http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/27/opini/821878.htm
FSD dan Kekuasaan Negara
Oleh Sonny Mumbunan
HEBE de Bonafini, pemimpin Mothers of Plaza de Mayo, organisasi
rakyat yang lahir dari rahim krisis Argentina, berujar
keras, "Kalian, tuan-tuan, adalah musuh kami." Tak berhenti di situ,
sembari menunjuk George Soros, spekulan pasar uang ternama, ia
mencerca, "Kalian adalah monster, kaum munafik."
Ekspresi kerasnya disiarkan luas saluran televisi yang meliput debat
tim Forum Sosial Dunia (FSD) Porto Alegre dengan tim Forum Ekonomi
Dunia (FED) Davos-dua forum yang memaknai globalisasi dengan logika
berpunggungan.
Bagi negeri seperti Argentina, neoliberalismo memang melahirkan
begitu banyak cacerolazos-pemukul panci simbol protes-dan piquetes-
buruh PHK yang memblokade jalan-sebagaimana Enron yang bangkrut
serta monster lain berlabel Al Qaeda.
Dalam setiap kali penyelenggaraan FSD, kental terasa kesan "mereka"
dan "kami". Tak terkecuali di Mumbay, India, ribuan pegiat sosial
menempatkan nilai- nilai, seperti solidaritas, persamaan, demokrasi,
keberlanjutan dan partisipasi, berhadapan-hadapan diametrikal dengan
kompetisi, ketamakan, ketidakadilan, dan pengabaian.
Dari watak internasionalisnya, terang mereka bukan
penggerak "antiglobalisasi". Sebuah misnomer-kekeliruan penamaan-
yang dijadikan judul berita utama Kompas (17/1/2004). Sebaliknya,
mereka adalah globalis perlawanan yang mengonsepsikan "dunia lain
yang mungkin". Sebuah tatanan yang diharap mengabdi pada kebutuhan
umat manusia, bukan pada penggandaan modal dan penundukan pasar atas
segala aspek hidup.
Sesungguhnya bukan kebetulan bila FSD berkali-kali diselenggarakan
di Brazil dan sekarang di Mumbay, India. Di Brasil, Partai Buruh
adalah partai kiri yang berkuasa. Begitu pula adanya di India,
terutama Kerala dan Bengali Barat.
Lepas dari keterbatasan dan kekurangannya, participatory budgeting
di Porto Alegre atau reformasi participatory budgeting di Bengali
Barat adalah model terkini bagaimana rakyat menentukan langsung dan
organik pengambilan keputusan dan relasi dengan negara (Jan
Pieterse, Participatory Democracy Reconceived, dalam Futures 33,
2001). Serius! Di Brasil rakyat miskin menyusun RAPBD!
Selebihnya, Partai Buruh bahkan mampu membangun aliansi yang hidup
antara gereja, universitas, dan gerakan rakyat, termasuk pengusaha
kecil. Bersama-sama mereka menghadapi korupsi, klientalisme, dan
reformasi ekonomi neoliberal. Di tempat ini partisipasi dan
kecerdasan rakyat menjadi faktor endogen dalam setiap penyusunan
kebijakan negara.
Dekadensi sosial demokrasi
Bila neoliberalisme-solusi kapitalisme global-adalah titik banding,
titik lainnya berada di bidang antara stalinisme dan sosial
demokrasi. Ia mungkin berwujud socialist renewal atau semacam
sosialisme demokratik. Konsepsi masyarakat ini diyakini lebih unggul
perihal alokasi distributif sumber daya dan surplus sosial.
Meski negara relatif mampu menyediakan kebutuhan dasar warganya,
tabiat antidemokrasi ekonomi dan politik stalinisme tidak seturut
dengan upaya emansipasi utuh umat manusia.
Akan halnya dekadensi sosial demokrasi, Partai Buruh Brasil,
misalnya, dalam dokumen kongres menjelang Pemilu 1994, mempunyai
alasan menarik mengapa mereka menolak sosial demokrasi: kekalahan
elektoral di banyak negara, skandal korupsi, dan terutama yang
paling tragis, kompromi dengan ekonomi neoliberal.
Meski secara umum semangat anti- korporasi, antineoliberalisme, dan
anti- imperialisme begitu meraja, opini dalam FSD sendiri terlalu
beragam. Inilah keunggulan sekaligus kelemahan FSD. Untung karena
representasi masyarakat dunia yang semakin luas, baik isu maupun
opini. Kelemahan karena kesempatan berdebat lebih dalam menjadi
kurang. Di samping, kesulitan menghasilkan fokus isu dan aksi
politik hal mana telah disadari sejak kali pertama FSD.
Saat FSD II, beberapa kekuatan konservatif dalam FSD berusaha
membangun dialog antara FSD dan FED, harap-harap kapital bisa lebih
manusiawi. Bagi mereka masuk akal, kedua forum ini dianggap mewakili
civil society. Sejumput orang kaya, pemilik modal, serta jutaan
massa miskin sama-sama merupakan stakeholder atas dunia.
Sementara LSM radikal dan organisasi berbasis massa luas menyerukan
mobilisasi rakyat.
Mendedah wajah buruk neoliberalisme dan semua kebijakan turunannya
memang lebih mudah. Demikian pula saat mencela Konsensus Washington.
Baik konsensus yang "asli", seperti privatisasi, deregulasi,
liberalisasi, disiplin fiskal, dan pengagungan HAKI. Atau, konsensus
augmented semisal pasar kerja dan upah lentur, corporate governance,
kesepakatan WTO, Bank Sentral "independen". Namun, tidak demikian
mudah ketika sampai pada konsepsi alternatif.
Dari Porto Alegre dan Mumbay, kita kembali ke Tanah Air. Di sini
kita mendapati 24 peserta kontes Pemilu yang bermanis-manis, mematut
diri di depan massa yang tak henti kehilangan pekerjaan dan
menurunnya akses pada pendidikan dan kesehatan murah.
Tesis Robison perihal kontradiksi kapitalisme Indonesia dalam The
Rise of Capital (1996) sebagian masih sahih. Cuma, modal
internasional tidak perlu mengeluarkan tenaga lebih banyak. Dalam
ruang tersisa modal lokal saling berebut, termasuk militer yang
mulai percaya diri dan terkonsolidasi baik. Pascapemilu, pembagian
beban krisis akan semakin berat ke kelompok masyarakat kecil dan
rakyat miskin.
Pengalaman Brasil bisa diacu secara kritis. Gabungan elektoralisme
dan ekstra parlementarianisme tampil begitu menawan dalam mendorong
demokratisasi lebih radikal atas kepemilikan, laba, informasi,
sumber daya, dan kekuasaan.
"Kekuasaan negara"
Menyasar tuan besar finansial, korporasi multinasional, dan lembaga
internasional, seperti IMF dan Bank Dunia-seperti dilakukan B Herry-
Priyono-jelas bukanlah kekeliruan.
Meski demikian, fokus teropong analisis mesti membidik tepat
kekuasaan negara yang berada di tangan rezim neoliberal pemerintahan
nasional kita. Sebab darinya, eksploitasi beroleh ruang dan
kemudahan gerak.
Saat menjawab dua kombinasi Trilema "Teori Ketidakmungkinan", ada
yang menarik dengan si cerdas James Tobin. Ia terinspirasi oleh
pengalaman bagaimana "kedaulatan" Cina menolak konvertibilitas lalu
lintas modal. Hal serupa yang dilakukan para penganjur
neoliberalisme sekarang di era awal lembaga Bretton Woods berdiri.
Tobin, Cina, pun Brasil. Meskipun tidak benar-benar menghilangkan
krisis, Argentina 2000 atau Indonesia pasca-Pemilu 2004 memiliki
mereka untuk belajar.
Sonny Mumbunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitaet zu
Kiel, Jerman
No comments:
Post a Comment