Thursday, November 10, 2005

Hari Pahlawan Kelabu

Artikel di Harian Pikiran Rakyat, 10 November 2005
Hari Pahlawan Kelabu
Oleh ESTANANTO

TANGGAL 10 November, bangsa Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan yang ke-60. Enam puluh tahun yang lalu, salah satu peristiwa monumental yang menghasilkan korban gugur sebanyak 16 ribu orang Indonesia telah terjadi di Surabaya.

Angka 16 ribu ini diperoleh wartawan senior Rosihan Anwar dari Roeslan Abdoelgani, yang mendapatkan data dari Kepala Rumah Sakit Republik, dr. Mohammad Suwandhi (Harian Berita Sore Online).

Gugur sebanyak itu adalah hasil pertempuran dengan Divisi India-5 pimpinan Jenderal Mansergh berkekuatan 24 ribu prajurit dengan 24 buah tank Sherman, 24 buah pesawat tempur, yang telah teruji memenangkan Perang Dunia II yang dahsyat itu. Tentara Inggris gagal menguasai Surabaya dalam tiga hari sebagaimana diperkirakan, sehingga menimbulkan tanda tanya besar bagi tentara Sekutu atas apa yang terjadi di Indonesia. Menurut Rosihan Anwar lagi, tentara Inggris kehilangan 4 ribu orang dalam pertempuran Surabaya sehingga jumlah korban jiwa seluruhnya 20 ribu orang. Sedemikian gigihnya para pejuang mempertahankan Surabaya pada saat itu, akhirnya peristiwa itu diabadikan oleh pemerintah RI sebagai Hari Pahlawan.

Kiai dari Jabar

Di depan Simposium dan Silaturahmi Kader NU Luar Negeri di Kairo tanggal 30 Juli 2003, K.H. Said Aqil Siradj menceritakan bahwa dalam pertempuran Surabaya bukan hanya pejuang dari Jawa Timur yang ikut melawan tentara Sekutu, melainkan dari seluruh Jawa, bahkan Jawa Barat. Semuanya diawali oleh Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang memerintahkan "melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam" yang diikuti banyak ulama, termasuk para kiai dari Buntet, Arjawinangun, dan Babakan Ciwaringin, yang kesemuanya dari Cirebon, juga ada Kiai Suja'i dari Indramayu. Konon menurut Said Aqil, yang juga berasal, Cirebon, K.H. Abdullah Abbas dari Buntet turut terjun di medan pertempuran Surabaya.

Yang mengharukan dari kisah Kiai Said adalah bahwa dalam pertempuran itu yang diturunkan oleh Inggris menyerbu Surabaya bukanlah tentara dari Eropa melainkan dari India. Sebagai jajahan Inggris India memang terkenal sebagai penyumbang tentara dalam peperangan-peperangan di Perang Dunia II. Salah satu anggota tentara Divisi India ke-5 ini adalah Letnan Zia-ul-Haq, yang kemudian hari menjadi Presiden Pakistan (Pakistan tahun 1947 memutuskan merdeka terpisah dari India).

Masih menurut Kiai Said - yang belum pernah dituturkan ahli sejarah manapun - Zia-ul-Haq ketika melihat lawannya adalah di antaranya para santri, yang juga berwudu dan berzikir, akhirnya menolak ikut perang dan menyuruh anak buahnya untuk menghindari medan perang.

Tidak menutup kemungkinan bahwa pesantren lain di Jawa Barat juga mengirimkan santrinya dalam pertempuran Surabaya. Data sejarah kita belum terlalu baik dikumpulkan, sehingga generasi puluhan tahun sesudahnya tidak dapat lagi menemukan bukti-bukti tertulisnya. Ini merupakan bencana besar bagi sebuah bangsa yang ingin menemukan jati dirinya sendiri, bukan jati diri orang lain. Namun yang jelas, resolusi jihad untuk mempertahankan Negara RI Merdeka dan Agama Islam telah bergema dan turut membuat Belanda berpikir ulang kembali untuk menundukkan bekas wilayah jajahannya. Tentara pemenang Perang Dunia dengan dukungan kekuatan penuh darat, laut, dan udara hanya mampu merebut Surabaya dalam waktu tiga minggu, jauh dari target semula yaitu tiga hari. Sangat pantas jika diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Mengapa menjadi kelabu?

Enam puluh tahun setelah peristiwa heroik di Surabaya, apakah yang masih tersisa? Walaupun persiapan perayaan 60 tahun 10 November relatif kurang dirasakan dibandingkan peringatan 60 tahun kemerdekaan RI ataupun 60 tahun hari TNI, namun tentu bukan itu masalahnya.

Suasana duka bangsa yang dilanda krisis berkepanjangan, selalu menempati 10 besar negara terkorup di dunia, harga bahan bakar minyak yang kenaikannya lebih dari 100% yang akhirnya memicu kenaikan harga-harga hingga 15%, membuat kebanggaan dan keinginan meneladani pejuang 10 November mempertahankan negara dari campur tangan luar menjadi hambar. Duka lara ini ditambah oleh serangan demi serangan teror yang terus menimpa rakyat Indonesia, terakhir terjadi di Bali tanggal 1 Oktober 2005.

Teror terakhir ini sampai membuat wacana berkepanjangan tentang pengawasan terhadap pesantren-pesantren yang diduga mengembangkan ajaran radikal. Belakangan Wakil Presiden Jusuf Kalla meralat ucapannya menjadi hanya dua pesantren yang akan diawasi. Berbagai kalangan dalam dan luar negeri sangat yakin bahwa pelakunya adalah anggota Jamaah Islamiyah. Jusuf Kalla membantah keberadaan Jamaah Islamiyah.

Sebaliknya kalangan lain seperti Rohan Gunaratna berpendapat sebaliknya. Dalam halaman blognya, Rizqon Khamami, salah seorang intelektual muda Nahdlatul 'Ulama, menyatakan Jamaah Islamiyah benar ada, setidaknya menurut Asrori S. Kamil, seorang wartawan. Sekarang, kalaupun JI ini benar ada, mengapa dia mampu membuat jaringan pengeboman yang sangat kuat padahal jarang orang Indonesia yang mengenal atau bahkan mendengar namanya? Ataukah JI hanya "operator" dari jaringan yang lebih canggih lagi?

Lebih menghebohkan lagi adalah sebuah opini di Harian Kompas tanggal 7 November 2005. Dengan lugas Ariel Heryanto, seorang pengajar di Universitas Melbourne, membeberkan apa yang dilihatnya dalam sebuah serial jaringan televisi SBS. Jaringan ini menayangkan karya David O'Shea pada tanggal 12 Oktober 2005 yang judulnya cukup menyeramkan: Inside Indonesia: War on Terror. Apa yang disampaikan Shea cukup membuat seram pula: bukan kelompok jamaah Islamiyah yang membuat teror, melainkan tentara, polisi, dan jaringan intelijen Indonesia sendiri. Dalam beberapa saat SBS tidak lagi menayangkan transkrip acara itu dalam halaman internetnya, padahal untuk program lain transkrip selalu tersedia di halaman itu.

Jika Shea benar, tentu makin menambah kelabu perayaan ke-60 Hari Pahlawan kali ini. Jika kerusuhan dan ledakan bom yang menewaskan banyak orang memang sengaja dipelihara, alangkah kejamnya. Kerugian tak terhitung dari material dan nonmaterial, hingga cap dari dunia internasional kepada bangsa Indonesia sebagai bangsa teroris. Cap hina yang sama buruknya dengan bangsa koruptor, apalagi kedua-duanya.

Tentu sangat memprihatinkan, bahwa hingga kini pelaku bom Bali II belum bisa diungkap sama sekali. Kini dengan kesaksian Shea itu, seharusnya kita tertantang untuk membuktikan apakah tuduhan itu benar atau salah. Penulis sendiri berkeinginan bahwa tuduhan itu salah, namun tentu harus ada counter atas setiap argumen Shea, termasuk terhadap pendapat seorang mantan Presiden RI dan saksi-saksi lain yang diwawancarai oleh Shea. Kalau tidak, tidak ada yang bisa disalahkan jika orang berpendapat bahwa Shea benar. Sudahilah air mata yang terus berderai, bangkitlah sebagaimana Gubernur Suryo menjawab tantangan Jenderal Mansergh. Demi Republik Indonesia yang merdeka.***

Penulis, insinyur kelahiran Bandung, tinggal di Munich, Jerman.





No comments: