Menolong Muslim Eropa
Oleh : Estananto
Estananto
Pengamat, tinggal di Jerman
Tanggal 24 Maret 2004, komisi parlemen Jerman untuk Zuwanderungsgesetz (RUU Imigrasi) pertama Jerman telah mencapai "titik terang" menuju kesepakatan antarfraksi. Di antara hal-hal yang sedang dibahas itu adalah usulan CDU/CSU (Partai Kristen Demokrat/Kristen Sosialis) agar negara diberi hak untuk segera mengusir tersangka pelaku terorisme non-Jerman, tanpa proses pengadilan. Lebih spesifik lagi Guenther Beckstein, Menteri Dalam Negeri Negara Bagian Bavaria dari CSU mengusulkan adanya "Zentraldatei islamistischer Terror" (Pusat Data Teror Islam) yang akan mengumpulkan data-data para tersangka teror dari seluruh negara bagian Jerman (Sueddeutsche Zeitung, 24 Maret 2004). Memang menurut stasiun televisi berita N24, pembicaraan RUU ini dibayangi serangan teroris di Madrid beberapa waktu lalu yang telah memakan korban lebih dari 200 orang. Dengan adanya serangan ini, negara-negara Uni Eropa merasa terancam, karena bahaya sudah datang di tanah air mereka.
Ini bukan pertama kalinya Beckstein memandang "Teror Islam" secara khusus. Pada banyak kesempatan beliau menyebut jilbab sebagai bukan saja lambang agama tapi juga lambang politik, bahkan pemikiran fundamentalis dan lambang penindasan perempuan. Menteri Dalam Negeri di negara bagian yang sering dipuji karena keamanan dan pertumbuhan ekonominya yang baik ini tidak sendirian. Menteri Pendidikan negara bagian yang sama, Monika Hohlmeier, juga dari CSU, mengatakan dengan jelas tentang jilbab bagi para guru sekolah, "Kita tidak boleh membuka pintu sekolah-sekolah kita kepada kaum fundamentalis dan ekstremis" (Sueddeutsche Zeitung, 30 September 2003). Bahkan seorang reporter stasiun televisi BR dan ARD, Simone Schneppensiefen, mendapat "perhatian khusus" dari para pemirsa gara-gara mengenakan kerudung dalam siaran berita. Schneppensiefen harus menjelaskan bahwa saat itu topik berita adalah soal Iran (Sueddeutsche Zeitung, 30 Desember 2003). Bahkan perkara kebiasaan perempuan Muslim untuk berenang terpisah dari laki-laki pun bisa menjadi masalah: di kolam renang Muenchen-Harlaching beberapa orang mengumpulkan tanda tangan menentang hari khusus perempuan di kolam renang itu. Mereka merasa terganggu karena banyaknya Muslimah yang memanfaatkan hari perempuan itu, padahal ada juga perempuan bukan Muslim yang berenang di sana (Program Monitor, stasiun televisi WDR, 8 Januari 2004).
Memang, tidak semua tokoh Jerman berpendapat jelek tentang Islam dan simbol Islam. Salah satu contohnya adalah Kardinal Joseph Ratzinger. Beliau agak tidak setuju dengan pelarangan jilbab, sebagaimana juga dengan wacana seandainya semua simbol agama dilarang di sekolah-sekolah (Sueddeutsche Zeitung, 16 Januari 2004). Ini menjawab pernyataan Presiden Republik Federasi Jerman Johannes Rau pada pesan Tahun Barunya tanggal 29 Desember 2003 yang memicu kontroversi. Rau mengatakan bahwa jika jilbab dilarang dipakai oleh guru-guru sekolah negeri, maka salib dan lain-lain simbol harus dilarang juga. Sebenarnya, perempuan-perempuan berjilbab juga (masih) bebas berjalan di tempat umum tanpa gangguan, masjid-masjid juga (masih) bebas menjalankan segala aktivitasnya termasuk Shalat Jumat. Masih banyak juga orang Jerman yang tidak menunjukkan gelagat buruk terhadap kaum Muslim. Orang-orang Muslim juga masih bebas belajar dan bekerja.
Namun citra buruk Islam yang masih menghinggapi pemikiran banyak politisi sedikit banyak menjadi beban bagi kaum Muslim yang menjadi minoritas. Apalagi jika RUU Imigrasi itu jadi disahkan dan menjadi alat bebas untuk mengusir orang asing yang belum terbukti melakukan aksi terorisme sekalipun. Hal yang menyedihkan adalah, bagaimana mungkin bangsa besar yang melahirkan Johann Wolfgang von Goethe, yang kerap membuat puisi tentang dunia Timur termasuk tentang dunia Islam, ternyata tidak mendapat pengetahuan yang benar tentang Islam dan umatnya. Lebih menyeramkan lagi jika mereka membaca peringatan dari Direktur CIA George Tenet: saat ini ada ratusan "sleeper" Alqaidah di Eropa yang siap melakukan aksinya (Yahoo Nachrichten Deutschland, 24 Maret 2004). "Sleeper" adalah orang yang tampaknya dalam keseharian orang baik-baik, namun suatu saat dengan suatu kode tertentu mereka siap melakukan aksi terorisme.
Pertanyaan menarik adalah: apa yang bisa dilakukan untuk kaum Muslim Eropa yang minoritas itu? Pandangan negatif tentang Islam dan pengikutnya bukan hanya terbentuk saat-saat ini setelah 11 September 2001. Murad Wilfred Hofmann, seorang Muslim asal Jerman mengutip dalam bukunya "Der Islam in 3. Jahrhundert" (Hofmann, 2000) peringatan Ketua Badan Penjaga Konsitusi Jerman, Peter Frisch, tahun 1997: "Ada tanda-tanda bahwa Islamisme dalam abad mendatang ini akan menjadi bahaya besar". Jadi, Islam sudah dianggap setali tiga uang dengan bahaya.
Tidak usah lagi dibahas besarnya peran media. Yang lebih dapat kita lakukan adalah apa yang ada di sekitar kita. Itu telah dilakukan oleh Muslim di kota Goettingen. Mereka telah mengadakan acara dialog dengan mengundang kantor walikota, polisi, dan kalangan gereja datang ke masjid untuk berdialog bersama. Dialog itu tempat di mana semua orang bebas bertanya apa saja tentang Islam yang dijawab saat itu juga. Konon dialog ini telah membantu memperbaiki citra kaum Muslim di sana. Usul yang mirip diungkapkan oleh Joachim Yusuf Huepper. Muslim Jerman yang beristrikan seorang Indonesia itu menawarkan model "partisipasi aktif sebagai alternatif asimilasi" dalam khutbah di depan jamaah Shalat Idul Fitri 1424 H warga Muslim Indonesia-Jerman di kota Muenchen. Konsep ini adalah konsep yang ada di tengah-tengah: tidak larut dalam kehidupan Barat yang berakibat hilangnya identitas keislaman, namun juga tidak terasing dalam kehidupan masyarakat Jerman. Masyarakat adalah manusia biasa yang membutuhkan kehadiran dan pengakuan. Yusuf bahkan lebih jauh mengemukakan contoh: alangkah baiknya jika ada seorang Muslim yang menjadi sukarelawan pemadam kebakaran atau perawat panti jompo. Contoh teladan juga dapat menjadi sarana dialog. Alhamdulillah, pengurus gedung IG Feuerwache, tempat penyelenggaraan Shalat Id tersebut kini malah menaruh kepercayaan kepada Muslim Indonesia untuk memakai gedung untuk setiap Shalat Id karena dinilai disiplin dan bersih.
Tariq Ramadan dalam buku "To be an European Muslim" (Ramadan, 2000) menyimpulkan dua titik ekstrem Muslim yang tinggal di Eropa. Di satu sisi ada Muslim yang hidup tanpa Islam. Mereka meleburkan diri sama sekali dan meninggalkan pertimbangan-pertimbangan keagamaan walaupun masih merasa sebagai Muslim. Di sisi lain, ada Muslim yang tinggal di Eropa namun sebenarnya tidak tinggal di Eropa. Mereka tetap tinggal di tanah air sebelumnya seperti Turki atau Maroko walaupun secara fisik ada di Eropa. Sebabnya, menurut Ramadan, mereka belum mampu membedakan antara pokok-pokok ajaran Islam dan budaya setempat yang timbul sejalan dengan perkembangan Islam di suatu tempat. Dalam praktiknya Ramadan mengajak kaum Muslimin untuk bergerak menuju "Muslim Eropa", yaitu Muslim yang tinggal di Eropa dengan lingkungan Eropa. Ini hanya dapat dilakukan dengan menyesuaikan secara hati-hati fikih yang sudah ada ke dalam bingkai Eropa. Barangkali ini yang dimaksud Azyumardi Azra dalam Resonansi Republika 12 Februari 2004 tentang konsep "Islam Jerman", yaitu Islam dalam konteks Jerman. Ramadan, cucu Imam Hasan Al-Banna, mencoba untuk menunjukkan bahwa konsep "Darul Islam" dan "Darul Harb" sudah usang dan hanya merupakan perumusan ulama terdahulu pada zamannya; kini adalah mungkin seorang Muslim menjadi warga negara yang baik dari sebuah negara Eropa yang sekuler selama kewajiban keagamaannya tidak diganggu.
Menarik juga untuk mengkaji tekad Ketua Umum PBNU dan PP Muhammadiyah dalam sebuah pertemuan tanggal 2 Januari 2002 untuk menampilkan wajah Islam yang damai seraya membimbing kembali kaum radikal. Barangkali tekad ini dapat diwujudkan paling tidak dengan mengirim dai-dai yang membawa pesan Islam damai ini ke Eropa secara teratur. Di Eropa cukup banyak Muslim Indonesia yang menjadi mahasiswa, bekerja, maupun karena pernikahan memilih tinggal di Eropa. Dialog-dialog keagamaan dalam bingkai fikih Islam untuk menuntun kehidupan kiranya menjadi tema menarik. Bagaimana menjelaskan Islam damai ini kepada politisi seperti Guenther Beckstein, kiranya menjadi tantangan berikutnya.