Wednesday, December 31, 2003

Energi Angin

From: "estananto" <estananto@y...>
Date: Wed Dec 31, 2003 11:19 am
Subject: EGRA by Hasan Hambali


--- In IA-ITB@yahoogroups.com, Achmad Zaenal Abidin
wrote:

At 10:21 22/12/2003 +0700, you wrote:

Energi Angin Yang Berlimpah Memperkuat Ketahanan Pangan Indonesia´

Abstract

Ketahanan pangan Bangsa Indonesia akan produk-produk pertanian
negara lain masih sangat tinggi seperti ketergantungan terhadap
beras dan buah-buahan. Ketergantungan ini akan semakin tinggi
apabila keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang
dimiliki tidak digali dan tidak dioptimalkan.
Salah satu komponen utama yang sangat mempengaruhi keunggulan-
keunggulan tersebut adalah ketersediaan dan pengelolaan sumber air.
Lahan-lahan luas dan keberadaan air yang berlimpah tidak akan
menghasilkan produk pertanian yang optimal apabila tidak dilakukan
pemikiran-pemikiran pengelolaan yang terbaik.
Lahan pertanian pantura yang subur dan masih merupakan lumbung padi
nasional belum mampu menopang kebutuhan nasional. Lahan-lahan ini
sebagian besar adalah lahan tadah hujan dan hanya sebagian kecil
yang terjangkau oleh irigasi sehingga umumnya tidak berporduksi pada
musim kemarau. Para petani yang memaksakan diri untuk menanam
palawija atau buah semangka di musim kemarau harus menggunakan pompa
disel untuk memompa air tanah dari sumur-sumur bor. Biaya yang
dikeluarkan petani untuk berproduksi menjadi sangat tinggi di musim
kemarau karena harus membeli bahan bakar minyak (BBM) sehingga
banyak lahan subur yang tidak berproduksi di musim kemarau.
Kedalaman air tanah di pantura pada musim kemarau yang hanya
berkisar antara 3 sampai 10 meter merupakan sumber air yang
berlimpah. Namun saat ini penggunaan air tersebut di musim kemarau
masih sangat terbatas yaitu hanya dengan menggunakan pompa disel
yang berbiaya tinggi. Salah satu sumber energi pengganti disel yang
berlimpah di daerah pantura adalah angin. Kincir angin dengan
konstruksi yang sederhana dan sumber energi angin yang berlimpah
dapat memberikan kontribusi pemecahan masalah peningkatan
produktivitas lahan pertanian melalui sisytem sirkulasi penyiraman
yang ramah lingkungan.
Angin yang bertiup akan menggerakan baling-baling kincir kemudian
tenaga yang tertangkap oleh baling-baling kincir digunakan untuk
menggerakan piston pengungkit pompa air. Air yang dihasilkan
digunakan untuk penyiraman kemudian kembali ke air tanah dan
digunakan kembali dengan demikina siklus ini akan terus berjalan
selama angin berhembus. Tenaga yang tertangkap merupakan kelipatan
pangkat tiga dari kecepatan angin yang berhembus sehingga makin
cepat angin makin besar tenaganya. Energi angin dengan demikian
sangat cocok untuk wilayah pantura yang memiliki sumber energi angin
penggerak kincir yang berlimpah.
Teknologi Kincir angin untuk pompa air adalah teknologi yang sangat
sederhana karena hanya mengkonversikan tenaga putar baling-baling ke
tenaga gerak vertikal yang kemudian digunakan untuk mengungkit pompa
tangan, misalnya pompa "Dragon". Pompa tangan ini juga adalah pompa
air sederhana yang sudah lazim digunakan oleh para petani. Bahan
baku kincir angin yang sebagaian besar adalah plat besi, plat
alumunium dan roda gigi adalah bahan baku lokal yang harganya masih
terjangkau dan lebih murah dari harga mesin-mesin pompa impor.
Negar-negara besar seperti Amerika, Australia, dan negara-negara
Eropa yang income percapita-nya sudah di atas US$ 20,000 per tahun
menggunakan energi angin untuk mengairi ladang-ladang gandum dan
perkebunannya sampai saat ini. Indonesia yang income percapita-nya
masih berkisar di sekitar US$ 700 menggunakan BBM untuk mengairi
sawah dan perkebunannya. Hal ini sangat timpang dan ironis sehingga
sudah saatnya bangsa Indonesia untuk kembali ke basic dan
menggunakan sumber daya yang ada untuk menyelamatkan generasi yang
akan datang.

Hasan Hambali

Bogor 18 Desember 2003

Saturday, November 08, 2003

Politik sumber daya dan masa depan Indonesia

From: "estananto" <estananto@y...>
Date: Sat Nov 8, 2003 12:22 am
Subject: Politik sumber daya dan masa depan Indonesia


Hallo,

sebuah laporan Kontras tahun 2000 mengisyarakatkan, bahwa Exxon
perusahaan minyak Amerika di Aceh "menyumbang" US$530.000 per bulan
kepada TNI sebagai "uang keamanan". Tentara nasional kita yang gagah
perkasa, lahir dari rakyat untuk membela rakyat, akhirnya dibayar
oleh perusahaan kapitalis asing untuk membela kepentingannya. Karena
itulah barangkali Amerika "masih" mendukung integritas nasional RI,
yaitu selama kepentingannya masih dijamin. Demikian juga di Papua.
Freeport McMoran, juga perusahaan pertambangan Amerika, telah
membayar untuk tahun 2002 US$ 5,6 juta sebagai uang keamanan kepada
TNI. Kekayaan tanah Papua yang luar biasa dengan tembaga dan emas
menjadi kepentingan Amerika pula, dan barangkali selama ini dijamin
maka Amerika berjanji mendukung keutuhan wilayah RI. Sekali Amerika
berpaling, maka nasib Indonesia bisa jadi seperti Afghanistan atau
Irak. Di sinilah kita bisa mengerti, mengapa salah satu edisi
Newsweek setahun yang lalu jelas menyebutkan Indonesia sebagai
target serangan Amerika di sampul majalahnya.
Dilema pelik yang telah lama terjadi ini harus diakui secara jujur
agar kita dapat melihat hubungan antara politik sumber daya, peran
militer, dukungan Amerika, dan masa depan Indonesia. Eksesnya adalah
pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh pengerukan sumber daya yang
terjadi secara sah di depan hukum internasional. Perdebatan tentang
sumber daya alam ini pulalah yang menjadi salah satu pemicu gerakan
separatisme yang sayangnya hanya memancing tindakan reaksioner dan
represif pemerintah pusat, memperparah situasi yang ada.
Mengatasi masalah ini, ke luar diperlukan oportunisme yang tidak
tanggung-tanggung: berdamai dengan politik luar negeri Amerika
seraya mendorong peran aktif negara2 Arab untuk menyelesaikan
konflik Israel-Palestina secara damai dengan restrukturisasi
besar2an kehidupan sipil rakyatnya. Sedangkan ke dalam harus
diupayakan betul agar ketergantungan terhadap produk minyak bumi
secara bertahap benar2 dikurangi; mendorong pemanfaatan teknologi
sumber energi alternatif; penguatan infrastruktur penegakan hukum
seiring dengan infrastruktur perekonomian seperti listrik,
transportasi, dll. Harus mulai dibentuk sistem rekonsiliasi
kompensasi terhadap korban2 kekejaman militer di Aceh dan Papua
sebelum Amerika mulai mempersoalkannya sebagai kartu truf jika di
masa mendatang terjadi masalah dengan "anak2nya" tersebut. Inisiatif
mengantisipasi secara strategis harus disiapkan sebagai alternatif
konvensional.

Salam,
Nano