Tuesday, January 27, 2004
FSD dan Kekuasaan Negara
FSD dan Kekuasaan Negara
Oleh Sonny Mumbunan
HEBE de Bonafini, pemimpin Mothers of Plaza de Mayo, organisasi
rakyat yang lahir dari rahim krisis Argentina, berujar
keras, "Kalian, tuan-tuan, adalah musuh kami." Tak berhenti di situ,
sembari menunjuk George Soros, spekulan pasar uang ternama, ia
mencerca, "Kalian adalah monster, kaum munafik."
Ekspresi kerasnya disiarkan luas saluran televisi yang meliput debat
tim Forum Sosial Dunia (FSD) Porto Alegre dengan tim Forum Ekonomi
Dunia (FED) Davos-dua forum yang memaknai globalisasi dengan logika
berpunggungan.
Bagi negeri seperti Argentina, neoliberalismo memang melahirkan
begitu banyak cacerolazos-pemukul panci simbol protes-dan piquetes-
buruh PHK yang memblokade jalan-sebagaimana Enron yang bangkrut
serta monster lain berlabel Al Qaeda.
Dalam setiap kali penyelenggaraan FSD, kental terasa kesan "mereka"
dan "kami". Tak terkecuali di Mumbay, India, ribuan pegiat sosial
menempatkan nilai- nilai, seperti solidaritas, persamaan, demokrasi,
keberlanjutan dan partisipasi, berhadapan-hadapan diametrikal dengan
kompetisi, ketamakan, ketidakadilan, dan pengabaian.
Dari watak internasionalisnya, terang mereka bukan
penggerak "antiglobalisasi". Sebuah misnomer-kekeliruan penamaan-
yang dijadikan judul berita utama Kompas (17/1/2004). Sebaliknya,
mereka adalah globalis perlawanan yang mengonsepsikan "dunia lain
yang mungkin". Sebuah tatanan yang diharap mengabdi pada kebutuhan
umat manusia, bukan pada penggandaan modal dan penundukan pasar atas
segala aspek hidup.
Sesungguhnya bukan kebetulan bila FSD berkali-kali diselenggarakan
di Brazil dan sekarang di Mumbay, India. Di Brasil, Partai Buruh
adalah partai kiri yang berkuasa. Begitu pula adanya di India,
terutama Kerala dan Bengali Barat.
Lepas dari keterbatasan dan kekurangannya, participatory budgeting
di Porto Alegre atau reformasi participatory budgeting di Bengali
Barat adalah model terkini bagaimana rakyat menentukan langsung dan
organik pengambilan keputusan dan relasi dengan negara (Jan
Pieterse, Participatory Democracy Reconceived, dalam Futures 33,
2001). Serius! Di Brasil rakyat miskin menyusun RAPBD!
Selebihnya, Partai Buruh bahkan mampu membangun aliansi yang hidup
antara gereja, universitas, dan gerakan rakyat, termasuk pengusaha
kecil. Bersama-sama mereka menghadapi korupsi, klientalisme, dan
reformasi ekonomi neoliberal. Di tempat ini partisipasi dan
kecerdasan rakyat menjadi faktor endogen dalam setiap penyusunan
kebijakan negara.
Dekadensi sosial demokrasi
Bila neoliberalisme-solusi kapitalisme global-adalah titik banding,
titik lainnya berada di bidang antara stalinisme dan sosial
demokrasi. Ia mungkin berwujud socialist renewal atau semacam
sosialisme demokratik. Konsepsi masyarakat ini diyakini lebih unggul
perihal alokasi distributif sumber daya dan surplus sosial.
Meski negara relatif mampu menyediakan kebutuhan dasar warganya,
tabiat antidemokrasi ekonomi dan politik stalinisme tidak seturut
dengan upaya emansipasi utuh umat manusia.
Akan halnya dekadensi sosial demokrasi, Partai Buruh Brasil,
misalnya, dalam dokumen kongres menjelang Pemilu 1994, mempunyai
alasan menarik mengapa mereka menolak sosial demokrasi: kekalahan
elektoral di banyak negara, skandal korupsi, dan terutama yang
paling tragis, kompromi dengan ekonomi neoliberal.
Meski secara umum semangat anti- korporasi, antineoliberalisme, dan
anti- imperialisme begitu meraja, opini dalam FSD sendiri terlalu
beragam. Inilah keunggulan sekaligus kelemahan FSD. Untung karena
representasi masyarakat dunia yang semakin luas, baik isu maupun
opini. Kelemahan karena kesempatan berdebat lebih dalam menjadi
kurang. Di samping, kesulitan menghasilkan fokus isu dan aksi
politik hal mana telah disadari sejak kali pertama FSD.
Saat FSD II, beberapa kekuatan konservatif dalam FSD berusaha
membangun dialog antara FSD dan FED, harap-harap kapital bisa lebih
manusiawi. Bagi mereka masuk akal, kedua forum ini dianggap mewakili
civil society. Sejumput orang kaya, pemilik modal, serta jutaan
massa miskin sama-sama merupakan stakeholder atas dunia.
Sementara LSM radikal dan organisasi berbasis massa luas menyerukan
mobilisasi rakyat.
Mendedah wajah buruk neoliberalisme dan semua kebijakan turunannya
memang lebih mudah. Demikian pula saat mencela Konsensus Washington.
Baik konsensus yang "asli", seperti privatisasi, deregulasi,
liberalisasi, disiplin fiskal, dan pengagungan HAKI. Atau, konsensus
augmented semisal pasar kerja dan upah lentur, corporate governance,
kesepakatan WTO, Bank Sentral "independen". Namun, tidak demikian
mudah ketika sampai pada konsepsi alternatif.
Dari Porto Alegre dan Mumbay, kita kembali ke Tanah Air. Di sini
kita mendapati 24 peserta kontes Pemilu yang bermanis-manis, mematut
diri di depan massa yang tak henti kehilangan pekerjaan dan
menurunnya akses pada pendidikan dan kesehatan murah.
Tesis Robison perihal kontradiksi kapitalisme Indonesia dalam The
Rise of Capital (1996) sebagian masih sahih. Cuma, modal
internasional tidak perlu mengeluarkan tenaga lebih banyak. Dalam
ruang tersisa modal lokal saling berebut, termasuk militer yang
mulai percaya diri dan terkonsolidasi baik. Pascapemilu, pembagian
beban krisis akan semakin berat ke kelompok masyarakat kecil dan
rakyat miskin.
Pengalaman Brasil bisa diacu secara kritis. Gabungan elektoralisme
dan ekstra parlementarianisme tampil begitu menawan dalam mendorong
demokratisasi lebih radikal atas kepemilikan, laba, informasi,
sumber daya, dan kekuasaan.
"Kekuasaan negara"
Menyasar tuan besar finansial, korporasi multinasional, dan lembaga
internasional, seperti IMF dan Bank Dunia-seperti dilakukan B Herry-
Priyono-jelas bukanlah kekeliruan.
Meski demikian, fokus teropong analisis mesti membidik tepat
kekuasaan negara yang berada di tangan rezim neoliberal pemerintahan
nasional kita. Sebab darinya, eksploitasi beroleh ruang dan
kemudahan gerak.
Saat menjawab dua kombinasi Trilema "Teori Ketidakmungkinan", ada
yang menarik dengan si cerdas James Tobin. Ia terinspirasi oleh
pengalaman bagaimana "kedaulatan" Cina menolak konvertibilitas lalu
lintas modal. Hal serupa yang dilakukan para penganjur
neoliberalisme sekarang di era awal lembaga Bretton Woods berdiri.
Tobin, Cina, pun Brasil. Meskipun tidak benar-benar menghilangkan
krisis, Argentina 2000 atau Indonesia pasca-Pemilu 2004 memiliki
mereka untuk belajar.
Sonny Mumbunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitaet zu
Kiel, Jerman
Deindustrialisasi
Date: Tue Jan 27, 2004 12:24 pm
Subject: Re: Gejala Deindustrialisasi?
|
Revolusi industri di Eropa atau revolusi Meiji di Jepang, setidaknya telah mematangkan terbentuknya suatu masyarakat industri.
Hal itu semua tak terbentuk dg mulus di indonesia, bisa dikata industri di Indonesia bagaikan "industri semu", yg bisa terlihat secara simbolik dg sebuah pabrik yg berdiri angkuh di tengah pesawahan atau pemukiman padat, dimana sangat rendah relasi antara pabrik tsb dg lingkungan sekitarnya, tak terbentuk masyarakat industri.
peradaban agraris dan industri berdekatan ,tapi tak bersenyawa. ( malah bersenyawa negatif, ketika masyarakat sekitar pabrik menutup jalan ke pabrik, menyerbu pabrik, atau malah "memeras" industri.
Analisa sosiologis lain nya, ialah bahwa Industri di Indonesia dan bisnis pada umumnya di kuasai oleh kaum minoritas, warga keturunan, kalau melihat ke jepang, india, cina, taiwan, korea apalagi negara eropa atau amerika, industri atau bisnis digerakkan oleh etnis mayoritas di negara tsb, hal tsb tak berlaku di indonesia.
efek dari penguasa kapital oleh minoritas, ialah akan terjadi kesenjangan sosial , karena terjadi batas sosiologis antara pemilik usaha dg para pekerja atau lingkungan sekitar.
deindustrialisasi bisa jadi, pilihan praktis secara bisnis, karena mereka melihat untung di sektor jasa perdagangan lebih besar daripada sektor produksi, selain itu resiko nya lebih rendah.
bisa dilihat pada kasus astra yg bermula dari penjual mobil, perakit mobil ( diharapkan kemudian bisa membuat mobil sendiri seperti proton malaysia misalnya ) tapi yg terjadi, pabrik toyota astra dijual ke jepang, astra kembali hanya jadi pedagang mobil, sungguh tragis, karena selama sekian tahun telah banyak subsidi yg diberikan pemerintah kepada toyota astra dg harapan ia mandiri, bisa buat mobil sendiri, tapi malah berbalik jadi pedagang kembali, tragis.
analisa sederhana dan naif, bisa jadi memang orang indonesia sudah dari sono nya hanya bisa jadi tukang jahit atau konsumen belaka. bisa jadi ini semua memang telah ditanamkan oleh VOC sejak jaman penjajahan dulu
sekian analisa naif saya
Alma Wardi
|
Kolom Chotib Basri
Gejala Deindustrialisasi?
ALAMAT dan gedung itu tetap di sana, namun tak ada lagi aktivitasnya. Padahal, dua tahun lalu mereka masih menjadi responden penelitian kami. Sekarang tinggal gedung yang tersisa. Pabrik tekstil itu telah tutup.
Inikah gambaran industri kita? Tentu tak ada yang bisa disimpulkan dari data anekdotal itu. Namun, ia seperti menjadi ilustrasi dari persoalan industri di negeri
ini. Di sektor tekstil, kita cemas tentang nasib industri ini di era pascakuota.
Bahkan, sebelum era itu tiba-seperti pernah saya bahas-industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah mengalami persoalan. Dan seperti rumah kartu, industri
lain juga mengalami kemunduran, terutama untuk sektor industri yang bersifat padat karya.
Harian Kompas, minggu lalu, memuat berita tentang ekspor mebel yang menurun. Persoalannya, kelangkaan bahan baku akibat kebijakan pengurangan kuota
penebangan kayu. Alasannya, masalah lingkungan. Akibat keputusan ini, harga kayu meningkat, yang pada gilirannya memukul daya kompetisi industri mebel kita.
Persoalan kelangkaan kayu sebenarnya lebih disebabkan penyelundupan kayu ketimbang pengurangan kuota. Data menunjukkan, ekspor kayu ke Cina yang tercatat di
Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan data impor kayu dari Indonesia yang tercatat di Cina. Mungkin ada masalah perbedaan sistem pencatatan di sini.
Namun, jika kita melihat perbedaan yang begitu besar, bukan tidak mungkin itu mencerminkan masalah penyelundupan. Sayangnya, kemajuan dalam mengatasi
penyelundupan amat lambat, jika kita malu menyebutnya tidak ada. Runtunan persoalan tak berhenti sampai di sana.
Harian Kompas (19/1) juga menulis tentang terancamnya industri baja nasional akibat kebijakan tarif bea masuk yang diberlakukan pemerintah untuk bahan baku
baja. Dengan tarif bea masuk sebesar 20 persen untuk hot rolled coil (HRC) dan 25 persen untuk cold rolled coil (CRC), harga bahan baku baja menjadi amat mahal,
yang pada akhirnya memukul daya kompetisi industri hilir.
Potongan-potongan mosaik di atas memberi kita sebuah gambar yang mungkin tak teramat jelas-namun mengkhawatirkan-gejala terjadinya deindustrialisasi.
Benarkah deindustrialisasi terjadi, seperti keluhan dunia usaha? Terlalu pagi untuk mengatakan ya. Keluhan pengusaha tak selamanya benar. Dunia usaha kadang cerewet dan senang mengeluh, lalu berujung meminta proteksi baru. Semacam professional complainer. Oleh karena itu, kita perlu melihat masalah ini lebih dingin.
SECARA konseptual, deindustrialisasi terjadi karena meningkatnya tingkat upah atau biaya produksi, yang di satu sisi bisa disebabkan oleh boom yang terjadi di
sektor sumber daya alam, seperti minyak atau gas (dikenal dengan Dutch disease atau penyakit Belanda), atau juga karena berbagai supply shock akibat ekonomi biaya tinggi.
Sementara di sisi lain, sektor manufaktur dihadapkan pada harga pasar dunia yang kompetitif. Kenaikan biaya produksi yang tak bisa ditransmisikan pada kenaikan
harga di pasar dunia pada gilirannya akan menekan keuntungan di sektor industri. Implikasinya, tak ada insentif untuk bergerak di sektor industri.
Lebih jauh lagi, dengan kondisi merugi, perusahaan-perusahaan di sektor industri akan tutup. Tentu perlu dicatat, deindustrialisasi tak bisa disimpulkan hanya dengan tutupnya beberapa perusahaan. Ia harus mencerminkan industri secara keseluruhan.
Untuk itu kita perlu melihat kinerja industri secara lebih luas. Observasi yang lebih rinci menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor industri manufaktur sendiri
terus mengalami gejala penurunan. Artinya, gejala penurunan ini bukan hanya terjadi pada TPT, mebel, atau baja, tetapi juga pada industri manufaktur secara keseluruhan.
Sebagai contoh, dalam periode sebelum krisis, pertumbuhan sektor industri mencapai rata-rata 9 persen per tahun, sedangkan setelah periode krisis (setelah tahun 1998) tumbuh sebesar rata-rata 5 persen.
Yang mengkhawatirkan, pertumbuhan ini terus menurun. Sampai dengan triwulan ketiga 2003, industri pengolahan hanya tumbuh sebesar 2,3 persen, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sepanjang tahun 2002 yang 4,1 persen.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, perhitungan menunjukkan, dalam periode 1988-1997, pertumbuhan tenaga kerja di sektor manufaktur rata-rata 7,1 persen. Daya serap ini mengalami penurunan drastis setelah krisis (1998-2002) menjadi rata-rata 1,9 persen.
Bahkan, untuk tahun 2002 penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur hanya 0,2 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan penyerapan tahun 2001 (3,8 persen).
Bagaimana dengan produktivitas? Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) menunjukkan, pertumbuhan produktivitas per tenaga kerja di sektor manufaktur mengalami penurunan secara tajam, dari 3,5 persen rata-rata per tahun (1993-1997) menjadi minus 0,55 persen (1998-2002).
Kita juga melihat bahwa peningkatan share (peran) industri pengolahan dalam total produk domestik bruto (PDB) terus melambat dari tahun 2001 ke 2002. Bahkan, peran industri pengolahan terhadap total PDB di triwulan ketiga 2003 lebih rendah dibandingkan dengan persentase pada periode yang sama tahun 2002.
Padahal, seharusnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita, peran industri pengolahan dalam total PDB akan terus meningkat (Chenery dan Syrquin,
1975). Di negeri ini kita justru melihat gejala yang sebaliknya. Di dalam struktur ekspor, kita melihat bahwa peran dari ekspor barang industri turun dari 68 persen (Januari-November 2002) menjadi 66 persen (2003).
Laporan Bank Dunia memang menunjukkan bahwa produk-produk dari Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif meningkat dari 27 persen (1995) menjadi 33 persen (2001). Namun, perlu dicatat, sebagian besar produk tersebut adalah produk yang berbasiskan sumber daya alam.
Ini konsisten dengan perhitungan yang saya lakukan, yang menunjukkan bahwa 70 persen produk kita yang bisa kompetitif dalam menghadapi Cina adalah produk primer. Daya kompetisi yang turun ini-seperti gejala deindustrialisasi-disebabkan oleh gangguan dari sisi suplai (supply shock).
Dalam soal upah, misalnya, indeks tingkat upah sudah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tambah yang dihasilkannya. Artinya, tingkat upah yang ada sudah lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitasnya. Di sisi lain, seperti sudah banyak dibahas, kita dihadapkan pada ekonomi biaya tinggi akibat pungutan, korupsi.
Perhitungan menunjukkan bahwa setelah tahun 1995, kenaikan ekspor Indonesia lebih disebabkan faktor permintaan (54 persen) ketimbang daya saing (41 persen). Pendeknya, semua indikator menunjukkan gejala penurunan industri pengolahan dan pergeseran menuju produk primer, mirip seperti gejala deindustrialisasi. Jika demikian, apa yang bisa dilakukan?
KETIMBANG meratapi nasib atau memaki fakta, lebih baik kita berpikir tentang antisipasi kebijakan. Kita harus realistis bahwa investasi ke industri pengolahan tak akan terjadi segera (paling cepat baru terjadi setelah semester kedua 2005).
Tanpa investasi baru, tenaga kerja di sektor manufaktur dan daya saing hanya bisa diselamatkan jika pasar tenaga kerja bersifat fleksibel. Kebijakan pasar
tenaga kerja yang kaku dengan aturan hubungan industri yang terlalu intervensionis hanya akan berakhir pada semakin lemahnya daya kompetisi industri.
Lalu haruskah buruh dikorbankan? Jawabnya jelas tidak. Buruh bisa ditolong dengan memerhatikan tingkat upah riil, misalnya dengan membuat biaya hidup mereka
menjadi lebih murah. Penyediaan rumah susun dengan harga terjangkau untuk buruh di sekitar pabrik dapat menekan pengeluaran mereka untuk rumah.
Jadi, dengan upah nominal yang tetap atau kenaikan upah nominal yang tak terlalu tinggi, tingkat kesejahteraan buruh tetap dapat ditingkatkan.
Kedua, menghapuskan ekonomi biaya tinggi dengan memangkas peraturan. Berbagai aturan dan pungutan yang ditimbulkan karena pelbagai peraturan dapat dihilangkan dengan menghapus peraturan itu sendiri (debirokratisasi dan deregulasi).
Ketiga, berbagai biaya tinggi yang timbul karena tarif bea masuk yang diberlakukan untuk bahan baku diturunkan. Kebijakan proteksionis hanya bisa berlaku temporer dan tak menyelesaikan masalah produktivitas.
Memenuhi tuntutan dunia usaha untuk terus-menerus memberikan proteksi-terutama dalam bentuk hambatan nontarif-secara empiris terbukti hanya membuka kesempatan untuk kegiatan ekonomi rente dan korupsi (Basri 2001), dan hanya meningkatkan insentif untuk melakukan penyelundupan.
Jika toh ingin memberikan proteksi, harus ada jadwal penurunan yang jelas sehingga memberikan sinyal kepada industri untuk siap bersaing. Oleh karena itu, harmonisasi tarif sektor industri harus dievaluasi kembali.
Keempat, kita harus mulai melihat potensi pasar negara berkembang dan juga peralihan pola produksi. Untuk kasus TPT, saya kira produk yang bersifat kualitas tinggi masih memiliki potensi untuk bersaing dengan Cina yang sifatnya low end.
Kita harus berpikir untuk bergerak ke arah diferensiasi produk yang bersifat original design manufacturing dan juga original equipment manufacturing. Diversifikasi pasar ekspor jelas merupakan strategi yang harus serius dijalankan.
Data menunjukkan, Cina semakin berorientasi kepada negara maju, sementara ekspor Indonesia ke negara non-Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengalami peningkatan. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah menjajaki akses pasar.
Terakhir-dan yang paling penting-tentunya perbaikan iklim investasi dan pembenahan institusi. Namun, saya menyadari ini adalah masalah jangka panjang. Akan tetapi, pembenahan itu harus dilakukan sejak sekarang.
Bila antisipasi ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin gejala-gejala itu akan berujung pada deindustrialisasi yang sesungguhnya. Lalu kita menemukan ratusan atau ribuan alamat pabrik tanpa aktivitas. Menyedihkan. (*)
Sunday, January 25, 2004
dari Prof. Iskandar Alisjahbana
Date: Sun Jan 25, 2004 10:01 am
Subject: "Development as Freedom" ; "Affirmative Action" ; "Need of Achievement Training"
|
wrote:
Ibu Hera,
tolong print, lalu dikirim satu kopi ke Ibu Megawati di ITB-Pusat.
Yth Sdr. Bambang Winarto, dan Kawan2 lainnya!
Nenek Moyang Manusia2 Kepulauan Indonesia semua berasal dari
Cina/Asia Daratan.
Jadi sebetulnya semua Pribumi Indonesia adalah Non-Pribumi yang
pertama yang berada di Indonesia. Jadi memang semua manusia itu
sama, dan berasal dari satu, Yaitu ciptaan Tuhan YME, yangsampai
sekarang belum selesai seluruh ciptaannya! Dan mempunyai hak sama
untuk mengembangkan diri masing2. Seperti yang dikatakan oleh Nobel-
prize winner Amarthya Sen: DEVELOPMENT AS FREEDOM.
Bagaimana atau dengan cara apa manusia berkembang, atau
melakukan development-nya? Yaitu dengan cara (Ahli Philosophie
bukan ahli Ekonomi) Adam Smith: "Dengan berkompetisi & berkoperasi
di Lapangan-(bola) yang rata beserta Wasit yang adil" Syarat
lainnya adalah supaya pihak2 yang dipertandingkan adalah kira2 dari
kelas kemahiran (modal-pertama) yang kira2 sama, sehingga kedua
belah pihak dengan seimbang akan berusaha mengeluarkan/mengembangkan
kemahiran, bakat, strategi dan penemuan2-baru masing2, demi
memenangkan pertandingan. Selama bertanding itu keduabelah pihak
berkembang. Itu sebabnya pertandingan2 harus berkesinambungan atau
sering dilakukan.
Mahasiswa-muda Siswono & Muslimin Nasution, pada 10 Mei 1963
merasa bahwa "pertandingan utk berkembang dilapangan bola yang
semestinya rata" adalah tidak rata dan tidak adil. Non-Pribumi
mahasiswa ITB punya motor dan lebih kaya dari Pribumi, bisa beli
buku apa saja dan bisa pindah kelas cepat, utk merebut tempat duduk
yang terbaik. Terjadilah pembakaran motor2 dan adu-jotos dilapangan
Basket ITB pada tgl 10 Mei 1963.
Terbukti "Racial Riots" semacam ini terjadi di Malaysia,
Philipina, Thailand, dll, terhadap Non-Pribumi Cina, dan juga
terjadi di banyak negeri2 di Afrika, terhadap Non-Pribumi India,
kira2 setiap 20 tahun. Ini yang ditulis oleh Prof. Dr. Amy Chua,
gurubesar-ekonomi di Amerika, dalam bukunya "WORLD ON FIRE". Amy
Chua sendiri juga pernah mengalami "run amok"(atau mengamuknya)
pribumi Philipina, sebelum ia pindah ke Amerika.
Menurut Amy Chua, Pribumi mengamuk karena merasa tidak adil
perkembangan yang telah terjadi. Non-Pribumi merupakan suatu
kelompok "Market Dominant Minorities", yang berjumlah hanya
minoritas(10%), tetapi menguasai secara dominan Pasar(80%). Karena
semua manusia itu diciptakan berbakat kira2 sama oleh Tuhan, jelas
ini terjadi karena rumus/pelaksanaan pengaturan Pasar Adam Smith itu
dilakukan oleh penjajah sebelumnya(atau oleh Suharto dlm masa OrBa),
tidak adil dan tidak fair. Kalau pengaturan-nya adil dan sesuai
dengan Adam Smith, maka paling2 10% Non-Pribumi bolehlah menguasai
20-30% Pasar dan 90% Pribumi hanya mengusai 80-70% Pasar. Ini
mungkin masih adil dimata para Pribumi. Ini yang menjadi tujuan &
tugas ITB sambil memajukan Ekonomi Indonesia.
Ini yang dipikirkan oleh Kampus ITB, segera sesudah
kejadian "run Amok" 10 Mei 1963, supaya mahasiswa tidak hanya
mengejar titel Ir & Dr di ITB, tetapi juga mengejar Knowledge utk
menjadi kaya(empunya=mempunyai kapital=kapitalis), sekaligus mampu
membuat lapangan-pekerjaan. Dengan bantuan DirUt BDN, kita datangkan
seorang Gurubesar dalam "Need of Achievement", yang juga mempunyai
pengalaman di USA, melatih Negro2 & Indian2 menjadi lebih sederajat
dengan masyarakat-kulit putih USA. Ini yang dinamakan di
Amerika "AFFIRMATIVE ACTION".
Ini juga telah dilakukan oleh Mahathir Mohammad di Malaysia,
sehingga kira2, (60%) Bumiputra yang hanya menguasai 15% Pasar,
dibina menjadi (60%)Bumiputra dapat menguasai 35% aktifitas Pasar.
Jadi Mahathir Mohammad hanya berhasil mengubah Non-Pribumi Malaysia
yang sebelumnya "Market Dominant Minorities" menjadi "Market Less-
Dominant Minorities". Ini rupa2nya sudah cukup untuk tidak
terjadinya run-Amok atau racial Riots pada masa krisis 1998 yang
lalu. Kawan kita Christianto Wibisono (penulis Kompas seperti Arif
Budiman)menjadi salah satu korban run-Amok nya pribumi Indonesia.
Jadi ITB(meskipun tidak ada persetujuan/bantuan dari pem.
Suharto) dengan mengadakan Entrpreneurship-training dengan Need-of-
Achievement training pada thn 70-an, juga telah mengadakan semacam
AFFIRMATIVE ACTION PROGRAM, tetapi tanpa bantuan Modal seperti
Mahathir Mohammad.
Pendirian2 perusahaan PT.Glasstronics, PT. Soiliens, PT. RFC ,
PT. Arsitektur2 dan PT2 Seniman2, dan banyak lainnya, (meskipun ITB
belum menjadi BHMN,) adalah praktikum/demonstrasi terbuka bagi
mahasiswa ITB, bagaimana Pribumi juga bisa menjadi pengusaha-kaya
seperti Non-Pribumi. Terbukti hasilnya cukup baik. Coba lihat
Wirausahawan2 Alumni ITB kita. Siswono, yang secara patriot meminta
maaf kepada mahasiswa non-pribumi yang kena pukul atau motornya
terbakar pada thn 1963, telah berhasil menjadi Pengusaha-
Bangunan/Kapitalis Pribumi yang tangguh dan dapat meliwati krisis
1998. Alumni Arifin Panigoro telah mampu menghasilkan minyak lebih
banyak dari Pertamina, tanpa dibantu proses Swastanisasi seperti di
Rusia. Dan banyak contoh2 lainnya.
Jadi ITB berusaha membuat "Market Dominant Minorities"
menjadi "Market Non-Dominant Minorities"(atau Market Less Dominant
Minorities), tampa membunuh atau merampok pengusaha/perusahaan Non-
pribumi, tetapi dengan menemukan/mengembangkan bakat2 manusia
Pribumi dan membangun Perusahaan2 Pribumi. Hanya dengan keadaan
Market Non-Dominant atau Less-Dominant Minorities, pembangunan
Ekonomi suatu negara dapat terlaksana. Terutama karena tidak adanya
dendam ethnis, semua pembangunan dapat dilakukan secara damai dan
tekun, tampa gejolak2 yang menghambat atau memundurkan kembali
pembangunan sebelumnya.
ITB is going in the right direction !!!!
Sementara waktu sekian dahulu. Tolong kritik dan komentar.
(iskandar alisjahbana)
Wednesday, January 07, 2004
Nasib Yahudi, Muslim, dan Eropa
| ||
| ||
Nasib Yahudi, Muslim, dan Eropa
Oleh ESTANANTO "Wer sich selbst und andere kennt,
Sinnig zwischen beiden Welten
(dari: West-oestlicher Divan, Johann Wolfgang von Goethe) PENGHUJUNG tahun 2003, Presiden Republik Federal Jerman, Johannes Rau membuat panas kuping para politisi Jerman. Rau membuat pernyataan, bahwa jika jilbab tidak boleh digunakan oleh para guru Muslimah di Jerman, maka simbol keagamaan lain seperti simbol Salib dan simbol Yahudi juga tidak boleh muncul di sekolah. Tidak seharusnya --menurut Rau dalam wawancara dengan televisi ZDF tanggal 28 Desember 2003-- warga Muslim di Jerman yang berjumlah 3,2 juta jiwa menjadi warga negara kelas dua. Mereka juga harus diakui. Padahal banyak politisi Jerman seperti Edmund Stoiber percaya, bahwa jilbab adalah simbol fanatisme dan intoleransi. Beberapa yang lain lagi percaya bahwa "budaya Kristen" adalah fundamen yang harus dijaga di Jerman dan tidak dapat diperlakukan sama dengan Islam yang kebanyakan dianut oleh imigran pendatang. Mahkamah Konstitusi Jerman telah mengeluarkan keputusan berkenaan jilbab di sekolah, yaitu guru Muslimah tidak dapat dilarang mengenakan jilbab di sekolah negeri jika tidak ada peraturan yang khusus melarangnya. Maka negara-negara bagian Jerman pun ramai-ramai membuat peraturan khusus tentang jilbab, terutama negara bagian Baden-Wuerttemberg dan Bayern. Alasannya adalah sebagaimana yang dikemukakan di atas, jilbab dianggap lambang fanatisme dan intoleransi. Salah paham? Barangkali. Ketakutan yang berlebihan terhadap Islam, yang ditiupkan oleh media yang mengejar tiras, bisa jadi menimbulkan histeria anti-Islam yang mendalam. Majalah-majalah, misalnya, lebih suka memuat kasus bagaimana seorang gadis Turki dikejar keluarganya untuk dikawinkan dengan pria pilihan keluarga atau kisah-kisah seram lain seperti bagaimana jihad itu selalu dikobarkan untuk mengancam Barat. Peristiwa 11 September 2001 (New York), 12 Oktober 2002 (Bali), 15 November 2003 (Istanbul) seolah-olah menguatkan anggapan bahwa Muslim memang dilahirkan sebagai pembuat keonaran dan pembunuh rakyat sipil tak berdosa. Tidak ada media besar yang menyiarkan bahwa semua ulama yang berpengaruh di dunia Islam mengutuk keras aksi-aksi biadab itu. Apakah di kalangan Muslim tidak ada orang berbahaya? Tentu saja ada. Kita tidak boleh menafikan bahwa beberapa pendapat ekstrem berseliweran juga di kalangan kaum Muslimin. Penulis meragukan keabsahan definisi "sleeper" (orang yang sedang tidur) yang banyak ditakuti di negara-negara Barat. "Sleeper" adalah seorang Muslim yang sehari-hari baik hati, penuh sopan santun, namun sebenarnya dia adalah seorang yang berbahaya. Ketika "imam"-nya mengirim sinyal, barulah dia mulai beraksi: membuat bom, meledakkan bom bunuh diri, dan lain sebagainya. Konsep ini juga dianut oleh pers Indonesia dalam melukiskan tersangka pelaku bom Bali maupun Marriott. Konon mereka baik-baik saja di mata masyarakat walaupun sebenarnya berdarah dingin. Sebenarnya tidak mungkin ada "sleeper" kecuali dia mengalami kepribadian ganda. Dari ceramah-ceramah, dari buku-buku yang beredar, dari majalah-majalah yang disukai kita dapat mengetahui trend pemikiran yang sedang dipercayai oleh sebuah masyarakat. Kalau opini mengarah ke garis hitam-putih, "kita dan mereka" seperti dalam keadaan perang padahal keadaannya sedang damai, inilah yang harus diwaspadai. Sekali kita mengenali seseorang, tidak ada "sleeper". Yang ada adalah individu yang pemikirannya jelas kita kenali. Adolf Hitler dalam bukunya "Mein Kampf" menyebut kaum Yahudi sebagai biang kerok segala bencana. Ide-idenya yang rasistis, tidak memandang manakah Yahudi baik dan manakah Yahudi jahat. Tidak mengenal mana Yahudi cinta damai dan mana Yahudi teroris. Pokoknya Yahudi, titik. Hitler akhirnya membawa kemalangan kepada bangsa Jerman. Dalam Perang Dunia II, 6 juta orang Yahudi disinyalir tewas di kamp-kamp konsentrasi yang didirikan oleh tentara Hitler. Sungguh malang karena hingga hari ini, film-film dunia, juga film Hollywood, selalu menayangkan orang Jerman sebagai pembunuh dan orang Yahudi sebagai pahlawan, sungguh pun perang telah berlalu 60 tahun yang lalu. Siapa yang belum pernah menonton "Life is Beautiful" atau "The Pianist"? Sayangnya kisah-kisah lama itu terulang kembali. Kini korbannya bukan hanya bangsa Yahudi, tapi kaum sipil Palestina. Bahkan di kamp-kamp pengungsi, maut menjemput nyawa anak-anak kecil lewat peluru tentara Israel. Dunia tidak berdaya, lewat mekanisme "demokratis" PBB dengan veto Amerika itu. Tidak ada yang lebih membahayakan perdamaian dunia daripada saling serang di daerah itu. Orang Palestina yang frustrasi akhirnya tidak melarang sebagian putranya meledakkan bom bunuh diri terhadap warga sipil. Etika perang menjadi semu, lidahpun menjadi kelu. Tetapi karena pengorbanan selama Perang Dunia II, walaupun jelas korban sipil jatuh dari kedua belah pihak (dan korban sipil Palestina jauh lebih banyak), orang Yahudi selalu dianggap korban dan orang Palestinalah sang teroris. Juga Muslim dianggap orang berbahaya. Dengan peraturan baru dari pemerintah Amerika Serikat, penumpang setiap penerbangan menuju wilayah Amerika dari Eropa harus merelakan data-data pribadinya diperiksa. Bahkan hingga makanan yang dipesan. Barangkali untuk mengetahui, jika seseorang tidak makan babi dan minum alkohol dialah sang tersangka. Inilah ironi, juga ketika banyak pemerintahan negara Muslim menjadi sekutu dekat Amerika Serikat. Haruskah kaum Muslimin di Eropa mengalami nasib seperti kaum Yahudi terlebih dahulu untuk mendapat penghargaan dari masyarakatnya? Ketika propaganda yang dilancarkan tiap hari menyumbat nurani, manusia manakah yang tidak akan gelap mata? Apakah "Hitler-Jerman", "Hitler-Yahudi", atau "Hitler-Islam", semuanya menakutkan? Di sini, untaian puisi Goethe yang saya kutip di awal tulisan ini menjadi asing. "Siapa saja yang mengenal dirinya dan orang lain/Akan mengakui/Orient (Timur) dan Oksiden (Barat)/Tidak lagi terpisah." Penulis tinggal di Jerman |
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0104/07/0808.htm
Saturday, January 03, 2004
Kita Tidak Lagi Kaya SDM
Date: Sat Jan 3, 2004 11:18 am
Subject: Kita Tidak Lagi Kaya
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/03/opini/779996.htm
Kita Tidak Lagi Kaya
Oleh Sudi Ariyanto
UNGKAPAN bahwa Indonesia kaya dengan sumber energi
mungkin sudah saatnya tidak digunakan lagi. Mungkin
ada rasa sakit atau tidak rela, tetapi fakta harus
diterima. Sebentar lagi kita menjadi pengimpor neto
minyak dan dalam jangka panjang juga pengimpor sumber
energi lain. Apa yang terjadi sesudah kita menjadi
negara pengimpor neto minyak atau setelah minyak kita
habis?
Sumber daya minyak bumi Indonesia sekitar 321 miliar
barrel (1,2 persen potensi dunia), gas bumi sekitar
507 TSCF (3,3 persen potensi dunia), batu bara sekitar
50 miliar ton (3 persen potensi dunia), panas bumi
sekitar 27.000 MW (40 persen potensi dunia), dan
tenaga air sekitar 75.000 MW (0,02 persen potensi
dunia). Cadangan terbukti minyak bumi pada tahun 2002
sekitar 5 miliar barrel, cadangan terbukti gas bumi
sekitar 90 TSCF, dan cadangan terbukti batu bara
sekitar 5 miliar ton.
Dengan tingkat produksi seperti pada tahun 2002, dan
bila tidak ada cadangan terbukti baru, cadangan minyak
bumi akan habis dalam waktu 10 tahun, gas bumi 30
tahun, dan batu bara 50 tahun. Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Kongres I Organisasi
Profesi Praktisi Akuntansi Sumber Daya Alam dan
Lingkungan di Baturaden, 12 Desember lalu (Kompas,
13/12/2003, hal 14), memperkirakan cadangan minyak
bumi kita hanya dapat mencukupi kebutuhan hingga tujuh
tahun ke depan.
Walaupun minyak bumi masih dapat diproduksi hingga
tujuh atau sepuluh tahun mendatang, di tahun antara
2003 dan 2010 Indonesia akan menjadi pengimpor minyak
neto. Direktur Pertamina pernah memperkirakan
Indonesia jadi pengimpor neto pada tahun 2004.
Bagaimana jika perkiraan Direktur Pertamina benar?
Kondisi ini perlu dicermati karena masalah energi
berkaitan dengan kemakmuran bangsa. Krisis energi,
secara khusus listrik, di Indonesia dapat menghambat
perkembangan industri, menghambat upaya negara
mengurangi jumlah orang miskin, dan menghambat program
kesehatan nasional, khususnya penduduk di pedesaan.
Data dan proyeksi
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor impor
minyak mentah Indonesia tahun 1998-2002 mengalami
fluktuasi, tetapi surplus di pihak Indonesia. Surplus
tahun 1998 adalah 1.403,1 juta dollar AS; menjadi
1.754,3 juta dollar AS tahun 1999; 1.772,2 juta dollar
AS tahun 2000; dan 1.432,3 juta dollar AS tahun 2001.
Nilai surplus menurun tajam menjadi 67 juta dollar AS
tahun 2002, yaitu kira-kira 1/21 kali dari nilai tahun
2001 atau 1/26 kali nilai tahun 2000. Jika
kecenderungan ini berlanjut, benarlah di tahun 2004
Indonesia akan menjadi negara pengimpor neto minyak.
Proyeksi neraca ekspor impor Indonesia sampai tahun
2020 dapat dilihat pada Energy Outlook 2002 terbitan
Pusat Studi Energi UI (EOS), hasil studi bersama
IAEA-BPPT-BATAN tahun 2002 (CADES), dan APEC Energy
Demand and Supply Outlook 2002 (APEC). Diproyeksikan
Indonesia menjadi net importer pada tahun 2000 (EOS),
antara tahun 2000 dan 2005 (CADES), sesudah tahun 2010
(APEC). Diperkirakan, mulai tahun 2010 Indonesia tidak
lagi mampu mengekspor minyak (EOS). Dengan demikian,
Indonesia mungkin tidak lagi menjadi anggota OPEC.
Untuk energi secara keseluruhan, menurut EOS,
Indonesia mungkin masih dapat bernapas lebih lama
karena ekspor energi Indonesia sampai dengan tahun
2010 masih lebih besar daripada impor energi. Namun,
mulai tahun 2011 Indonesia akan kembali menjadi
pengimpor neto energi secara keseluruhan. Pada tahun
2011 defisit ekspor impor energi diperkirakan sekitar
50 juta BOE, meningkat menjadi sekitar 286 juta tahun
2015, dan sekitar 730 juta tahun 2020. Jumlah impor
pada tahun 2011 sekitar 1,31 kali ekspor; tahun 2015
sekitar 2,75; dan tahun 2020 menjadi 14,56.
Andalan negara
Data dan proyeksi di atas memiliki implikasi serius
kepada perekonomian, keamanan negara, dan strategi
pembangunan. Dahulu, minyak menjadi andalan negara
untuk mendapatkan devisa atau dana untuk pembangunan.
Negara sering mendapatkan dana tambahan (wind fall
profit) dari penjualan minyak apabila harga minyak
naik. Setelah menjadi pengimpor neto minyak, Indonesia
tidak seperti dulu lagi. Jika harga minyak dunia naik,
dana untuk membeli minyak impor juga semakin besar dan
harga beberapa barang dan jasa ikut naik. Jadi,
ekonomi Indonesia sedikit banyak menjadi bergantung
pada harga minyak dunia. Kondisi ekonomi kita bisa
berada di luar kendali kita.
Indonesia juga akan dipengaruhi persaingan geopolitik
yang melibatkan negara produsen minyak yang
menggunakan minyak sebagai salah satu alat politik.
Seperti diketahui, kebanyakan negara penghasil minyak
ada di Timur Tengah-sebuah wilayah yang sarat dengan
pergolakan atau peperangan, oleh alasan agama dan
terorisme.
Karena minyak tidak lagi menjadi sumber dana untuk
pembangunan, pemerintah harus lebih giat lagi mencari
cara baru atau mengintensifkan cara yang ada untuk
mendapatkan dana. Pajak mungkin bisa mengambil alih
peran yang pernah dimainkan minyak. Agar pajak dari
rakyat tidak masuk ke rekening pribadi oknum pengutip
pajak, penegakan hukum harus dijalankan dengan
sungguh-sungguh.
Penanggulangan
Tidak ada cara mudah untuk mengatasi hal ini, apalagi
jika seluruh komponen bangsa tidak mau terlibat secara
serius. Yang pasti, Indonesia harus mengurangi
kebergantungan pada minyak bumi. Patut disyukuri,
pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral (DESDM) sudah mencoba memikirkan beberapa
alternatif dalam bentuk Kebijakan Energi Nasional
(KEN) yang akan diluncurkan secara resmi pada akhir
tahun 2003. KEN memuat berbagai jenis mode
pembangkitan listrik untuk mengurangi kebergantungan
pada minyak, mulai dari pembangkit dengan bahan bakar
baru, bahan bakar terbarukan, batu bara, gas, hingga
nuklir.
Diharapkan KEN dapat menjadi landasan bersama seluruh
komponen bangsa, tidak hanya pemerintah, untuk
mengatasi masalah energi. Diharapkan pula pemerintah
dapat menindaklanjuti KEN dengan rencana aksi yang
konkret sehingga upaya pemerintah untuk
menyejahterakan masyarakat tidak terhambat.
Jika untuk pembangkitan energi terdapat berbagai
alternatif pengganti minyak, tidak demikian halnya
untuk transportasi. Artinya, minyak masih terus
diperlukan dengan semakin banyaknya alat transportasi
yang melaju di jalan. Untuk mengurangi pemakaian
minyak, pemerintah harus segera dengan serius
memikirkan pemanfaatan alat transportasi yang dapat
mengangkut banyak orang, seperti kereta listrik, dan
menunjang penelitian sumber energi alternatif untuk
transportasi. Alat transportasi massal adalah yang
terbaik untuk menghemat minyak karena konsumsi energi
per satuan jarak per satuan massa sumber energi per
orang lebih besar daripada mobil atau bus, termasuk
busway.
Jika sistem transportasi tidak baik, pemborosan minyak
akan terus berlanjut; sebagian terbakar sia-sia karena
kemacetan yang semakin parah. Strategi pengurangan
jumlah kendaraan di jalan dapat juga dilakukan dengan
cara mengizinkan mobil pribadi dengan nomor polisi
ganjil saja pada suatu hari dan esoknya mobil yang
bernomor genap; nomor ganjil genap bisa disesuaikan
dengan tanggal kalender.
Saat Indonesia menjadi pengimpor neto minyak sudah di
depan mata. Tidak dalam bilangan puluhan tahun atau
tahun, tinggal beberapa hari lagi apabila benar
terjadi pada tahun 2004.
Pemerintah perlu segera menyiapkan strategi untuk
pembangunan dan penyiapan energi berdasarkan kondisi
defisit minyak. Masyarakat pun harus menyadari hal ini
dan dari sekarang belajar menghemat energi karena kita
tidak lagi kaya akan sumber daya energi. Apabila
terlambat, semakin dalam kita terperosok ke dalam
krisis energi dan kita tidak lepas-lepas dari krisis
ekonomi.
Kiranya Tuhan menolong kita.
Dr Ir Sudi Ariyanto MEng Pengamat Energi, Tinggal di
Jakarta