dimuat di harian Bisnis Indonesia
dan PT Telekomunikasi Indonesia
Teknologi Informasi
Rabu, 16/02/2005
Kabel tembaga sebagai koneksi kecepatan tinggi
Menyongsong TV via kabel telepon
Setelah TV satelit dan TV kabel, kini datang lagi teknologi terbaru televisi: televisi lewat kabel telepon. Ternyata, kabel telepon yang sudah ada pun bisa dimanfaatkan sebagai saluran TV kabel tanpa harus memasang kabel tambahan. Dengan melanjutkan teknologi ADSL (asymmetric digital subscriber line) yang kini menjadi andalan sambungan Internet cepat via kabel tembaga, Microsoft memperkenalkan xDSL-TV, atau juga TV over DSL. Nama resminya IPTV (Internet protocol television).
Adalah Microsoft, perusahaan software pembuat sistem operasi Windows, yang bersama Bluewin telah melakukan test IPTV. Bluewin sendiri adalah anak perusahaan Swisscom, perusahaan telekomunikasi Swiss. Teknologi ini selain di Swiss juga telah diujicobakan di Austria, Perancis, Hong Kong, Inggris, Taiwan, atau Monako. Divisi Microsoft-TV pertama kali memperkenalkan prototipnya di pameran International Telecommunication Union 2003 di Genewa.
Dengan IPTV, dapat disalurkan dari TV gratis hingga pay-TV, juga video-on-demand.
Dengan demikian, berbagai macam fasilitas dapat dimungkinkan untuk dinikmati konsumen: program yang dapat dipilih, navigasi yang lebih baik meliputi daftar gabungan siaran dan on-demand content, penggantian saluran yang lebih cepat dari TV digital yang ada sekarang, hingga perekaman beberapa program acara di hard disk secara paralel.
Microsoft juga menjanjikan keterhubungan yang baik antar peranti karena pertukaran berbagai macam bentuk informasi seperti foto, video, dan musik.
Konsumen bahkan dapat diberitahu segera apabila ada perubahan jadwal TV lewat e-mail atau SMS. Dengan teknologi picture-in-picture pelanggan dapat melihat dua program sekaligus tanpa mengganti lagi.
Rahasia teknologi ini adalah pada teknik kompresi baru, Windows Media 9, yang melampaui teknik-teknik kompresi yang sudah ada. Windows Media 9 lebih baik tiga kali lipat dari MPEG-2 dan dua kali lipat dari MPEG-4. MPEG-2 adalah standar Amerika yang telah diterapkan secara luas sebagai standar kompresi DVD, sedangkan MPEG-4 adalah standar Eropa berdasarkan ITU H.264. Sumber program TV atau video tidak harus satu melainkan bisa banyak jumlahnya melalui sebuah jaringan pita lebar (broadband).
Konsumen harus memiliki set-top-box (STB) yang dijalankan oleh Windows CE.NET 5.0 dan cukup memiliki prosesor Intel Pentium III (933 Mhz) dan chip grafik Intel 830M4.
Menurut majalah computer technik (c't) edisi kedua tahun 2005, kecepatan transmisi dari uji coba Bluewin dan Microsoft ini baru mencapai 1,5 Mbit per detik yang mendekati kualitas DVD.
Walaupun masih terjadi bahwa gambar menjadi kabur ketika gerakan cepat seperti olahraga disalurkan dalam TV, tapi masih banyak peluang yang ada di masa datang.
Penyebab cacat ini masih belum jelas, apakah terletak di teknik kompresi atau lebar pita yang belum cukup.
Di masa datang, transmisi yang lebih cepat seperti ADSL2plus (dengan kemampuan 20 Mbit per detik downstream dan 1 Mbit per detik upstream) atau VDSL (very high speed digital subscriber line) yang berkecepatan sampai 52 Mbit per detik untuk downstream maupun upstream, memberi kemungkinan bagi teknologi IPTV yang lebih baik lagi.
Kabel telepon biasa
DSL sendiri sebenarnya adalah revolusi besar yang berkaitan dengan pemanfaatan sistem kabel telepon konvensional yang dikenal dengan nama public switched telephone network (PSTN).
PSTN adalah sistem telepon menggunakan kabel tembaga mentransmisikan sinyal analog.
Transmisi PSTN dibatasi hingga 3.400 Hz sehingga spektrum frekuensi yang bisa disalurkan lewat PSTN adalah antara 0 dan 3.400 Hz.
Frekuensi maksimal ini setara dengan 56 kbps, dan memang inilah kecepatan tertinggi akses internet non-DSL menggunakan kabel tembaga.
Dalam praktiknya, 56 kbps ini adalah benar-benar kecepatan maksimum, artinya jarang sekali terjadi, diakibatkan ketidaksempurnaan transmisi.
DSL disalurkan dengan merombak batas ini sama sekali. DSL menggunakan frekuensi di atas 3.400 Hz, bisa dalam bilangan puluhan ribu Hz.
Frekuensi yang tinggi mengakibatkan energi yang dihabiskan untuk menyalurkan di dalam kabel juga semakin banyak sehingga mengandung risiko terjadinya atenuasi, lebih besar daripada yang terjadi di frekuensi rendah.
Besarnya energi ini juga mengakibatkan risiko lain yang dinamakan crosstalk, yaitu terpengaruhnya sinyal dalam satu kabel oleh kabel lain yang berdekatan.
Kabel-kabel tembaga untuk sambungan telepon biasanya dibundel dalam satu selubung dan ini memperbesar resiko crosstalk.
Sinyal bisa berubah dari sinyal asli dan ini tentu merugikan.
Kabel telepon itu bisa diandaikan terdiri dari dua ujung. Ujung yang satu ada di pelanggan, dan ujung kedua ada di sentral (CO, Central Office).
Tentu saja semakin dekat ke sentral, semakin banyak kabel yang terbundel, ini mengakibatkan risiko makin tinggi akan terjadinya crosstalk.
Maka untuk mengurangi risiko ini, dipergunakan frekuensi rendah untuk sinyal yang mengalir ke arah sentral dan sebaliknya frekuensi tinggi untuk sinyal yang mengalir ke pelanggan. Inilah prinsip ADSL (asymmetric digital subscriber line).
Dinamakan asimetris karena memang aliran data yang "turun" ke pelanggan (downstream) tidak sama dengan yang "naik" ke sentral (upstream). Biasanya, beda itu sangat besar, misalnya downstream 768 kbps dan upstream 128 kbps.
ADSL & home office
Di Indonesia, PT Telkom telah meluncurkan produk DSL berkecepatan downstream 512 kbps dan upstream 64kbps.
Tentu saja ini seharusnya baru awal, karena (A)DSL memungkinkan kecepatan lebih tinggi lagi, misalnya 3 Megabit per detik (atau 3.000 kbps).
Namun karena pengguna di Indonesia masih sedikit, maka produk ini hanya dapat dinikmati dengan harga relatif mahal.
Untuk layanan Speedy Heavy Metal pelanggan dikenakan biaya Rp.800.000 per bulan dan batasan download sebesar 2 GB. Ini masih lebih mahal daripada layanan Telekom Jerman yang mematok harga sekitar Rp340.000 per bulan untuk volume yang sama.
Namun demikian, prospek ADSL di Indonesia tampaknya akan makin dipicu oleh kemajuan teknologi DSL hingga ke IPTV yang dibahas di atas.
Walaupun penerapan teknologi semacam IPTV di Indonesia tampaknya baru akan diujicobakan ketika pita lebar sudah makin layak pasar, tidak tertutup kemungkinan untuk membuat peluang baru seperti konsep home office.
Home office sangat penting artinya di kota metropolitan seperti Jakarta Raya. Dengan tingkat kemacetan yang tinggi akibat pertambahan kendaraan 350 roda empat setiap hari dan panjang jalan yang hanya 5.000 km, perlu dipikirkan mode lain cara bekerja.
Dengan demikian tumpukan kendaraan di pagi dan sore hari yang menghabiskan energi dan waktu bisa dihemat.
Jika kira-kira seorang karyawan bisa melakukan dua jam kerja di rumah pada saat-saat sibuk lewat jaringan pita lebar berkecepatan 1.000 kbps, dalam waktu satu bulan bisa diselamatkan sampai 40 jam kerja. Belum lagi jika kita menghitung efek polusi udara.
Bagi karyawan perempuan yang mempunyai anak kecil di rumah, teknologi pita lebar akan mampu menolong mendamaikan antara tuntutan naluriah seorang ibu dan tuntutan profesi.
Di Jerman, konsep Heimarbeit ini telah dilakukan di beberapa perusahaan yang juga mempekerjakan para ibu.
Namun tentu saja konsep home office ini membutuhkan proses pembudayaan yang harus dimulai sejak dini. Ini berkaitan dengan pemenuhan target sekaligus konsep kerja mandiri.
Pita lebar dapat menjadi peluang sekaligus peningkat efisiensi kerja di kota besar.
Oleh Estananto Alumnus Teknik Fisika ITB, tinggal di Jerman
© Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited.