”Ikrar Lam The”. Gejolak di Aceh mereda.

15 Februari 1958 :

Daud Beureueh bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta, serta memutus hubungan dengan DI/RII Kartosoewirjo. PRRI dan Permesta dengan DI/TII di Aceh mengadakan operasi bersama menumpas orang-orang Soekarno dengan sandi Operasi Sabang-Merauke.

Desember 1958 :

DI/TII di Aceh mengirim Perdana Menteri Negara Aceh, Hasan Ali dalam pertemuan di Genewa. Hasan Tiro yang sedang kuliah di AS menghadiri pertemuan dalam kapasitas pemuda Aceh yang peduli DI/TII. Hasan Tiro berpendapat, Indonesia hanya sembilan negara bagian dari sepuluh yang dimiliki dan digagas pendirikan Republik Persatuan Indonesia.

16 Mei 1959

Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdiri, Wakil Perdana Menteri RI Mr. Hardi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1/Missi/1959, isinya memberikan otonomi bidang pendidikan, agama dan adat istiadat. Babad baru Aceh ini berkat negosiasi Gubernur Ali Hasjmy dan Pemimpin Dewan Revolusi Aceh Hasan Saleh. Ia orang dekat Daud Beureueh yang membelot dengan alasan letih berjuang dan memilih turun gunung.

8 Februari 1960 :

Republik Persatuan Indonesia didirikan dengan Presiden Syafruddin Prawiranegara dan Wakil Tengku Daud Beureueh. Ikut bergabung mantan Perdana Menteri RI M. Natsir dan Burhanuddin Harahap. Bahkan Sumitro Djojohadikusumo bergabung, hanya di dalam tubuh PRRI. Soekarno membalas dan mengadakan Operasi 17 Agustus dan Operasi Merdeka.

April 1961 :

Tokoh PRRI Sumatera Utara Mauludin Simbolon ”cerai” dengan Republik Persatuan Indonesia dan membentuk Pemerintah Darurat Militer.

25 Agustus 1961 :

Presiden Republik Persatuan Indonesia, Syafruddin Prawiranegara menyerah kepada RI di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Diikuti oleh M. Natsir. Daud Beureueh yang diajak melalui surat dua kali, menolak jejak presidennya. Bahkan, ia memproklamasikan Republik Islam Aceh, menggantikan Republik Persatuan Indonesia. Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal TNI A.H. Nasution membujuk Daud Beureueh untuk kembali ke pangkuan RI dan menjanjikan hak penuh rakyat Aceh melaksanakan syariat Islam.

22 Desember 1962 :

Diadakan rekonsiliasi dalam momen Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) dan lahir Ikrar Blangpadang. Daud Beureueh menerima perdamaian dan mengakhiri (1964) pemberontakan gagasan NII atau Republik Islam Aceh. Rakyat Aceh sementara menikmati damai dengan ongkos 4.000-5.000 nyawa saudara mereka.

1972 :

Daud Beureueh kembali mengumpulkan kekuatan DI/TII untuk menggalang perlawanan pemerintah pusat dan mengutus Zainal Abidin (Menteri Dalam Negeri Pemerintah Islam Negara Aceh) menjemput kakaknya, Hasan Tiro di Kolumbia AS. Hasan Tiro menyambut hangat dan menyatakan semua senjata telah disiapkan.

20 Mei 1977 :

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diproklamasikan sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Presiden Soeharto yang mendirikan projek-projek multinasional di Aceh sejak 1970. Gerakan ini baru mencuat ke publik 1989 ketika desertir berpangkat kopral, Robert menyebut diri Panglima Perang Angkat Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) dan mencuri 18 pucuk senjata ABRI yang mengadakan aksi ABRI Masuk Desa (AMD).

24 Mei 1977 :

Para tokoh GAM membentuk kabinet dan Daud Beureueh mengusulkan Hasan Tiro Sebagai Ketua GAM dan Wali Negara Aceh. Penunjukan sempat ditentang tokoh GAM lain karena Hasan Tiro tidak hadir di pertemuan. Namun, akhirnya forum bisa menerima usulan Daud Beureueh.

Perkembangannya, pemimpin GAM tidak hanya Hasan Tiro. Di antaranya Tengku Ahmad Dewi (1949-1991) dan Tengku Bantaqiah (1952-1999). Ahmad Dewi berseberangan dengan Hasan Tiro, hilang tidak diketahui pasti rimbanya. Ada rumor dihabisi TNI pada 1991 dan ada tuduhan oleh pendukung Hasan Tiro karena tokoh ini pernah mengeluarkan fatwa hukum mati. Tengku Bantaqiyah ditembak secara membabi-buta oleh 200 pasukan TNI pada 23 Juli 1999 di Masjid Pondok Pesantren Al Bantaqiyah.

Desember 1977 :

Abdullah Syafei dikenal sebagai Ketua Komisariat Partai Demokrasi Indonesia Kecamatan Lembutu Aceh Pidie. Kegigihannya menjadikan Lembutu ”Kandang Banteng” mengalahkan Golkar pada Pemilu 1977. Ia dikejar-kejar dan lari berlindung pada tokoh-tokoh GAM dan akhirnya resmi bergabung ke gerakan ini.

Awal 1978 :

TNI mengadakan penyergapan, Abdullah Syafei dkk. melarikan diri ke Malaysia, Thailand sampai akhirnya terdampar di Libia.

1983-1987 :

Abdullah Syafii pulang ke Aceh tahun 1983. Ia mengonsolidasikan kekuatan GAM. 1987, Hasan Tiro mengangkatnya sebagai Panglima GAM. Setahun berikutnya, ia mendeklarasikan pengangkatannya kepada publik Aceh.

Awal 1989 :

Sebanyak 11 pejuang eks Libia mendirikan Majelis Pemerintahan (MP) GAM di Kualalumpur dipimpin Husaini dan Sekretaris Tengku Don Zulfadli, menyatakan Aceh merdeka pada tahun 2004. Hasan Tiro (77 tahun waktu itu) marah dan mengeluarkan mereka dari keanggotaan GAM. Zulfadli tewas ditembak lawannya 1 Juni 2000.

1989-1998 :

Presiden Soeharto menerapkan kebijakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dengan sandi Operasi Jaring Merah atas permintaan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan. Korban tewas diperkirakan 4.000-5.000 jiwa. Sumber lain menyebut 8.344 jiwa tewas.

7 Agustus 1998 :

Presiden Habibie mencabut status Aceh sebagai DOM.

5 Januari-5 Maret 1999 :

TNI melakukan Operasi Wibawa 1999. Sebanyak 730 jiwa rakyat Aceh dan 170 aparat tewas.

24 Maret 1999 :

Mahasiswa membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) untuk menggalang Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR) di Masjid Baiturrahman. SIRA, lembaga perjuangan politik menapai Aceh merdeka.

Desember 2000 :

Ahmad Kandang muncul sebagai Panglima GAM lainnya. Ia tewas oleh desingan peluru TNI.

4 Desember 1999 :

GAM merayakan hari ulang tahun secara terbuka dipimpin Abdullah Syafei.

16 Januari 2000 :

Abdullah Syafei dikabarkan tertembak. MPR GAM di Kualalumpur membantah. Abdullah Syafei pun benar masih hidup.

29 November 2000 :

Presiden Abdurrahman Wahid mengundang tokoh intelektual, ulama dan santri ke Istana Merdeka. Hadir Sofyan Ibrahim Tiba (Universitas Muhammadiyah Aceh), Naimah Hasan, Tengku Baihaqi (Himpunan Ulama Dayah dan Penasihat Thaliban), M. Daud Yoesoef (Universitas Syah Kuala). Disepakati, penyelesaian Aceh melalui dialog TNI dan GAM. Kedua pihak sepakat untuk menunjuk mediator Henry Dunand Centre (HDC) sebagai mediator.

sekilas bayangan mengapa dan kenapa dengan Indonesia, Aceh, Gam, DOM dan konflik - diambil dari pikiran rakyat. diambil dari sebuah blog website.

Thursday, January 20, 2005

Wawancara dengan Prof. Kosugi

http://www.jijigaho.or.jp/app/0312/eng/interview03.html

Is the Islamic resurgence spreading to the whole of Asia?

In terms of the combination of Islam and modernization, Southeast Asia, especially Malaysia, is particularly noticeable. Malaysia is a multi-ethnic nation, and Muslims comprise a bare majority of the population. There has been a strong movement for an Islamic identity, considering with the country's phase of economic development. One point to note is that the Islamic resurgence in Malaysia has not pitted the establishment against the forces arguing for change: the establishment has worked for the Islamic revival. Malaysia has set the year 2020 as the target date for the country to achieve developed nation status, making Malaysia a very interesting country indeed. If it succeeds in its aim, it will become a leader in the sphere of Islamic economic development.
The dynamism of the Islamic resurgence seems to be reaching Southeast Asia. In its initial periods Islam was essentially an Arab religion, but as Islamic civilization developed a wider variety of ethnic groups played an active part in the growth of Islam. Cultural centers developed in many parts of the world-cities such as Cairo, Damascus, and Baghdad are in the Arab world, but other important centers such as Istanbul, Isfahan, and Delhi are not. However, Southeast Asia was not a center of Islamic civilization in the same way as the cities I have mentioned, as it was relatively late in joining the Islamic world. If Kuala Lumpur becomes a center for a model of Islamic development, it will mean a new addition to the list of older established cultural locations. Also, if Southeast Asia becomes a center for the Islamic world on a par with the Middle East, the world's center of gravity could move towards the east. Islamic civilization has always continued to reform by gaining fresh energy in different eras from varying centers of activity, and from different ethnic groups. There is nothing unusual about the vitality of Islam in Asia, it represents the possibility of development in the future.

How do you think that Japan should interact with the Islamic world in the future?

The Middle Eastern countries of the Islamic world are very pro-Japanese. Japan is seen as a country that has achieved modernization while maintaining a non-Western style, which has contributed to this. Also, Japan has not been involved in the colonial history of Western Europe that affected Palestine and other Arab regions, and therefore there are no historical impediments to the building of good Japanese-Islamic ties in the 21st century. However, Japan's support for the war in Iraq did seem to many people to be somewhat strange. It may have appeared inconsistent with the expectations people held of Japan. It is a difficult situation, and new initiatives are required to build good future relations. So far, the relationship between Japan and the Islamic world has been relatively weak, with the exception being in economic affairs. From now on, however, both sides will need to make more of a commitment to each other. There will be a need for an explanation, and understanding of, Japan's standpoint on such issues as the nuclear threat from North Korea and energy security. Japan should formulate ways to strengthen friendship with the Islamic world, and promote mutural interests. In this way, good relations can be based on realistic understanding.

Since 9/11 and the wars in Afghanistan and Iraq, some people have seen a threat emanating from the Islamic world, and this has contributed towards the idea that international society may be experiencing a clash of civilizations between the West and Islam. What contribution can Japan make to the present situation?

I disagree with the idea that there is a clash of civilizations. Japanese people see civilization as intrinsically good. Good cannot clash with good, and there can be no clash between civilizations. This thinking has evolved because Japan constructed its own civilization by choosing to adopt beneficial aspects of other civilizations. I call this a "civilizational fusion." If you think of other civilizations as being covered with a hard shell, Japan's civilization has a soft shell and it is malleable and adaptable. Japanese civilization is a bit like a transformer. Japan eagerly assimilated other civilizations into its own, but these were changed as they entered the country-the result was a very different civilization to what had originally entered. For example, Japan learned much from Western civilization, but the Western civilization that Japan absorbed and made its own is now different from anything that may be found in the Western world. Japan has continued this process of absorption and change for over 2,000 years, resulting in a rich accumulation of acquired culture and civilization. This stock of culture and civilization is something that should be put to use. Western civilization has its own self-image, as well as an image of Islamic civilization. The same is true of Islamic civilization. Problems are produced when these images cause bias and misperception towards the other. However, Japan as a third party is in a position to introduce new perceptions that have not been properly appreciated in the image that each civilization holds of the other, and thus dissolve the hard shells each may have. Japan could bring about a recognition of Islamic civilization as a civilization with a long tradition and enormous potential to enrich the entire human civilization; I believe the implications of this are huge.

- INTERVIEW BY HISASHI KONDO
YASUSHI KOSUGI is a respected scholar of Islam. He studied at Tokyo University for Foreign Studies, and graduated from Al-Azhar University in Egypt. He was a visiting scholar at the Centre for Middle Eastern Studies at Cambridge University, and is currently Professor of the Study of the Islamic World at the Graduate School of Asian and African Area Studies, Kyoto University.

Tuesday, January 18, 2005

Skandal Paris Club

Jawapos
Selasa, 18 Jan 2005

Skandal Paris Club
Kegagalan Moratorium Utang

Setelah melakukan negosiasi di forum Paris Club, delegasi Indonesia akhirnya kembali dengan membawa hasil yang sangat mengecewakan. Indonesia hanya mendapatkan keringanan utang Rp 3 triliun untuk waktu tiga bulan. Hasil yang sangat minim tersebut merupakan kegagalan diplomasi ekonomi Indonesia. Presiden SBY dan rakyat pantas kecewa karena Tim Ekonomi yang konon merupakan orang pilihan dan memiliki pengaruh di lingkungan internasional ternyata gagal dalam sebuah negosiasi yang relatif ringan.
Dikatakan ringan karena inisiatif moratorium lahir dari negara kreditor, bukan Indonesia. Ternyata juga tidak ada satu pun delegasi Indonesia yang hadir pada sesi kedua, sesi yang paling penting dalam pertemuan Paris Club. Mereka justru sibuk wara-wiri melakukan courtesy call kepada parlemen Prancis dan melupakan aspek teknis negosiasi.


Pertanyakan Tanggung Jawab

Dengan kegagalan diplomasi ekonomi tersebut, Presiden SBY seharusnya mempertanyakan tanggung jawab dan komitmen Tim Ekonomi akan keberpihakan mereka terhadap rakyat. Bagaimanapun, rakyat sebelumnya mengetahui besarnya simpati negara kreditor terhadap bencana yang menimpa Aceh dengan menawarkan moratorium kepada Indonesia.

Kanselir Jerman Gerhard Schroder, Presiden Prancis Jacques Chirac, PM Inggris Tony Blair, PM Kanada Paul Martin, bahkan Presiden Bush sangat mendukung ide moratorium kepada Indonesia. Tetapi, setelah negosiasi dilakukan, simpati dan dukungan tersebut sirna begitu saja. Selanjutnya, Tim Ekonomi gagal dan kembali dengan hasil yang sangat minim.

Namun, kegagalan delegasi Indonesia di Paris Club sebenarnya telah dapat diprediksi sejak awal. Ada tiga hal yang menjadi alasan kegagalan tersebut. Pertama, Tim Ekonomi tidak memiliki iktikad untuk memperoleh moratorium. Tawaran moratorium dari negara kreditor seharusnya ditindaklanjuti Tim Ekonomi dengan menyiapkan sejumlah amunisi dan strategi.

Moratorium utang merupakan salah satu alternatif yang optimal agar pemerintah lebih leluasa menggunakan anggaran untuk merehabilitasi Aceh. Sayang, tawaran moratorium ditanggapi Tim Ekonomi justru dengan menyebarkan sejumlah isu yang menakut-nakuti rakyat.

Disebarkan isu peringkat utang Indonesia akan turun dengan adanya moratorium. Isu tersebut sama sekali tidak berdasar dan justru dibantah sendiri oleh Standard&Poor's dan Moody's. Moratorium ditawarkan berkaitan dengan bencana Aceh atas alasan force majeure.

Disebarkan juga isu bahwa moratorium akan mengakibatkan Indonesia kembali terjerat dengan program IMF. Isu tersebut hanya dijadikan alat untuk mengelabui rakyat dan menakut-nakuti Presiden SBY yang memang menolak kembali hadirnya IMF di Indonesia.

Isu tersebut bahkan dibantah sendiri oleh IMF melalui managing director-nya yang baru, Rodrigo de Rato, yang secara tegas menyatakan bahwa moratorium tidak terkait dengan IMF.

Tim Ekonomi juga menyebarkan isu bahwa Jepang tidak menyetujui moratorium. Pernyataan tersebut dibatah langsung PM Junichiro Koizumi bahwa Jepang setuju memberikan moratorium utang kepada Indonesia. Beberapa negara G-7 dalam pertemuan di London bahkan mau menggunakan pengaruhnya untuk minta Paris Club melaksanakan moratorium.

Tim Ekonomi berupaya menutup-nutupi keengganan mereka untuk meminta moratorium dengan mengangkat isu yang menakut-nakuti rakyat. Teknik serupa pernah diperagakan oleh antek-IMF menjelang berakhirnya kontrak kerja sama Indonesia dengan IMF. Saat itu dikatakan, jika Indonesia keluar dari program IMF, rakyat akan jatuh miskin seperti Burma dan peringkat utang akan turun. Kenyataannya, setelah Indonesia benar-benar mengakhiri kerja sama dengan IMF, rakyat toh tidak jatuh miskin dan peringkat utang Indonesia pun malah meningkat menjadi B+.

Kedua, tidak ada persiapan dan strategi. Tetapi, untunglah, Presiden SBY akhirnya memerintah Tim Ekonomi untuk menindaklanjuti tawaran moratorium dan mempersiapkan negosiasi di Paris Club. Tetapi, sebelum ke Paris Club, Tim Ekonomi seharusnya melakukan perkiraan dampak kerusakan Aceh sebagai dasar menentukan besarnya moratorium utang.

Kenyataannya, delegasi Indonesia datang dengan tangan kosong, bahkan tidak hadir pada hari kedua negosiasi Paris Club. Sangat wajar jika pada akhirnya negosiasi gagal dan hanya diperoleh hasil yang sangat minim.

Selain itu, Tim Ekonomi seharusnya terlebih dahulu melakukan negosiasi bilateral yang sifatnya lebih strategis. Keberhasilan negosiasi bilateral akan sangat menentukan efektivitas negosiasi di forum Paris Club.
Forum Paris Club hanya dihadiri oleh pejabat teknis sehingga fleksibilitas negosiasi menjadi sangat sempit dan kaku. Tanpa didahului oleh negosiasi di level strategis, sangat mustahil Indonesia mampu memperoleh keringanan utang yang signifikan.

Ketiga, delegasi Indonesia tidak memiliki kompetensi melakukan negosiasi. Di negara mana pun, negosiasi yang menyangkut pengurangan beban fiskal triliunan rupiah seharusnya dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian atau menteri keuangan. Tetapi, sangat lucu, negosiasi utang Indonesia dipimpin Menlu Hassan Wirayuda. Selain pemahaman tentang Aceh, negosiator membutuhkan pemahaman yang memadai tentang kondisi fiskal dan ekonomi Indonesia.

Bagaimana mungkin Menlu RI mampu meyakinkan kreditor bahwa Indonesia sangat membutuhkan moratorium dan debt relief, padahal dia kurang memahami aspek ekonomi maupun finansial?

Akibat tidak adanya kompetensi, muncul pernyataan lucu dari Hassan Wirayuda pada 13 Januari lalu. Beliau mengatakan: "Presiden Chirac menyebutkan kemungkinan reduksi utang dan bunga, namun sama sekali tidak menyebut debt relief." Penyataan itu amat lucu dan memalukan karena debt relief berarti adalah reduksi utang dan bunga.

Menko Perekonomian dan menteri keuangan seharusnya bertanggung jawab terhadap negosiasi utang. Ketidakhadiran kedua menteri tersebut di Paris menunjukkan Indonesia tidak serius mendapatkan moratorium utang. Padahal, Menteri Keuangan Prancis Herve Gaymard untuk yang pertama dalam sejarah hadir di gedung pertemuan Paris Club sebagai bentuk solidaritas terhadap bencana Aceh.

Sebaliknya, Menko Perekonomian Indonesia justru terkesan tidak memiliki empati terhadap rakyat Aceh dan hanya sibuk memperdagangkan proyek bencana Aceh kepada pengusaha di Singapura.
*. Phone Nuryadin MM, komite eksekutif Tim Indonesia
Bangkit. Tulisan ini dibuat berdasar input Tim Indonesia Bangkit, antara lain Prof Dr Sri-Edi Swasono, Binny Buchori, Aviliani MSi, Ichsanuddin Noorsy, Dr Hendri Saparini, Dr Ronnie Rusli, Dr Fadhil Hasan, dan Dr Dradjad Wibowo

Wednesday, January 12, 2005

Puisi Pak Ismoyo

Berikut ini puisi pak Ismoyo Haryanto, yang sedang melakukan penelitian dalam program Doktor dalam bidang ilmu penerbangan di Technische Universität München. Puisi ini dibuat menjelang Pemilu Presiden 2004.

--- In pengajian-pm3@yahoogroups.com, "ismoyo2001"
wrote:
KALKULASI

Bapak petinggi partai, Pak Ustadz dan Pak Kyai
lewat koran lewat majalah engkau ajari kami
tentang menang-kalah tentang kalkulasi
tentang cara agar rezim terhenti
"Bekas panglima jawabnya !"
„Dialah Umar", kata engkau pula,
„yang bertobat dan berbaiat
buat islam buat dakwah agama, maka dukunglah
agar kursi khalifah tidak lepas dari kita".

„Jika dia pemimpinnya", kata yang lainnya,
„dakwah kita kan mengalir leluasa,
ke para menteri juga tentara
kita kan kuat jamaah kan sentosa".

„Eh, he… eh…", cengir anak muda petinggi partai
yang dulu bersama riburibu temannya menggelayuti
gedung tempurung di tengah kota
ada juga seorang ksatria serta
bahkan jauh hari sendiri berkabung nyawa
"Reformasi .. reformasi .. reformasi..", gemuruh suara waktu itu
mengusik sidratul muntaha hingga Allah berkenan
mengambil kembali tahta penguasa sepanjang jaman
"Setelah ane fikir", kata anak muda petinggi partai itu kini,
"sang bekas panglima juga masuk kriteria,
malah dia satusatunya yang bisa
melibas tuntas penguasa kenes yang bikin gemas".
kata ustadz setengah baya lain lagi,
"Sang ksatria memang brani jujur teruji
tapi kita butuh pendukung butuh suara
sedang dia tak punya, untuk apa ?"
"Apalagi", dengan gugup anak muda anggauta majlis menyela
"akidah sang ksatria tlah rusak sirna
ketika slamat natal mulut berkata
pula lihatlah anak istrinya,
sungguh beda dengan sang bekas panglima".

berderet kata masih tersisa
bahkan dikaislah sampah mencari hujjah maka
tak lagi beda landasan dan sumpah serapah
"Ksatria harus tahu diri!", seru mereka
"Majulah maju bekas panglima!", teriak mereka

Bapak petinggi partai, Pak Ustadz dan Pak Kyai
kenapa engkau hanya ajari kami
tentang menang-kalah tentang kalkulasi
sedang di negeri kita kepercayaan tlah sirna kejujuran
tlah musnah bagai dinosauria ?
jika menang kalah tujuan semata
buat apa moral buat apa agama
pula bukankah ke-umar-an bekas panglima cuma presepsi
sedang kejujuran ksatria bukti teruji ?
lalu jika kita pilih penguasa cuma
demi daerah demi jamaah
buat apa kita bangun negri susah payah ?

Ya Murobi,
jika semua itu betul terjadi
selamat datang kami ucap
di belantara tanpa tepi
di mana moral cuma aksesori sebab
kuasa kepentingan adalah cita-cita abadi

(USH04 )