Hubungan Islam dan Barat, Catatan dari Jerman
Kebersamaan, Dialog, dan Inisiatif untuk Maju
Oleh ESTANANTOBALI, 12 Oktober 2002, ledakan bom berkekuatan dahsyat mengguncang Legian, Bali, mengakibatkan 183 korban tewas dan ratusan luka-luka. Sebagian besar korban adalah turis asing dan berita tragedi ini dengan cepat menjadi headline media massa dunia. Berbagai spekulasi muncul ke permukaan. Dari Al-Qaeda hingga Jamaah Islamiyyah. Dari CIA hingga Yahudi. Bahkan kelompok prointegrasi Timor Timur pun sempat menjadi sasaran dugaan sebagian orang. Akan tetapi jelas, dalam suasana dunia serba tak menentu setelah tragedi 11 September 2001, emosi manusia yang campur aduk di seluruh belahan dunia tidak menyisakan waktu bagi kita untuk berintrospeksi, merenung, menelaah apakah pesan sebenarnya di balik peristiwa-peristiwa yang susul-menyusul itu. Dari para korban serangan World Trade Center (WTC) hingga korban serangan Israel di daerah pendudukan. Dari Presiden George W. Bush yang garang hingga Presiden Megawati yang pemalu. Jangan lupakan juga, Osama bin Laden yang mendadak sontak menjadi manusia paling terkenal di muka bumi. Air bah informasi yang membanjir seolah menenggelamkan seluruh akal sehat kita yang disebut-sebut sebagai makhluk cerdas, homo sapiens, ini. ** HANYA satu hari setelah tragedi di Legian, stasiun televisi Jerman ZDF, menyiarkan siaran eksklusif tentang musibah tersebut. Yang mengejutkan, pembawa acara di awal program menyitir sebagian ayat Alquran: "Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka" (Al-Baqarah: 191). Sempat perasaan penulis bergejolak, mengapa pembawa acara yang bukan ahli keislaman di Jerman berani mengutip ayat yang sebetulnya berakhir dengan, "Kemudian jika mereka berhenti (dari penganiayaan/ permusuhannya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"? Dengan memotong ayat tersebut, pemirsa seolah-olah digiring bahwa Islam menganjurkan pembunuhan semena-mena. Lagipula, seandainya benar pelaku pengeboman adalah Muslim radikal, bukankah tindakan itu tidak dibenarkan oleh agama Islam sendiri dan tindakan itu tentulah dikecam oleh 99% umat Islam Indonesia? Sang pembawa acara tidak sendirian. Setahun sebelumnya, beberapa saat setelah tragedi 11 September, kebetulan penulis membaca kolom surat pembaca di koran Sueddeutsche Zeitung (sebuah surat kabar terkemuka di Jerman) dan mendapati tulisan yang mengutip "ayat-ayat pembunuhan dan perang" dari Alquran. Di akhir surat ditambahkan, "Saya tidak percaya Islam artinya perdamaian.” Ketika penulis cek langsung di Alquran, beberapa ayat yang ditulis di kolom itu salah nomor surat dan ayat dan beberapa lagi dipotong-potong sehingga hilang konteksnya. Sayang sekali, tanggapan yang penulis kirim ke Sueddeutsche Zeitung tidak ditanggapi. Penulis, setelah peristiwa 11 September, mendengar sendiri nada melecehkan dari seorang guru bahasa Jerman di sebuah kursus bahasa Jerman ternama yang sempat penulis ikuti. Sang guru berkata, ini bukti bahwa Islam itu sangat berbahaya, gefdhrlich. Sejak 11 September pula, di Amerika Serikat bermunculan serangan terhadap Islam, misalnya yang dikatakan oleh Jerry Falwell yang baru-baru ini mengatakan "Muhammad adalah teroris". Sebelumnya Pat Robertson yang mengatakan "Muhammad adalah perampok" dan Franklin Graham yang menyebut "Islam is a very evil and wicked religion". Mereka itu sudah sepantasnya digolongkan sebagai fundamentalis Kristen yang juga berbahaya bagi perdamaian dunia (Newsweek, 21 Oktober 2002). Di lain sisi, penulis pernah menghadiri sebuah pengajian, dengan narasumbernya mengatakan, salah satu ancaman Yahudi dan Nasrani dalam ayat 120 surah Al-Baqarah adalah sekulerisme yang merupakan rekayasa untuk menghancurkan umat Islam. Sebenarnya analisis seperti ini pernah penulis baca di beberapa majalah keislaman yang beredar di kalangan mahasiswa. Penulis berpikir, seandainya beliau pernah mempelajari sejarah munculnya sekulerisme yang justru menantang gereja sebagai personifikasi agama, barangkali beliau akan berpendapat lain. Kadang kala semangat untuk melawan membawa kita ke kesimpulan yang kurang tepat. Kita pun sering terlupa bahwa Nabi Muhammad saw. selalu menghormati hubungan antarmanusia, bahkan yang berbeda agama sekalipun. Tidak hanya dengan yang masih hidup, bahkan yang sudah mati. Beliau pernah bangkit untuk menghormati jenazah orang Yahudi yang lewat di hadapan beliau. Ketika seorang sahabat beliau menegur dengan mengatakan, "Ya Rasulullah, dia itu Yahudi". Maka Rasul yang mulia menjawab, "Bukankah dia itu manusia?" (Hadis Bukhari). Indah sekali kehidupan jika kita mengaturnya dengan bijak. Perang hanya di saat perang, namun condonglah ke perdamaian. Hukum perang tentu saja berbeda dengan hukum damai, maka sendainya kita memandang Alquran sebagai "buku kehidupan" dan bukan teks mati yang hanya bisa ditafsirkan kata per kata, barangkali kesimpulan kita akan menjadi lain. Adapula seorang kenalan, seorang Muslim Jerman yang bertanya, mengapa setelah tragedi 11 September di Indonesia banyak orang yang bangga mengusung poster Osama bin Laden, bahkan banyak T-shirt bergambar Osama bin Laden dijual di pinggir jalan. Ini menggambarkan bahwa Osama bin Laden yang di negara-negara Barat menjadi sasaran kemarahan, di Indonesia malah menjadi tokoh idola. Ini yang menjadikan kenalan ini sulit menjawab pertanyaan dari teman-teman sebangsanya, yaitu bukankah itu bukti bahwa Islam mengesahkan terorisme? Kelihatannya memang polarisasi yang terjadi telah sedemikian lebarnya. Beberapa pengalaman di atas seolah melambangkan betapa perasaan curiga tanpa henti antara masyarakat Barat dan kaum Muslimin terus membayangi. Betapa tidak, kita belum pernah menjumpai adanya niatan serius untuk membangun dialog antara dua peradaban besar. Masyarakat barat --terutama lewat media massa-- cenderung mengasosiasikan Islam sebagai agama imigran dan primitif, masih belum berubah dari abad yang lalu. Sementara sebagian kaum Muslimin juga masih gemar melakukan generalisasi terhadap masyarakat Barat dengan teori-teori rekayasa Yahudi. Mungkin dapat dimaklumi bahwa kebencian terhadap Yahudi berawal dari pelanggaran HAM yang berkali-kali dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina sejak awal berdirinya negara itu tahun 1948. Namun, seandainya kita objektif terhadap keadaan kita sendiri, barangkali kita akan lebih giat membangun. Mengapa Israel berani menguasai tanah Palestina karena negara-negara Arab belum mampu menang atas Israel. Negara-negara Arab ini tidaklah miskin. Beberapa di antara mereka mempunyai cadangan minyak dalam jumlah sangat besar. Banyak di antara pemuka negara mereka yang hidup dalam kemewahan dan menanamkan saham di Amerika dan Eropa. Jumlah total investasi Arab di Amerika saja diduga 700 miliar dolar AS. Jika dibandingkan jumlah utang Indonesia yang bagi kita sudah tidak tertanggungkan "hanya" sebesar 150 juta dolar AS, tentulah jumlah ini sangat besar. Dengan demikian patutlah dipertanyakan, mengapa dunia Arab yang sedemikian besar dan kaya bisa dikalahkan? Hikmah apakah yang bisa kita ambil dari sini? Sayang sekali, tafsiran kita tentang ayat-ayat Alquran ternyata sama sekali lepas dari konteks. Pada masa Nabi Muhammad saw., senjata paling ampuh adalah panah dan pedang dan kendaraan paling bagus untuk bertempur adalah kuda dan unta. Semuanya hanya membutuhkan hitungan hari untuk mempersiapkannya sehingga ketika musuh akan menyerang, mobilisasi dapat dilakukan dengan cepat untuk menghalau musuh. Namun kini mungkin kita lupa, 200 rudal nuklir milik Israel tentunya dibangun selama bertahun-tahun dengan investasi dana dan waktu yang tidak sedikit. Persenjataan canggih seperti pesawat tempur atau tank Merkava yang konon tercanggih di dunia dikembangkan secara hati-hati, melibatkan banyak tenaga ahli, dan tentunya harus dengan manajemen yang rapi. Dulu orang bertempur dengan pedang, sekarang orang bertempur dengan efisiensi dan teknologi tinggi. Oleh karena itu, jika negara-negara Arab benar-benar ingin berjuang membela Palestina, seharusnya benar-benar dimulai dari diri sendiri sesuai pesan nabi untuk selalu memulai dari diri sendiri. Misalnya, struktur ekonomi yang lebih merata dan kuat. Pendidikan dan perbaikan akhlak rakyat dan yang tak kalah penting: manajemen yang lebih baik. Bom bunuh diri para pejuang Palestina seharusnya membuat kita introspeksi atas kenyataan ini, bukannya malah membuat kita bangga. Mereka menempuh jalan itu hanya karena semata-mata tidak ada jalan lain untuk membela tanah air dan bangsa mereka. Mereka tidak dapat serta-merta disalahkan walaupun dalam sejarah fikih Islam belum pernah ada contoh demikian. Seandainya mereka memiliki senjata dan keahlian yang sama dengan tentara Israel, tentulah mereka memilih bertempur lawan tentara daripada meledakkan bom dalam bus umum. Kegagalan bangsa Arab sebagai front terdepan Palestina membawa akibat negatif tidak saja bagi bangsa Arab, namun juga Muslimin pada umumnya. Di Indonesia, masalah Palestina langsung atau tidak langsung masih memengaruhi pola pikir kita sehingga mengacaukan agenda prioritas yang seharusnya dilakukan. Kita masih terpaku pada hal-hal yang sifatnya simbolis dan jangka pendek sebagai analogi dari Palestina vs Israel. Umat masih selalu dihantui perasaan tidak berdaya, yang teraktualisasi dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan panas. Penulis teringat analisis Nurcholish Madjid dalam Pintu-pintu menuju Tuhan yang memaparkan hubungan antara keberdayaan dan pola pandang. Di abad pertengahan, ketika Muslimin jaya, mereka memiliki kepercayaan diri dan memandang kaum Yahudi dan Nasrani sebagai yang dilindungi. Namun kini, krisis harga diri Muslimin berimbas pada munculnya berbagai teori konspirasi, pembenahan diri kaum Muslimin, yang meliputi negeri-negeri Muslim dan orang perseorangan, patut mendapat prioritas. Dalam masa-masa ini adalah tepat jika K.H. Abdullah Gymnastiar mengajak Muslimin untuk belajar menghayati kebersamaan, juga dengan umat beragama lain. Beliau juga tak pernah lupa menganjurkan agar selalu memulai dari diri sendiri, bukan menyalahkan orang lain. Kita butuh 1000 Aa Gym lagi karena jika hanya beliau yang mau mengampanyekan pandangan-pandangan introspektif, beliau tidak akan punya cukup tenaga dan waktu mengingat kompleksnya permasalahan. Pembangunan diri Muslimin, mencakup tingkah laku dan aspek manajerial adalah lebih mendesak dari sebelumnya. Hanya dengan jalan demikianlah, Muslimin dapat memperbaiki dirinya, dengan izin Allah. Tidak bisa Muslimin berharap kepada sesuatu selain Allah, tidak kepada bangsa Eropa, tidak kepada Amerika. Namun, kita butuh lebih dari itu. Jika dunia menginginkan perdamaian, haruslah dibangun sebuah hubungan berasas kesetaraan dengan semangat dialog yang baik pula. Ketidakadilan yang dikenakan dunia atas hubungan Israel-Palestina haruslah ditinjau kembali. Israel harus diperlakukan sama dengan yang lain dan tidak dibiarkan begitu saja melanggar resolusi demi resolusi Dewan Keamanan PBB. Kemudian, yang tak kalah pentingnya adalah dimulainya kembali inisiatif serius dialog antara (peradaban) Islam dan barat. Sebenarnya "Islam" yang dimaksud sebagai mitra dialog di sini bukanlah Islam sebagai agama, namun sebagai peradaban, demikian pula barat. Kita sering menganalogikan barat sebagai "Kristen", padahal yang sesungguhnya peradaban barat adalah sintesis yang aneh antara ajaran Kristen dan sekulerisme. Kedua ajaran besar ini pernah saling bertempur, namun ternyata ajaran Kristen tetap dibutuhkan sebagai moralitas --tapi belum sebagai spiritualitas-- untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan sekulerisme-materialisme. Kita bisa berkaca pada Muhammad Iqbal, penyair dan filosof Pakistan terbesar abad XX. Beliau tidak segan-segan berdialog-- walaupun lewat tulisan-- dengan peradaban barat dalam karyanya "Reconstruction of Islamic Thought". Atau kepada Annemarie Schimmel, profesor pada Universitas Bonn yang menjadi pakar tasawuf. Tak terbilang banyaknya buku yang lahir dari tangan Schimmel sebagai seorang Jerman yang dapat menerbitkan kekaguman kepada dimensi mistis dari Islam. Kurangnya keinginan baik untuk berdialog tercermin pada keengganan media massa Jerman untuk mewawancarai Schimmel yang mewakili pandangan damai terhadap Islam di jajaran akademisi barat ketika pecah tragedi 11 September. Penulis hampir tidak menemukan tulisan atau wawancara dengan Schimmel di televisi ataupun surat kabar dalam setahun terakhir. Pada generasi sebelumnya dapat ditemukan Johann Wolfgang von Goethe yang gemar membaca gubahan puisi Sa'di (penyair Persia) dan Jalaluddin Rumi (sufi dari Turki). Goethe bahkan menulis karya tersendiri yang di dalamnya dapat dibaca apresiasi beliau terhadap ajaran Islam, misalnya West Oestlicher Divan. Jauh sebelumnya kita dapat menemukan jejak-jejak pemikiran cikal bakal peradaban barat dalam khazanah intelektual Islam, misalnya karya-karya Plato dan Aristoteles. Bahkan, dalam sejarah dikenal bahwa peradaban Islam di saat kejayaannyalah yang menyelamatkan literatur Yunani Kuno dari kepunahan. Jadi dialog antara Islam dan barat sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Bukankah hikmah adalah hak Muslimin dan pungutlah hikmah itu di mana saja kamu dapatkan?" Nasib Muslimin dewasa ini, yang sebagian besar berada di daerah periferi (pinggiran) peradaban dunia, tentu tidak boleh menggiring kita ke optimisme berlebihan -- atau sebaliknya -- pesimisme berlebihan. Optimisme berlebihan dapat dibaca pada ide untuk melawan segala yang berbau barat dengan segala cara, sedangkan pesimisme terlihat dari keengganan untuk membangun kembali apa yang kita punyai hari ini. Tariq Ramadan, dalam bukunya To be a European Muslim, menganjurkan agar kita berani memilah-milah antara hal-hal yang fundamental dan hal-hal yang dapat diperbaharui. Hal-hal yang fundamental dapat dilihat pada Alquran dan Alhadis, sedangkan hal-hal yang dapat diperbarui adalah hasil interaksi dengan kehidupan kaum Muslimin. Dengan kembali ke sumber-sumber asal, Ramadan menunjukkan bahwa banyak konsep baku yang sebenarnya bukan primer seperti konsep darul harb dan darul Islam. Walaupun buku ini ditulis untuk menjawab pertanyaan apakah seorang Muslim dapat menjadi Muslim yang baik seraya menjadi setia kepada negara Eropa di tempat ia menjadi warga negara (banyak pengungsi yang datang di Eropa Barat adalah Muslim dari Afrika Utara dan Turki), gagasan Tariq Ramadan masih relevan untuk membangun jalan tengah bagi kaum Muslimin. (Akan tetapi, di saat yang sama beliau juga mengingatkan syarat-syarat seorang mujtahid yang tetap tidak bisa sembarangan). Dengan adanya perbaikan dari dalam diri Muslimin dan di saat yang sama juga dialog yang lebih baik dengan peradaban barat, kita optimistis bahwa gerak maju masih dapat diharapkan. Bukankah amal yang terus berlanjut dan dilakukan dengan baik walaupun sedikit lebih disukai daripada amal yang banyak, tapi dilakukan secara sembarangan?*** Penulis adalah Warga Negara Indonesia, tinggal sementara di Jerman) |