| ||
| ||
Suasana Ramadan di Jerman ”OKELAH kalau kalian tidak mau makan, tapi mengapa kalian juga tidak minum? Bukankah tidak minum dalam sehari akan membahayakan kesehatan?” ** SEJUMLAH jemaah mendengarkan penceramah pada pengajian rutin yang diadakan selama bulan puasa menjelang shalat Ashar di Mesjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat, Rabu (6/11). Hiruk pikuk renovasi mesjid yang sedang berlangsung, tidak mengurangi kekhusuan jemaah mesjid yang mengikuti pengajian tersebut.* BARANGKALI kita di Indonesia tidak pernah mendengar pertanyaan di atas. Akan tetapi, bersiaplah jika suatu saat Anda sempat menunaikan ibadah saum Ramadan di negara yang mayoritas penduduknya tidak mengenal Islam secara rinci, seperti di Jerman ini. Bahwa ada bulan suci Islam bernama Ramadan mungkin banyak orang tahu. Akan tetapi, bahwa di dalamnya umat Islam diwajibkan berpuasa mungkin banyak yang belum mengerti benar. Maklumlah, kaum Muslimin sangat minoritas di sini, hanya kurang lebih 4 juta orang dari 88 juta rakyat Jerman. Lebih sedikit lagi jumlah kaum Muslimin yang masih mau menjalankan syariat seperti salat dan saum di bulan Ramadan. Penyebab keengganan sebagian orang ini beraneka ragam: ada yang hanya malas tapi masih yakin itu wajib bagi dirinya, ada yang menganggap cukup dalam hati saja, adapula yang menganggap ibadah seperti salat lima waktu atau saum bulan Ramadan itu pekerjaan orang fanatik”. Padahal, kalau Ramadan jatuh di bulan November atau Desember, siang hari akan lebih pendek. Tahun ini imsak jatuh pada pukul 5 pagi dan magrib jatuh pukul 5 sore. Akan tetapi, suasana Ramadan di masjid-masjid maupun komunitas orang Islam dari berbagai bangsa di Jerman ini alhamdulillah masih sangat terasa. Secara garis besar, masjid-masjid di Jerman dapat dibagi menjadi dua: masjid berbahasa Turki dan masjid berbahasa Arab. Ada beberapa masjid lain yang dimakmurkan oleh orang-orang Bosnia atau Pakistan, tetapi jumlahnya tidak banyak. Orang-orang Turki hadir di tanah Jerman tahun 1950-an, ketika itu Jerman membutuhkan banyak tenaga kerja untuk membangun kembali negerinya dari reruntuhan Perang Dunia II. Kemudian banyak yang menjalankan usaha dagang sambil menetap. Sementara itu, orang Arab kebanyakan datang untuk menjadi mahasiswa atau bahkan sebagai pengungsi dari Afrika Utara. Masjid-masjid ini biasanya menyediakan hidangan buka puasa bersama. Ada yang tiap hari, adapula yang tiap akhir pekan. Orang Indonesia, apalagi para mahasiswa, akan dengan senang hati datang tepat waktu di masjid-masjid tersebut untuk melakukan ifthar (buka puasa). Akan tetapi, jangan kaget karena porsi orang Turki maupun orang Arab itu berlipat-lipat kali dari porsi orang Indonesia. Hidangan sudah disediakan di nampan-nampan dan siap untuk disantap. Para mahasiswa yang masih ”pemula” biasanya menderita kekenyangan di hari-hari pertama. Maklumlah, rasanya tidak enak untuk meninggalkan sisa makanan, kan sudah gratis. Beberapa dengan malu-malu hanya minta porsi anak-anak yang porsinya hanya separuh porsi dewasa. Makan-makan ini dilakukan setelah salat magrib berjamaah. Masyarakat Indonesia pun tidak mau kalah mengamalkan penyediaan buka puasa yang menurut hadis Nabi saw pahalanya sama seperti orang yang berpuasa ini. Justru karena jauh dari Tanah Air (15 jam naik pesawat terbang!) kerinduan untuk beribadah bersama dan menikmati masakan khas Indonesia makin mengental. Di Kota Karlsruhe, tempat penulis pernah menjadi mahasiswa sejak tahun 1999 hingga 2001, masyarakat Indonesia bergiliran menyediakan hidangan berbuka di rumah masing-masing. Biasanya yang mengundang adalah para keluarga dan yang diundang adalah para mahasiswa. Misalnya, ada tiga keluarga di daerah X secara berpatungan mengundang 20 orang untuk berbuka. Lalu kali lain lima keluarga lain di daerah Y juga mengundang. Tentu saja 20 orang ini tidak datang sekaligus, tetapi bergiliran sesuai dengan daya tampung apartemen keluarga pengundang. Di Jerman, apartemen berukuran 60 meter persegi saja sudah termasuk luas. Namun, tentu saja dalam memasak harus diperhatikan pula faktor bau masakan. Ini karena tidak semua dapur di apartemen-apartemen tersebut dilengkapi dengan alat penyedot asap sehingga bisa jadi merembes ke luar. Nah, sebagian besar tetangga Jerman mungkin bisa mengerti bau masakan Asia yang khas menyengat bumbu rempah-rempah, namun sebagian kecil akan mengeluh atau bahkan bisa jadi memanggil polisi. Paling tidak sekali atau dua kali dalam bulan Ramadan, IkMIK (Ikatan keluarga Muslim Indonesia Karlsruhe) mengadakan buka puasa bersama. Biasanya acara diadakan di sebuah ruangan besar, mungkin di aula universitas atau ruang bersama asrama mahasiswa. Pengurus IkMIK membagi tugas pada masing-masing keluarga untuk memasak: siapa yang masak nasi, siapa yang masak soto, siapa yang membawa kerupuk, dan lain-lain. Adapun para bujangan biasanya mendapat tugas membeli minuman botol. Acara buka puasa bersama ini bisa dihadiri 50 orang dan dilengkapi dengan ceramah dan shalat tarawih berjamaah. Acara semacam ini tentu lebih meriah di kota-kota yang ada perwakilan RI, misalnya Berlin, Hamburg, dan Frankfurt. Kemudian tentu saja salat tarawih berjamaah. Mengerjakan salat berjamaah di masjid-masjid Turki mengingatkan saya pada salat tarawih di beberapa masjid di Indonesia: jumlah rakaatnya banyak tetapi mengerjakannya seperti olah raga karena cepatnya. Namun, adapula masjid-masjid yang menyelenggarakan salat tarawih yang dibacakan satu juz Alquran sehingga yang rajin mengikutinya akan dapat mengkhatamkan Alquran. Ini mengingatkan saya pada tarawih di pesantren-pesantren di Indonesia. Beberapa masjid pun membolehkan jamaah untuk itikaf di hari-hari akhir bulan Ramadan. Kala Ramadan mendekati akhir, tidak ubahnya seperti di Tanah Air, di Jerman pun masyarakat bersiap-siap membuat acara silaturahmi. Salat Idulfitri di sini tentu saja tidak mungkin dilakukan di lapangan, bahkan takbir tidak boleh dilakukan keras-keras dengan pengeras suara karena dianggap mengganggu lingkungan. Biasanya salat Idulfitri dilakukan di masjid-masjid atau aula yang luas seperti lapangan olah raga yang tertutup. Karena keterbatasan tempat, banyak juga masjid yang hanya menerima jamaah laki-laki untuk shalat Idulfitri. Untuk memecahkan masalah ini, ”masjid agung” Freimann di Muenchen (Munich) membuat tenda-tenda di halaman untuk jamaah laki-laki dan membuka masjid untuk jamaah perempuan. Akan tetapi, di bulan Desember 2001 itu, suhu udara pada saat pelaksanaan salat Idulfitri itu 10 derajat di bawah nol. Jadi, kami di tenda-tenda mengerjakan salat Idulfitri sambil menggigil, walaupun sudah disediakan pemanas udara. Karena Idulfitri di Jerman bukanlah hari libur nasional, kalau Lebaran tidak jatuh pada akhir pekan, orang harus bekerja atau masuk kuliah selepas salat Idulfitri. Oleh karena itu, silaturahmi diadakan beberapa hari setelah salat Idulfitri, dengan menghadirkan masakan khas Indonesia seperti ketupat dan lontong. Kalau daun pisang sulit didapat, plastik jadilah. Daun kelapa sudah hampir pasti sangat susah didapat di sini. Namun, lontong tetap hadir bersama opor dan teman-temannya. Hanya satu yang kurang, keluarga yang jauh di Tanah Air. Sebagai penggantinya, orang kemudian menelefon sanak famili setelah salat Idulfitri atau bahkan mengirim kartu lebaran lewat Isnet (Islamic Network - jaringan pengajian Indonesia di mancanegara). Di mana pun kita berada, mudah-mudahan kita tidak hanya mendapat lapar dan hausnya puasa. Mudah-mudahan kita termasuk golongan sedikit yang mampu menjinakkan hawa nafsunya dan meninggalkan Ramadan dengan sedih hati. Mudah-mudahan pula kita nanti termasuk orang yang kembali ke fitri. Amin. (Estananto, mantan anggota Lembaga Kemahasiswaan Salman ITB, tinggal di Munich, Jerman) |
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1102/07/0106.htm