Monday, March 15, 2004

Kegagalan Pembangunan Pertanian di Indonesia

From: Estananto <estananto@y...>
Date: Mon Mar 15, 2004 1:26 pm
Subject: Kegagalan Pembangunan Pertanian di Indonesia


Senin, 15 Maret 2004




Kegagalan Pembangunan Pertanian di Indonesia


Syaiful Bahari

LAPORAN Fokus (Kompas, 17/1/2004) tentang Kisruhnya
Politik Pangan banyak menguak tabir persoalan pangan
dan pertanian di Indonesia yang tak pernah selesai
dari dulu hingga sekarang. Beberapa narasumber telah
menyoroti akar persoalan dari mulai kebijakan
produksi, impor, keterbatasan lahan, sampai pada
kelembagaan di sektor pertanian.

Namun, keseluruhan pandangan itu belum secara tegas
menyatakan jalan apa yang harus ditempuh Indonesia
dalam membenahi masalah pangan dan sektor pertanian.
Sebagian lebih menggunakan pendekatan produksi, pasar,
dan mekanisme perdagangan yang selama ini menjadi
bagian dari paradigma pembangunan pertanian di masa
Orde Baru (Orba). Tulisan ini dimaksudkan memberi
pandangan lebih mendasar tentang kegagalan pembangunan
sektor pertanian di Indonesia sekaligus langkah apa
yang perlu ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah
pangan yang kian mengemuka.

SEJAK awal tahun 1970, paradigma pembangunan pertanian
di Indonesia berubah drastis seiring perubahan
paradigma pembangunan ekonomi kapitalistis yang
bertumpu pada modal besar. Dalam kerangka pembangunan
ekonomi saat itu, sektor pertanian tidak lagi
ditempatkan sebagai fondasi ekonomi nasional, tetapi
dijadikan buffer (penyangga) guna menyukseskan
industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan
ekonomi.

Sebagai penyangga, yang terpenting bagi pemerintahan
Orba adalah bagaimana mendongkrak produksi pangan
dalam negeri tanpa harus berbelit-belit, cepat, dan
tidak berisiko secara politik. Pilihan ini sebagai
antitesis program land reform di masa Orde Lama (Orla)
yang dijadikan landasan utama dalam program
pembangunan pertanian semesta. Kebetulan pada saat
bersamaan arus global politik-ekonomi dunia
memperkenalkan revolusi hijau sebagai lawan dan
alternatif revolusi merah.

Orba yang sejak kelahirannya menganut ideologi ekonomi
kapitalis cenderung melaksanakan pembangunan
pertaniannya melalui by-pass approach (jalan pintas),
yaitu revolusi hijau tanpa reformasi agraria
(pembaruan agraria). Karena itu, pembangunan di
Indonesia oleh Rohman Sobhan (1993) disebut sebagai
development without social transition (Wiradi, 1999).

Perubahan paradigma ini menciptakan missing link dalam
pelaksanaan pembangunan pertanian dari satu periode ke
periode lain. Pertanian tidak lagi dipandang dalam
aspek menyeluruh, tetapi direduksi sebagai sekadar
persoalan produksi, teknologi, dan harga. Tanah
sebagai alas pembangunan pertanian tidak dianggap
sebagai faktor amat penting. Persoalan keterbatasan
lahan petani yang rata-rata hanya memiliki 0,25
hektar, menurut Syaiful Bahari dari Bimas Ketahanan
Pangan, dapat diatasi dengan menempuh non-land based
development (Kompas, 17/1/2004), bukan dengan merombak
dan menata kembali struktur penguasaan tanah yang
lebih adil dan merata melalui reformasi agraria. Cara
pandang seperti ini merupakan cermin jalan pintas yang
mendominasi kebijakan dan strategi pembangunan
pertanian sejak masa Orba hingga sekarang.

Keberhasilan Orba dalam swasembada pangan terutama
beras pada tahun 1986 tidak sepenuhnya dapat dipandang
sebagai kebenaran paradigma dalam meningkatkan
kesejahteraan petani. Beberapa hasil penelitian yang
dilakukan Survei Agro Ekonomi (SAE) dan
lembaga-lembaga lain menunjukkan, justru di saat
produksi beras mencapai titik puncak, jumlah petani
gurem kian meningkat dari 50,99-persen menurut Sensus
Pertanian 1983-menjadi 51,63 persen tahun 1993 dan
berdasarkan sensus tahun 2003 terjadi peningkatan 2,6
persen per tahun. Hasil penelitian di tingkat mikro di
beberapa desa memperjelas keterkaitan antara
kepemilikan lahan, tingkat kemiskinan, dan kerawanan
pangan. Kelompok masyarakat paling miskin dan rawan
pangan di pedesaan adalah petani gurem dan buruh tani.

Lantas ke mana larinya surplus pangan itu? Siapa yang
memetik keuntungan jerih payah petani? Mengapa tidak
terjadi transformasi sosial-ekonomi pedesaan di saat
pertanian telah menciptakan surplus? Kelompok yang
paling diuntungkan selama zaman emas adalah kaum
industrialis. Kebijakan politik-ekonomi Orba
menggunakan surplus pertanian guna menyubsidi sektor
industri lewat politik pangan murah untuk menjaga
stabilitas upah buruh demi mempercepat proses
industrialisasi.

Di beberapa negara seperti China dan Korea Selatan,
strategi itu digunakan. Namun, ketika industri telah
menghasilkan surplus, sebagian keuntungan dikembalikan
lagi ke sektor pertanian. Hal inilah yang tidak
terjadi di Indonesia. Kasus Indonesia, setelah
pertanian diperas habis lantas ditinggalkan. Surplus
industri justru dipakai untuk konsumsi barang mewah,
pembangunan properti, dan sebagian lagi dibawa lari ke
luar (capital outflow). Pertanian hanya ditempatkan
sebagai subordinasi sektor industri sehingga tidak
pernah terjadi transformasi sosial-ekonomi di pedesaan
maupun tingkat nasional.

PERSOALAN pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi
dan produksi, tetapi juga soal daya dukung sektor
pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang
menjadi prasyarat melaksanakan pembangunan pertanian:
(1) akses terhadap kepemilikan tanah; (2) akses input
dan proses produksi; (3) akses terhadap pasar; dan (4)
akses terhadap kebebasan.

Dari keempat prasyarat itu yang belum dilaksanakan
secara konsisten adalah membuka akses petani dalam
kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk
berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam
berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari
kedua hal itu karena dianggap mempunyai risiko politik
tinggi. Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan
pada produksi dan pasar.

Padahal, apabila kita bercermin pada kisah sukses
pembangunan pertanian di Jepang, Thailand, Korea
Selatan, Taiwan, China, dan Vietnam, semuanya tidak
terlepas dan diawali dengan perombakan dan penataan
kembali struktur penguasaan tanah yang timpang melalui
program reformasi agraria. Reformasi agraria sendiri
mencakup redistribusi tanah kepada petani gurem dan
buruh tani, penataan produksi melalui pembangunan
infrastruktur pertanian, fasilitas permodalan dan
teknologi tepat guna, penguatan kelembagaan/organisasi
petani dalam bentuk koperasi atau asosiasi petani, dan
proteksi terhadap produk-produk pertanian.

Keberhasilan negara-negara itu dalam pelaksanaan
reformasi agraria telah memberi landasan kuat guna
menempuh jalan industrialisasi dan transformasi
sosial-ekonomi dalam skala nasional. Dapat dikatakan,
reformasi agraria hingga kini adalah jalan terbaik
bagi negara-negara agraris seperti Indonesia untuk
melakukan transformasi sosial-ekonomi dan membangun
fondasi ekonomi nasional yang kokoh. Sayang, di
Indonesia isu reformasi agraria masih menjadi momok
menakutkan karena dianggap sebagai warisan konflik
berdarah tahun 1965. Selain itu, pemerintah juga masih
amat percaya dengan resep non-land based development
sebagai cara efektif untuk mengatasi krisis pangan dan
sektor pertanian. Kita hanya bisa membanggakan
kesuksesan negara-negara Asia yang disebutkan di atas
tanpa melihat konteks sejarahnya.

Sebenarnya, sudah sejak lama masalah ketimpangan
penguasaan tanah ini terjadi, bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka. Persoalan ini merupakan warisan
kolonial Belanda yang belum pernah terselesaikan
hingga kini. Program land reform yang dilaksanakan
pertengahan tahun 1960-an akhirnya kandas di tengah
jalan seiring perubahan sistem politik dan ekonomi di
bawah Orba.

Jadi, agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu,
tidak ada jalan lain untuk membangun pertanian yang
kuat, kecuali keempat prasyarat yang sudah dijelaskan
di atas harus dipenuhi lebih dahulu. Jangan sampai
kita membangun pertanian seperti membangun rumah di
atas angin, tanpa disediakan alasnya lebih dulu.

Syaiful Bahari Wakil Direktur Eksekutif Sekretariat
Bina Desa

No comments: