Tuesday, July 26, 2005

Story from corruption jungle (1)

Sorry, in Bahasa Indonesia only.

Assalamu alaikum wr wb
Betul sekali apa yang disampaikan Kang T Djamaludin, Istiqamah itu musti dipertahankan, walaupun harus berkorban, mari tanamkan istiqamah dalam diri kita, istri kita, anak2 kita, saudara kita. kalau lingkungan keluarga sudah bisa menjalankan itu, insya allah sekian keluarga akan menjadi sebuah komunitas yg istiqamah.
Saya sekedar berbagi pengalaman yg saya alami sendiri, dan saya belajar dari kasus ini berkaitan dengan istiqamah
ISTIQAMAH BAGIAN I
(BERHADAPAN DENGAN POLISI SEBAGAI INSTITUSI ATAUPUN OKNUM)
Saya memperhatikan ternyata pengendara kendaraan di Bekasi dan di Bandung itu sangat berbeda, saya melihat di Bandung pengendara bermotor masih takut sama polisi, sampai-sampai saya masih ingat kalau di bandung saya bawa kendaraan yang beliau2 pesankan "hati-hati dan nanti ada polisi", jadi yang harus di perhatikan adalah polisi.
Tapi di Bekasi pengendara bermotor tidak "begitu takut" dengan POLANTAS. Karena saya sering memperhatikan demikian, sering saya melihat (saat itu karena saya baru pindah ke jakarta (bekasi)) dari bandung, pengendara sering melanggar Lampu lalulintas pedahal merah dan ada polisi lagi, saya juga perhatikan lampu lalulintas hanya hiasan saja, bisa dilihat daerah cikarang, tambun, bekasi kota juga ada beberapa. pokoknya di Bekasi itu pengendara kendaraan bermotor byk yg tidak disiplinnya lah.
Suatu pagi saat saya bersama istri mau pergi mengajar (saat itu istri saya masih mengajar dan biasa berboncengan motor dengan saya) di lampu merah UNISMA saya berhenti karena lampu merah menyala pas di marka, tapi dari belakang di klaksonin supaya maju, karena ramai akhirnya saya maju kedepan melewati marka, terus pengemudi merangsek ke depan. akhirnya polisi menilang saya, saat ditilang polisi, lalu dia (polisi) tersebut berkata kepada saya dengan kata2 " mau dibantu mas ?" (maksudnya diselesaikan di situ dengan memberi uang, dan memang yg ditilang tidak hanya saya tapi ada beberapa pengendara dan saat itu banyak yg membayar langsung kepada polisi dengan harga Rp.50.000) tapi saya menolaknya dan minta di proses sesuai prosedur, tapi dia (polisi) menyambung "prosesnya lama mas," saya bilang "gak apa-apa pak" dan memang ternyata sidangnya dilaksanakan hari jumat, terus kita tahu hari jumat itu adalah harinya olah raga (senam) PNS, sehingga pelaksa! naan sidang mepet ke waktunya shalat jumat,(apakah itu adalah kongkalingkong antara polisi dengan pengadilan baik secara individu maupun isntitusi atau bukan = Allahu A'lam rencana buruk manusia)akhirnya tetap saya minta surat tilang dan saya katakan sama polisi itu,"Terimakasih atas kebaikan bapak, saya mau ikut sidang saja nanti dipengadilan", dan dia polisi dengan ketus dan merobek surat tilang "ya sudah, nih," sambil tersenyum saya menerimanya dan langsung menuju motor saat itu istri saya berkata kenapa tidak bayar saja polisinya, saya bilang tidak apa-apa ikut sidang saja, alhamdulillah istri saya mengerti. Pada saat hari H persidangan sata tdk kalah akal, saya datang pagi buta sekali ke pengadilan negeri Bekasi, dan ternyata saat saya turun sudah dihadang polisi berpakaian lengkap seragam, menawarkan jasanya untuk di urusi, dan memang argumen dia,"inikan hari jumat pak nanti bapak ke tinggalan sholat jumat", tapi saya alhamdulillah masih istiqamah, kebetulan saya! pake baju koko karena ada jadwal khutbah. saya lewati polisi di depan, lalu karena baru pertama masuk pengadilan saya bingung, terus bertanya ke meja informasi, ternyata petugas meja informasi pun dengan seragam lengkap sebelum saya berkata2, dia terlebih dahulu sudah bertanya,"mau ngambil SIM pak, saya bantu?" saya hanya tersenyum dan langsung menolak, lalu bertanya dimana ruang sidang, dijawab dengan ketus,"disana!!!" sambil memalingkan muka. Saya akhirnya ke belakang karena harus daftar dan ngambil nomor, masya allah ternyata di dalam ruang pendaftaran sidang banyak petugas, ada polisi berseragam lengkap, ada para pegawai pengadilan mereka berpakaian olah raga, sedang melayani masyarakat yg mau mengambil sim nya tanpa sidang, dengan membayar bervariasi antara Rp. 75.000 sd Rp. 150.000. dan memang ada bukti pembayarannya lagi (aneh). Begitupun saya ditawari juga untuk mebayar langsung, alhamdulillah saya masih istiqamah, dan akhirnya saya mendapatkan nomor urut sid! ang no 1. Pada saat sidang ternyata jalan dimudahkan Allah, hakimnya baik dan saya hanya di denda Rp. 15.000,- jauh dibandingkan dengan saya harus memberi suapan kepada polisi saat ditilang Rp.50.000 (kebetulan surat2 lengkap dan kesalahannya hanya melanggar lampu merah itupun saya dihadapan hakim berergumentasi), dan sidang hanya berjalan 10 menit, jadi sama sekali saya tidak terlambat untuk shalat jumat.
Alhamdulillah.

Dadan Alhadad

Wednesday, July 20, 2005

Indonesia: Biggest energy waster

http://www.thejakartapost.com/detaillatestnews.asp?fileid=20050720164948&irec=2


Indonesia: Biggest energy waster

JAKARTA (Antara): Indonesia has been classified as one of the world's biggest wasters of energy, with low gross domestic product and growth rates despite the huge amount of resources it consumed, an official says.

M.A.M. Oktaufik, head of the energy efficiency division at the Agency for the Assessment and Application of Technology, said Indonesia's energy elasticity, a ratio of energy consumption growth and economic growth, reached 1.84 in 2004, compared toonly 1.69 in Malaysia, 1.16 in Thailand, 0.73 in Singapore, 0.26 in the United States, 0.17 in Canada and 0.10 in Japan.

"It is proven that industrialized countries which are willing to apply energy conservation technologies can save large quantities of energy," Oktaufik said.

On the world energy intensity index, which measures energy consumption against GDP, Indonesia got a score of 400, with Thailand at 350, less than 300 in the United States, and only 100 in Japan, he said.

The higher the numbers, the more inefficient the energy consumption in a country was, Oktaufik said. (**)

Monday, July 11, 2005

London and Srebrenica

London is under attack! On Thursday morning, 7 July 2005 four explosions killed 50 and injured 700 people. This was happened when Prime Minister Tony Blair was in occasion of G8 Meeting in Scotland. He quickly stated that the most probably bombers are "Islamist terrorists" but quickly added that he believes that most of Muslims in England are not to be connected with those terrorists. This is the report of the BBC, and attacks against the mosques are already taking place.
We condolence the victims from WTC 11 September 2001, Bali 12 October 2002, Madrid 11 March 2004, and now London 7 July 2005. Those acts have been condemned by people all over the world and let them be an example how killings replace wisdom and how untrust replaces humanity. But so called "general accusations" - mainly against Muslim and Islamic symbols like woman headscarf - do happen everywhere in Western world as much as accusations against the Western colonial powers in the third world.
There was another atrocity in Europe. In Srebrenica, July 1995, 8,000 Bosnian Muslims lost their lives in the hand of Serb General Ratko Mladic, who is still searched to be brought to international trial. Four days after London bombings, Foreign Ministers of French, Dutch, and UK were present in Srebrenica, to commemorate "the worst atrocity in Europe since World War II". But should we live always in anger, hostility, and revenge?
No, I say. And let's stop this spiral of violence. Soumayya Ganoushi wrote an article about this. And believe me, one question to be answered is "do you love others more, just the same, or less than you love yourselves?"