Indonesia impian Presiden impian
Sang Presiden telah terpilih.
Setelah melewati dua tahap pemilihan Presiden langsung pertama di Indonesia, akhirnya sang Presiden (dan wakil Presiden) dinyatakan sebagai pemenang. Melalui pelantikan yang sederhana sang Presiden langsung mengumumkan susunan kabinetnya, yang sebagian sudah
didesas-desuskan di internet. "Tidak perlu acara pelantikan a la Amerika," kata sang Presiden, "Kami bukan pasangan pengantin yang sedang berpesta, kami adalah pasangan yang langsung ada di tengah-tengah medan tempur!" Para menteri ini dipilih bukan hanya karena mereka ahli di bidangnya, melainkan berkemauan keras dan menguasai betul medan tugasnya. Beberapa di
antara mereka adalah birokrat berpengalaman namun ada juga yang merupakan politisi. Namun mereka semua bersih, paling tidak tidak ada catatan hukum yang muram di riwayat hidup mereka.
Tapi bersih saja tidak cukup. Pemerintahan yang baru ini harus berkonsep, dan bertenaga. Sang Presiden dan Sang Wakil Presiden langsung membuat rencana resmi reposisi TNI dalam kehidupan bernegara, menuju profesionalisme tentara. TNI tidak boleh dirusak citranya hanya oleh "pragmatisme pembangunan". Sang Presiden tahu betul, paling tidak menurut data yang
dikemukakan Prof. Juwono Soedarsono, hanya 30%-40% anggaran TNI yang diberikan negara. Sedangkan 60% hingga 70% anggaran itu harus dicari sendiri. Alangkah anehnya. Kalau Oerip Soemohardjo, salah satu pendiri TNI, dulu berkata "Aneh, suatu negara tanpa tentara",
maka kalau beliau masih hidup mungkin komentar beliau akan berbunyi, "Aneh, suatu tentara tanpa biaya negara". Kalau negara tidak ingin tentaranya hanya menjadi pengawal konglomerat atau backing pengusaha (baik kecil maupun besar), maka negara harus memikirkan serius masalah ini, karena tentara toh manusia juga. Ini adalah investasi jangka panjang untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa.
Tetapi, buat apa sesungguhnya tentara? Beberapa waktu yang lalu, seorang komandan Angkatan Laut Amerika melontarkan ide agar pihaknya diberikan kesempatan juga "menjaga keamanan" Selat Malaka yang katanya banyak dihuni bajak laut. Itu baru di "pinggir"
perairan Indonesia. Arif Satria, staf dosen IPB Bogor punya data lain: sekitar 1,9 miliar dollar Amerika (bukan rupiah!) kerugian yang dialami akibat pencurian ikan dari perairan Indonesia. Besar kerugian ini bahkan hampir sama besarnya dengan total ekspor produk perikanan Indonesia. Ini diakibatkan oleh kacaunya masalah perizinan, keterbatasan peralatan TNI-AL, dan - seolah menjadi klise - kongkalikong dengan oknum petugas Indonesia sendiri (Suara Pembaruan, 2 Juli 2004). Laut adalah hajat hidup bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Kekayaan laut Indonesia dari sumber daya hayati maupun non-hayati luar biasa besarnya, dan laut pulalah yang menghubungkan ribuan pulau di Indonesia. Di atas laut pulalah berlalu lalang kapal-kapal niaga maupun angkutan yang menjadi urat nadi perekonomian dunia. Sudah seharusnya Indonesia berjaya di laut dan berdaulat penuh atas kekayaan yang ada di dalamnya,
serta berperan aktif menjaga kesinambungan dan kelestarian alamnya.
Sang Presiden menempatkan laut sebagai sumber utama kebangkitan ekonomi Indonesia. Maka dia memulai dengan revitalisasi perangkat keamanan laut (perundang-undangan, TNI-AL, polisi laut, bea cukai, kejaksaan, pengadilan) menjadi salah satu prioritas utama. Perizinan gelap harus dibasmi dan kerjasama harus segara dilakukan dengan negara-negara tetangga untuk menanggulangi pencurian ikan oleh nelayan-nelayan dari wilayah mereka. TNI-AL harus
memiliki 15 buah pesawat intai laut yang dimodifikasi dengan perlengkapan avionik modern dari CN-235 buatan dalam negeri, juga 50 helikopter baru yang memungkinkan operasi di hampir setiap titik perairan Indonesia. Doktrin pertahanan TNI diubah menjadi doktrin pertahanan laut (dan udara) menggantikan sistem pertahanan darat tradisonal. Usaha-usaha perikanan terus didorong dan didukung, baik usaha kecil maupun usaha besar, dengan target peningkatan produk nonmigas menggantikan produk migas. Sang Presiden membuat langkah khusus untuk melindungi nelayan tradisional, terutama perikanan lepas pantai,
yaitu dengan melibatkan secara aktif institusi lokal dalam mengelola sumberdaya. Ini dilakukan di bawah payung otonomi daerah. Untuk usaha perikanan besar yang membutuhkan investasi, sistem kuota seperti di negara-negara Barat diberlakukan dengan transparan.
DPR dan LSM juga dilibatkan untuk menjamin transparansi, terutama untuk menjaga kelestarian bahari. Pengolahan produk perikanan dilakukan dengan mengundang tenaga ahli dalam negeri dan investor lokal maupun asing. Ini adalah pasar yang luar biasa dan
menguntungkan. Wisata bahari Indonesia dikembangkan dan menjadi primadona di samping wisata budaya.
Masih ada hantu lain yang harus diselesaikan oleh sang Presiden, yaitu pengangguran dan pendidikan nasional. Teori liberal klasik mengajarkan, negara harus menarik investor asing sebanyak-banyaknya - seperti yang dilakukan oleh Republik Rakyat Cina - dan dengan
masuknya modal asing itu diharapkan banyak tenaga kerja akan terserap. Namun di tengah persaingan antarnegara untuk merebut investasi tersebut, Indonesia sangat memprihatinkan: sementara negara-negara ASEAN lain mengalami modal langsung asing masuk, Indonesia malah menderita modal keluar sebesar 1,17 miliar dollar Amerika pada paruh pertama
2002. Ini menunjukkan beratnya posisi Indonesia di tengah negara-negara tetangga lain yang situasi politik-ekonominya lebih stabil. Indonesia masih dalam transisi demokrasi dan ini sangat tidak menguntungkan dari sudut pandang investasi luar. Sang Presiden memahami betul peranan pembentukan citra dan dengan demikian peranan Departemen Luar Negeri sangat besar mendapat perhatian. Dia menegaskan misi diplomatik Indonesia ke posisi ofensif: meyakinkan pada dunia bahwa Indonesia dalam transisi namun menyimpan potensi
luar biasa dalam kemajuan penegakan hukum dan pasar yang luar biasa besar dari 200 juta rakyat. Bahkan Sang Presiden pergi langsung ke New York dan berpidato
di Sidang Umum PBB, bahwa Indonesia akan segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel segera jika negara Yahudi itu mundur dari seluruh wilayah pendudukan yang direbutnya tahun 1967 dan mengakui Palestina Merdeka dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.
Indonesia menentang paham antisemit ("Semit" sebenarnya adalah bangsa Yahudi dan Arab) jika itu adalah paham kebencian berdasarkan ras. Tindakan teror terhadap warga sipil, baik Yahudi maupun Palestina, tidak dapat diterima, juga dengan tindakan pendudukan
atas tanah bangsa lain dan pembunuhan atas nama "perang melawan teror". Ini menegaskan posisi Indonesia - sekaligus membantah komentar miring tentang radikalisme - bahwa teror adalah bentuk perbuatan yang tidak mengenal bangsa dan agama, siapapun bisa menjadi pelakunya.
Sang Presiden tidak hanya mengandalkan investasi asing langsung, tapi juga investasi dalam negeri dan lokal. Model danareksa dikembangkan secara intensif dengan payung hukum yang kuat. Jadi penegakan sistem hukum dilakukan berbarengan dengan perbaikan iklim investasi
nasional. Pendidikan telah menjadi komoditi kampanye menarik pada musim kampanye yang lalu. Namun Sang Presiden tahu, bahwa isu ini adalah isu yang sulit dan tidak semata-mata persoalan pendidikan gratis maupun anggaran 20% dari APBN (sementara 15% APBN
dialokasikan untuk membayar cicilan hutang dan bunganya). Persoalan pendidikan adalah masalah struktural dan kultural sekaligus. Maka Sang Presiden menugaskan Menteri Pendidikan Nasional untuk melakukan efisiensi birokrasi dan pembenahan habis-habisan
kurikulum serta kualifikasi dan kesejahteraan guru. Ukuran pendapatan minimal guru harus dihitung dengan basis dua kali Upah Minimum Regional dan dilakukan secara bertahap. Kurikulum secara bertahap tidak lagi menekankan agar peserta didik menjadi generalis, tapi
lebih mengarah ke spesialis, untuk memperbaiki struktur ketenagakerjaan Indonesia di masa datang.
Dengan demikian seorang pekerja akan mengetahui betul seluk beluk bidang kerjanya dan akan mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan rekan sejawatnya di Thailand atau Vietnam. Tenaga kerja Indonesia harus lebih kompetitif, minimal dalam lingkungan ASEAN: harus mempunyai daya analitis yang baik, menguasai bahasa Inggris, dan siap untuk belajar
sesuatu yang baru. Pendidikan agama diarahkan juga agar peserta didik mampu secara kritis mencerna konteks masyarakat dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan; untuk itu - sebagai contoh dalam pendidikan agama Islam - sistem hafalan hanya diperkenalkan
hingga tingkat Sekolah Dasar, selanjutnya akan diajarkan dasar-dasar bahasa Arab dan dasar-dasar kaidah ushul fikih.
Dengan lebih dominannya spesialisasi, beban negara untuk membiayai pendidikan hanya akan terpusat pada hal-hal yang sifatnya umum. Dengan spesialisasi, pihak swasta akan lebih tertarik turut serta karena menyangkut langsung kepentingannya. Negara bertanggung jawab atas kurikulum dan - lagi-lagi - penegakan hukum di dunia pendidikan.
Alangkah beratnya tugas Sang Presiden dan Wakilnya. Akan tetapi, Sang Presiden tahu, bahwa memang seharusnya tugas di lapangan lebih berat saat mengeluarkan miliaran rupiah saat kampanye. Dan yang lebih sulit lagi, menghindarkan perasaan balas budi kepada para penyumbang saat kampanye!
Munich, 18 Juli 2004
Sunday, July 18, 2004
Sunday, July 04, 2004
Friday, July 02, 2004
It's everywhere
It's everywhere
(02/07/2004 4:47 pm)
Three weeks a go, we were travelling with Deutsche Bahn's WET across Baden-Wuertrtemberg and Bayern. One time an old woman sat just next to our daughter, she is still 2 years old and she wanted to play on her chair. We watched her from her side. The old woman also watched her curiously and sometimes she looked also at us as if she was scared (maybe she thought I was hiding a bomb in my backpack). Suddenly my daughter lost her grip and fell from her chair, and of course cried. But the old woman also cried at us, made us in panic and annoyance.We could not forget it till now. It's very terrible.
Terrible, eh? Wait a minute. This cruel (German) old woman, is only an example of one of ten persons we've meet and having contact with our daughter. The 9 other persons - if we remember correctly - smiled, talked gently, or even gave bonbons to our daughter. I could and should not forget the other 9 samples because of one cruel old woman. It's really unfair if I said the Germans are rascist only because this occasion. They have been "suffered" because even till now, Hollywood films accusing them to be an "eternal" evil because of what Hitler did in World War II. In fact, most of them never agreed what Hitler did.
In every country, there are always stereotype on the foreigners. Not only in Germany. Please tell me which country doesn't have even a small tendency against foreigner and foreign descent people? In Australia, there is an anti-Asian party. In India, the BJP had rejected Sonia Gandhi because she is Italian descent. In China, there was Boxer war against everything European. In the US, after 11 September there were mobs against Muslims. In the 1960s there was discrimination against the blacks. In Holland the late Fortuyn's party won - although not in the first place - because of anti-immigration policy. In Indonesia there was discrimination against Chinese descent Indonesians for years (they should have a special ID card beside a normal one), the government just lifted this up. In Turkey even there was discrimination against the Kurds which has been also lifted up recently. Tell me, which country is free of this?
It's very natural instinct, a self-defense mechanism. I don't say it's OK, what I want to say that sometimes people need some time to learn about how a multicultural society works. One big barrier for understanding each other is what I called "overgeneralization" about a culture group without looking carefully at the main problem. The problem comes if we are failed to build a bridge between the culture and not accepting reality that human is human. Human is not perfect and he reacts according to his experience and knowledge. We're not perfect, wir sind kein Uebermensch.
Tschuess,
Nano
(02/07/2004 4:47 pm)
Three weeks a go, we were travelling with Deutsche Bahn's WET across Baden-Wuertrtemberg and Bayern. One time an old woman sat just next to our daughter, she is still 2 years old and she wanted to play on her chair. We watched her from her side. The old woman also watched her curiously and sometimes she looked also at us as if she was scared (maybe she thought I was hiding a bomb in my backpack). Suddenly my daughter lost her grip and fell from her chair, and of course cried. But the old woman also cried at us, made us in panic and annoyance.We could not forget it till now. It's very terrible.
Terrible, eh? Wait a minute. This cruel (German) old woman, is only an example of one of ten persons we've meet and having contact with our daughter. The 9 other persons - if we remember correctly - smiled, talked gently, or even gave bonbons to our daughter. I could and should not forget the other 9 samples because of one cruel old woman. It's really unfair if I said the Germans are rascist only because this occasion. They have been "suffered" because even till now, Hollywood films accusing them to be an "eternal" evil because of what Hitler did in World War II. In fact, most of them never agreed what Hitler did.
In every country, there are always stereotype on the foreigners. Not only in Germany. Please tell me which country doesn't have even a small tendency against foreigner and foreign descent people? In Australia, there is an anti-Asian party. In India, the BJP had rejected Sonia Gandhi because she is Italian descent. In China, there was Boxer war against everything European. In the US, after 11 September there were mobs against Muslims. In the 1960s there was discrimination against the blacks. In Holland the late Fortuyn's party won - although not in the first place - because of anti-immigration policy. In Indonesia there was discrimination against Chinese descent Indonesians for years (they should have a special ID card beside a normal one), the government just lifted this up. In Turkey even there was discrimination against the Kurds which has been also lifted up recently. Tell me, which country is free of this?
It's very natural instinct, a self-defense mechanism. I don't say it's OK, what I want to say that sometimes people need some time to learn about how a multicultural society works. One big barrier for understanding each other is what I called "overgeneralization" about a culture group without looking carefully at the main problem. The problem comes if we are failed to build a bridge between the culture and not accepting reality that human is human. Human is not perfect and he reacts according to his experience and knowledge. We're not perfect, wir sind kein Uebermensch.
Tschuess,
Nano
Subscribe to:
Posts (Atom)