Seperti apakah Uni Eropa memandang Indonesia? Ini suatu pertanyaan menarik, baik dari sisi kenyataan bahwa Indonesia adalah negara berpendapatan per kapita hanya sekitar 3000 dollar(jika dihitung dari PPP - Purchase Power Parity), negara Asia Tenggara, maupun negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Indonesia sendiri - sebagaimana yang didefinisikan sejak awal - adalah negara multiras, multikultur, multibahasa, dan multiagama. Itulah sebabnya slogan lama dari pujangga Mpu Tantular di masa kerajaan Majapahit "Bhinneka Tunggal Ika" diambil menjadi semboyan negara. Sebenarnya kalimat ini tidak lengkap, karena mengikuti "Bhinneka Tunggal Ika" masih ada "tan hana dharma mangrwa" yang berarti "tak ada dualitas dalam kebenaran". Maksudnya, agama Siwa dan Budha pada masa Majapahit itu digambarkan sebagai "memang berbeda, tetapi (sebenarnya) satu". Ini mirip sekali dengan pokok pikiran Ibnu Arabi atau Jalaluddin Rumi di dunia Islam. Mereka bukannya mengatakan "semua agama itu sama" dalam pengertian kasar, namun dalam pencarian hakikat kebenaran, ada masa di mana baju-baju eksoteris tertanggalkan. Bukan berarti Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi meninggalkan sisi eksoteris, mereka dulunya pun adalah ahli fikih (hukum Islam).
Kembali ke cita-cita ideal Indonesia, memang sejak awal toleransi antaragama telah dianjurkan. Para Wali di masa Walisongo membangun masjid dengan atap meru mirip candi-candi Hindu, bukan kubah yang diimpor dari Arab. Pengikut Sunan Kudus memilih tidak makan sapi yang disucikan umat Hindu, padahal sapi tentu saja halal dalam Islam. Sunan Kalijogo terkenal dengan tembang-tembangnya yang diiringi dengan gamelan, bukan rebana a la Timur Tengah. Kecuali perang melawan kerajaan Hindu Pajajaran yang bersekutu dengan Portugis di Sunda Kelapa, yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta (yang juga diambil dari bahasa Sansakerta, bukan bahasa Arab!) pada abad XVI, tidak pernah ada perang agama di kepulauan Indonesia zaman kuno. Di Eropa, segera setelah Reformasi Protestan yang dicetuskan oleh Martin Luther, meletus Perang 30 Tahun antara (pengikut) Katolik dan (pengikut) Protestan pada abad XVII.
Perbedaan pengalaman ini juga mengakibatkan perbedaan paradigma. Indonesia dengan kekayaan sejarah itu merasa yakin bahwa koeksistensi damai antaragama dalam sebuah negara dimungkinkan, sementara Eropa dengan pengalaman yang sebaliknya berpendapat satu-satunya jalan untuk koeksistensi damai adalah memisahkan total agama dengan negara. Yang lebih buruk lagi, Eropa memiliki pengalaman panjang baik dengan Arab Muslim maupun Turki Muslim yang menurut mereka pernah mengancam Eropa. Semenanjung Iberia dulu pernah dikuasai oleh kekhalifahan Umayyah selama hampir 700 tahun, bahkan menjadi tempat pelarian bangsawan Umayyah yang dibantai oleh Bani Abbasiyyah di Timur. Sementara kota Wina yang terkenal itu pernah dikepung tentara Turki tahun 1529 dan 1683. Sedemikian mencekamnya ketakutan "Islamisasi" itu, pola pikir negatif tentang Arab dan Turki terwariskan dari generasi dan generasi. Hingga kini citra Islam sebagai agama barbar masih sangat membekas. Kardinal Lehmann, kepala gereja Katolik Jerman, diberitakan telah berkomentar bahwa toleransi yang ditunjukkan kaum Muslim (di Jerman) adalah semu. Edmund Stoiber, Kepala Pemerintahan Negara Bagian Bavaria sampai berujar bahwa jilbab adalah lambang ekstrimisme dan antitoleransi. Ini barangkali adalah akibat dari generalisasi berlebihan tentang pemakai jilbab. Padahal jilbab dan antitoleransi adalah dua hal yang berbeda. Para suster Katolik di gereja pun memakai kerudung rapat yang mirip dengan jilbab. Bunda Maria pun digambarkan memakai jilbab. Islam dengan demikian hanyalah melanjutkan tradisi sebelumnya dan jilbab ternyata bukan sesuatu hal yang baru. Huntington berujar tentang "Clash of Civilization" karena dia menjadi pengamat dari sebuah wilayah yang hampir homogen secara agama. Subyektivitas Huntington tidak bisa dipungkiri karena dia memandang "Barat" dan "Islam" serta "Konfusianisme" sebagai sesuatu yang "quasihomogen" dan memodelkan begitu saja tentang benturan peradaban. Padahal dalam sejarah, bukan agama atau peradaban yang selalu menjadi motivasi perbenturan melainkan kepentingan, walaupun memakai kedok agama dan peradaban. Judul yang tepat dengan demikian adalah "Clash of Interests" yang memang terjadi di manapun dan kapanpun.
Dari pengalaman-pengalaman tadi, dapatlah diperkirakan apa yang sebaiknya mendasari hubungan Uni Eropa dan Indonesia di masa datang. Indonesia seharusnya tidak malu-malu lagi membawa identitas Muslim Asia Tenggara yang serumpun dengan Malaysia dan Brunai, yang ciri-cirinya benar-benar berbeda dengan Muslim Arab maupun Turki. Benar bahwa Kitab Suci semua sama, bahkan hingga ibadah (karena memang ada hadis Nabi yaitu "Sholluw kama roaytumuniy usholliy" - shalatlah sebagaimana aku shalat), namun proses kesejarahan yang berbeda membuat penekanan keberagamaannya juga berbeda. Uni Eropa juga harus meninggalkan paradigma lama yang cenderung menggeneralisir itu. Semakin banyak pengamat Eropa yang berkecimpung dalam penelitian keislaman di Indonesia seharusnya membuahkan kesimpulan, bahwa konflik agama yang meletus setelah tahun 1998 sebenarnya adalah konflik kepentingan, misalnya masalah kesenjangan sosial antara pendatang dan orang asli atau kebijakan pemerintahan daerah yang dianggap kurang aspiratif. Akhirnya memang, suatu dialog yang lebih intensif dalam wilayah agama dan kebudayaan harus diupayakan.