Date: Tue Jan 27, 2004 12:24 pm
Subject: Re: Gejala Deindustrialisasi?
|
Revolusi industri di Eropa atau revolusi Meiji di Jepang, setidaknya telah mematangkan terbentuknya suatu masyarakat industri.
Hal itu semua tak terbentuk dg mulus di indonesia, bisa dikata industri di Indonesia bagaikan "industri semu", yg bisa terlihat secara simbolik dg sebuah pabrik yg berdiri angkuh di tengah pesawahan atau pemukiman padat, dimana sangat rendah relasi antara pabrik tsb dg lingkungan sekitarnya, tak terbentuk masyarakat industri.
peradaban agraris dan industri berdekatan ,tapi tak bersenyawa. ( malah bersenyawa negatif, ketika masyarakat sekitar pabrik menutup jalan ke pabrik, menyerbu pabrik, atau malah "memeras" industri.
Analisa sosiologis lain nya, ialah bahwa Industri di Indonesia dan bisnis pada umumnya di kuasai oleh kaum minoritas, warga keturunan, kalau melihat ke jepang, india, cina, taiwan, korea apalagi negara eropa atau amerika, industri atau bisnis digerakkan oleh etnis mayoritas di negara tsb, hal tsb tak berlaku di indonesia.
efek dari penguasa kapital oleh minoritas, ialah akan terjadi kesenjangan sosial , karena terjadi batas sosiologis antara pemilik usaha dg para pekerja atau lingkungan sekitar.
deindustrialisasi bisa jadi, pilihan praktis secara bisnis, karena mereka melihat untung di sektor jasa perdagangan lebih besar daripada sektor produksi, selain itu resiko nya lebih rendah.
bisa dilihat pada kasus astra yg bermula dari penjual mobil, perakit mobil ( diharapkan kemudian bisa membuat mobil sendiri seperti proton malaysia misalnya ) tapi yg terjadi, pabrik toyota astra dijual ke jepang, astra kembali hanya jadi pedagang mobil, sungguh tragis, karena selama sekian tahun telah banyak subsidi yg diberikan pemerintah kepada toyota astra dg harapan ia mandiri, bisa buat mobil sendiri, tapi malah berbalik jadi pedagang kembali, tragis.
analisa sederhana dan naif, bisa jadi memang orang indonesia sudah dari sono nya hanya bisa jadi tukang jahit atau konsumen belaka. bisa jadi ini semua memang telah ditanamkan oleh VOC sejak jaman penjajahan dulu
sekian analisa naif saya
Alma Wardi
|
Kolom Chotib Basri
Gejala Deindustrialisasi?
ALAMAT dan gedung itu tetap di sana, namun tak ada lagi aktivitasnya. Padahal, dua tahun lalu mereka masih menjadi responden penelitian kami. Sekarang tinggal gedung yang tersisa. Pabrik tekstil itu telah tutup.
Inikah gambaran industri kita? Tentu tak ada yang bisa disimpulkan dari data anekdotal itu. Namun, ia seperti menjadi ilustrasi dari persoalan industri di negeri
ini. Di sektor tekstil, kita cemas tentang nasib industri ini di era pascakuota.
Bahkan, sebelum era itu tiba-seperti pernah saya bahas-industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah mengalami persoalan. Dan seperti rumah kartu, industri
lain juga mengalami kemunduran, terutama untuk sektor industri yang bersifat padat karya.
Harian Kompas, minggu lalu, memuat berita tentang ekspor mebel yang menurun. Persoalannya, kelangkaan bahan baku akibat kebijakan pengurangan kuota
penebangan kayu. Alasannya, masalah lingkungan. Akibat keputusan ini, harga kayu meningkat, yang pada gilirannya memukul daya kompetisi industri mebel kita.
Persoalan kelangkaan kayu sebenarnya lebih disebabkan penyelundupan kayu ketimbang pengurangan kuota. Data menunjukkan, ekspor kayu ke Cina yang tercatat di
Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan data impor kayu dari Indonesia yang tercatat di Cina. Mungkin ada masalah perbedaan sistem pencatatan di sini.
Namun, jika kita melihat perbedaan yang begitu besar, bukan tidak mungkin itu mencerminkan masalah penyelundupan. Sayangnya, kemajuan dalam mengatasi
penyelundupan amat lambat, jika kita malu menyebutnya tidak ada. Runtunan persoalan tak berhenti sampai di sana.
Harian Kompas (19/1) juga menulis tentang terancamnya industri baja nasional akibat kebijakan tarif bea masuk yang diberlakukan pemerintah untuk bahan baku
baja. Dengan tarif bea masuk sebesar 20 persen untuk hot rolled coil (HRC) dan 25 persen untuk cold rolled coil (CRC), harga bahan baku baja menjadi amat mahal,
yang pada akhirnya memukul daya kompetisi industri hilir.
Potongan-potongan mosaik di atas memberi kita sebuah gambar yang mungkin tak teramat jelas-namun mengkhawatirkan-gejala terjadinya deindustrialisasi.
Benarkah deindustrialisasi terjadi, seperti keluhan dunia usaha? Terlalu pagi untuk mengatakan ya. Keluhan pengusaha tak selamanya benar. Dunia usaha kadang cerewet dan senang mengeluh, lalu berujung meminta proteksi baru. Semacam professional complainer. Oleh karena itu, kita perlu melihat masalah ini lebih dingin.
SECARA konseptual, deindustrialisasi terjadi karena meningkatnya tingkat upah atau biaya produksi, yang di satu sisi bisa disebabkan oleh boom yang terjadi di
sektor sumber daya alam, seperti minyak atau gas (dikenal dengan Dutch disease atau penyakit Belanda), atau juga karena berbagai supply shock akibat ekonomi biaya tinggi.
Sementara di sisi lain, sektor manufaktur dihadapkan pada harga pasar dunia yang kompetitif. Kenaikan biaya produksi yang tak bisa ditransmisikan pada kenaikan
harga di pasar dunia pada gilirannya akan menekan keuntungan di sektor industri. Implikasinya, tak ada insentif untuk bergerak di sektor industri.
Lebih jauh lagi, dengan kondisi merugi, perusahaan-perusahaan di sektor industri akan tutup. Tentu perlu dicatat, deindustrialisasi tak bisa disimpulkan hanya dengan tutupnya beberapa perusahaan. Ia harus mencerminkan industri secara keseluruhan.
Untuk itu kita perlu melihat kinerja industri secara lebih luas. Observasi yang lebih rinci menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor industri manufaktur sendiri
terus mengalami gejala penurunan. Artinya, gejala penurunan ini bukan hanya terjadi pada TPT, mebel, atau baja, tetapi juga pada industri manufaktur secara keseluruhan.
Sebagai contoh, dalam periode sebelum krisis, pertumbuhan sektor industri mencapai rata-rata 9 persen per tahun, sedangkan setelah periode krisis (setelah tahun 1998) tumbuh sebesar rata-rata 5 persen.
Yang mengkhawatirkan, pertumbuhan ini terus menurun. Sampai dengan triwulan ketiga 2003, industri pengolahan hanya tumbuh sebesar 2,3 persen, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sepanjang tahun 2002 yang 4,1 persen.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, perhitungan menunjukkan, dalam periode 1988-1997, pertumbuhan tenaga kerja di sektor manufaktur rata-rata 7,1 persen. Daya serap ini mengalami penurunan drastis setelah krisis (1998-2002) menjadi rata-rata 1,9 persen.
Bahkan, untuk tahun 2002 penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur hanya 0,2 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan penyerapan tahun 2001 (3,8 persen).
Bagaimana dengan produktivitas? Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) menunjukkan, pertumbuhan produktivitas per tenaga kerja di sektor manufaktur mengalami penurunan secara tajam, dari 3,5 persen rata-rata per tahun (1993-1997) menjadi minus 0,55 persen (1998-2002).
Kita juga melihat bahwa peningkatan share (peran) industri pengolahan dalam total produk domestik bruto (PDB) terus melambat dari tahun 2001 ke 2002. Bahkan, peran industri pengolahan terhadap total PDB di triwulan ketiga 2003 lebih rendah dibandingkan dengan persentase pada periode yang sama tahun 2002.
Padahal, seharusnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita, peran industri pengolahan dalam total PDB akan terus meningkat (Chenery dan Syrquin,
1975). Di negeri ini kita justru melihat gejala yang sebaliknya. Di dalam struktur ekspor, kita melihat bahwa peran dari ekspor barang industri turun dari 68 persen (Januari-November 2002) menjadi 66 persen (2003).
Laporan Bank Dunia memang menunjukkan bahwa produk-produk dari Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif meningkat dari 27 persen (1995) menjadi 33 persen (2001). Namun, perlu dicatat, sebagian besar produk tersebut adalah produk yang berbasiskan sumber daya alam.
Ini konsisten dengan perhitungan yang saya lakukan, yang menunjukkan bahwa 70 persen produk kita yang bisa kompetitif dalam menghadapi Cina adalah produk primer. Daya kompetisi yang turun ini-seperti gejala deindustrialisasi-disebabkan oleh gangguan dari sisi suplai (supply shock).
Dalam soal upah, misalnya, indeks tingkat upah sudah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tambah yang dihasilkannya. Artinya, tingkat upah yang ada sudah lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitasnya. Di sisi lain, seperti sudah banyak dibahas, kita dihadapkan pada ekonomi biaya tinggi akibat pungutan, korupsi.
Perhitungan menunjukkan bahwa setelah tahun 1995, kenaikan ekspor Indonesia lebih disebabkan faktor permintaan (54 persen) ketimbang daya saing (41 persen). Pendeknya, semua indikator menunjukkan gejala penurunan industri pengolahan dan pergeseran menuju produk primer, mirip seperti gejala deindustrialisasi. Jika demikian, apa yang bisa dilakukan?
KETIMBANG meratapi nasib atau memaki fakta, lebih baik kita berpikir tentang antisipasi kebijakan. Kita harus realistis bahwa investasi ke industri pengolahan tak akan terjadi segera (paling cepat baru terjadi setelah semester kedua 2005).
Tanpa investasi baru, tenaga kerja di sektor manufaktur dan daya saing hanya bisa diselamatkan jika pasar tenaga kerja bersifat fleksibel. Kebijakan pasar
tenaga kerja yang kaku dengan aturan hubungan industri yang terlalu intervensionis hanya akan berakhir pada semakin lemahnya daya kompetisi industri.
Lalu haruskah buruh dikorbankan? Jawabnya jelas tidak. Buruh bisa ditolong dengan memerhatikan tingkat upah riil, misalnya dengan membuat biaya hidup mereka
menjadi lebih murah. Penyediaan rumah susun dengan harga terjangkau untuk buruh di sekitar pabrik dapat menekan pengeluaran mereka untuk rumah.
Jadi, dengan upah nominal yang tetap atau kenaikan upah nominal yang tak terlalu tinggi, tingkat kesejahteraan buruh tetap dapat ditingkatkan.
Kedua, menghapuskan ekonomi biaya tinggi dengan memangkas peraturan. Berbagai aturan dan pungutan yang ditimbulkan karena pelbagai peraturan dapat dihilangkan dengan menghapus peraturan itu sendiri (debirokratisasi dan deregulasi).
Ketiga, berbagai biaya tinggi yang timbul karena tarif bea masuk yang diberlakukan untuk bahan baku diturunkan. Kebijakan proteksionis hanya bisa berlaku temporer dan tak menyelesaikan masalah produktivitas.
Memenuhi tuntutan dunia usaha untuk terus-menerus memberikan proteksi-terutama dalam bentuk hambatan nontarif-secara empiris terbukti hanya membuka kesempatan untuk kegiatan ekonomi rente dan korupsi (Basri 2001), dan hanya meningkatkan insentif untuk melakukan penyelundupan.
Jika toh ingin memberikan proteksi, harus ada jadwal penurunan yang jelas sehingga memberikan sinyal kepada industri untuk siap bersaing. Oleh karena itu, harmonisasi tarif sektor industri harus dievaluasi kembali.
Keempat, kita harus mulai melihat potensi pasar negara berkembang dan juga peralihan pola produksi. Untuk kasus TPT, saya kira produk yang bersifat kualitas tinggi masih memiliki potensi untuk bersaing dengan Cina yang sifatnya low end.
Kita harus berpikir untuk bergerak ke arah diferensiasi produk yang bersifat original design manufacturing dan juga original equipment manufacturing. Diversifikasi pasar ekspor jelas merupakan strategi yang harus serius dijalankan.
Data menunjukkan, Cina semakin berorientasi kepada negara maju, sementara ekspor Indonesia ke negara non-Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengalami peningkatan. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah menjajaki akses pasar.
Terakhir-dan yang paling penting-tentunya perbaikan iklim investasi dan pembenahan institusi. Namun, saya menyadari ini adalah masalah jangka panjang. Akan tetapi, pembenahan itu harus dilakukan sejak sekarang.
Bila antisipasi ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin gejala-gejala itu akan berujung pada deindustrialisasi yang sesungguhnya. Lalu kita menemukan ratusan atau ribuan alamat pabrik tanpa aktivitas. Menyedihkan. (*)
No comments:
Post a Comment