Monday, December 27, 2004

Uni Eropa memandang Indonesia (1)

Seperti apakah Uni Eropa memandang Indonesia? Ini suatu pertanyaan menarik, baik dari sisi kenyataan bahwa Indonesia adalah negara berpendapatan per kapita hanya sekitar 3000 dollar(jika dihitung dari PPP - Purchase Power Parity), negara Asia Tenggara, maupun negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Indonesia sendiri - sebagaimana yang didefinisikan sejak awal - adalah negara multiras, multikultur, multibahasa, dan multiagama. Itulah sebabnya slogan lama dari pujangga Mpu Tantular di masa kerajaan Majapahit "Bhinneka Tunggal Ika" diambil menjadi semboyan negara. Sebenarnya kalimat ini tidak lengkap, karena mengikuti "Bhinneka Tunggal Ika" masih ada "tan hana dharma mangrwa" yang berarti "tak ada dualitas dalam kebenaran". Maksudnya, agama Siwa dan Budha pada masa Majapahit itu digambarkan sebagai "memang berbeda, tetapi (sebenarnya) satu". Ini mirip sekali dengan pokok pikiran Ibnu Arabi atau Jalaluddin Rumi di dunia Islam. Mereka bukannya mengatakan "semua agama itu sama" dalam pengertian kasar, namun dalam pencarian hakikat kebenaran, ada masa di mana baju-baju eksoteris tertanggalkan. Bukan berarti Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi meninggalkan sisi eksoteris, mereka dulunya pun adalah ahli fikih (hukum Islam).

Kembali ke cita-cita ideal Indonesia, memang sejak awal toleransi antaragama telah dianjurkan. Para Wali di masa Walisongo membangun masjid dengan atap meru mirip candi-candi Hindu, bukan kubah yang diimpor dari Arab. Pengikut Sunan Kudus memilih tidak makan sapi yang disucikan umat Hindu, padahal sapi tentu saja halal dalam Islam. Sunan Kalijogo terkenal dengan tembang-tembangnya yang diiringi dengan gamelan, bukan rebana a la Timur Tengah. Kecuali perang melawan kerajaan Hindu Pajajaran yang bersekutu dengan Portugis di Sunda Kelapa, yang kemudian berganti nama menjadi Jayakarta (yang juga diambil dari bahasa Sansakerta, bukan bahasa Arab!) pada abad XVI, tidak pernah ada perang agama di kepulauan Indonesia zaman kuno. Di Eropa, segera setelah Reformasi Protestan yang dicetuskan oleh Martin Luther, meletus Perang 30 Tahun antara (pengikut) Katolik dan (pengikut) Protestan pada abad XVII.

Perbedaan pengalaman ini juga mengakibatkan perbedaan paradigma. Indonesia dengan kekayaan sejarah itu merasa yakin bahwa koeksistensi damai antaragama dalam sebuah negara dimungkinkan, sementara Eropa dengan pengalaman yang sebaliknya berpendapat satu-satunya jalan untuk koeksistensi damai adalah memisahkan total agama dengan negara. Yang lebih buruk lagi, Eropa memiliki pengalaman panjang baik dengan Arab Muslim maupun Turki Muslim yang menurut mereka pernah mengancam Eropa. Semenanjung Iberia dulu pernah dikuasai oleh kekhalifahan Umayyah selama hampir 700 tahun, bahkan menjadi tempat pelarian bangsawan Umayyah yang dibantai oleh Bani Abbasiyyah di Timur. Sementara kota Wina yang terkenal itu pernah dikepung tentara Turki tahun 1529 dan 1683. Sedemikian mencekamnya ketakutan "Islamisasi" itu, pola pikir negatif tentang Arab dan Turki terwariskan dari generasi dan generasi. Hingga kini citra Islam sebagai agama barbar masih sangat membekas. Kardinal Lehmann, kepala gereja Katolik Jerman, diberitakan telah berkomentar bahwa toleransi yang ditunjukkan kaum Muslim (di Jerman) adalah semu. Edmund Stoiber, Kepala Pemerintahan Negara Bagian Bavaria sampai berujar bahwa jilbab adalah lambang ekstrimisme dan antitoleransi. Ini barangkali adalah akibat dari generalisasi berlebihan tentang pemakai jilbab. Padahal jilbab dan antitoleransi adalah dua hal yang berbeda. Para suster Katolik di gereja pun memakai kerudung rapat yang mirip dengan jilbab. Bunda Maria pun digambarkan memakai jilbab. Islam dengan demikian hanyalah melanjutkan tradisi sebelumnya dan jilbab ternyata bukan sesuatu hal yang baru. Huntington berujar tentang "Clash of Civilization" karena dia menjadi pengamat dari sebuah wilayah yang hampir homogen secara agama. Subyektivitas Huntington tidak bisa dipungkiri karena dia memandang "Barat" dan "Islam" serta "Konfusianisme" sebagai sesuatu yang "quasihomogen" dan memodelkan begitu saja tentang benturan peradaban. Padahal dalam sejarah, bukan agama atau peradaban yang selalu menjadi motivasi perbenturan melainkan kepentingan, walaupun memakai kedok agama dan peradaban. Judul yang tepat dengan demikian adalah "Clash of Interests" yang memang terjadi di manapun dan kapanpun.

Dari pengalaman-pengalaman tadi, dapatlah diperkirakan apa yang sebaiknya mendasari hubungan Uni Eropa dan Indonesia di masa datang. Indonesia seharusnya tidak malu-malu lagi membawa identitas Muslim Asia Tenggara yang serumpun dengan Malaysia dan Brunai, yang ciri-cirinya benar-benar berbeda dengan Muslim Arab maupun Turki. Benar bahwa Kitab Suci semua sama, bahkan hingga ibadah (karena memang ada hadis Nabi yaitu "Sholluw kama roaytumuniy usholliy" - shalatlah sebagaimana aku shalat), namun proses kesejarahan yang berbeda membuat penekanan keberagamaannya juga berbeda. Uni Eropa juga harus meninggalkan paradigma lama yang cenderung menggeneralisir itu. Semakin banyak pengamat Eropa yang berkecimpung dalam penelitian keislaman di Indonesia seharusnya membuahkan kesimpulan, bahwa konflik agama yang meletus setelah tahun 1998 sebenarnya adalah konflik kepentingan, misalnya masalah kesenjangan sosial antara pendatang dan orang asli atau kebijakan pemerintahan daerah yang dianggap kurang aspiratif. Akhirnya memang, suatu dialog yang lebih intensif dalam wilayah agama dan kebudayaan harus diupayakan.

Sunday, July 18, 2004

Indonesia impian Presiden impian

Indonesia impian Presiden impian

Sang Presiden telah terpilih.
Setelah melewati dua tahap pemilihan Presiden langsung pertama di Indonesia, akhirnya sang Presiden (dan wakil Presiden) dinyatakan sebagai pemenang. Melalui pelantikan yang sederhana sang Presiden langsung mengumumkan susunan kabinetnya, yang sebagian sudah
didesas-desuskan di internet. "Tidak perlu acara pelantikan a la Amerika," kata sang Presiden, "Kami bukan pasangan pengantin yang sedang berpesta, kami adalah pasangan yang langsung ada di tengah-tengah medan tempur!" Para menteri ini dipilih bukan hanya karena mereka ahli di bidangnya, melainkan berkemauan keras dan menguasai betul medan tugasnya. Beberapa di
antara mereka adalah birokrat berpengalaman namun ada juga yang merupakan politisi. Namun mereka semua bersih, paling tidak tidak ada catatan hukum yang muram di riwayat hidup mereka.
Tapi bersih saja tidak cukup. Pemerintahan yang baru ini harus berkonsep, dan bertenaga. Sang Presiden dan Sang Wakil Presiden langsung membuat rencana resmi reposisi TNI dalam kehidupan bernegara, menuju profesionalisme tentara. TNI tidak boleh dirusak citranya hanya oleh "pragmatisme pembangunan". Sang Presiden tahu betul, paling tidak menurut data yang
dikemukakan Prof. Juwono Soedarsono, hanya 30%-40% anggaran TNI yang diberikan negara. Sedangkan 60% hingga 70% anggaran itu harus dicari sendiri. Alangkah anehnya. Kalau Oerip Soemohardjo, salah satu pendiri TNI, dulu berkata "Aneh, suatu negara tanpa tentara",
maka kalau beliau masih hidup mungkin komentar beliau akan berbunyi, "Aneh, suatu tentara tanpa biaya negara". Kalau negara tidak ingin tentaranya hanya menjadi pengawal konglomerat atau backing pengusaha (baik kecil maupun besar), maka negara harus memikirkan serius masalah ini, karena tentara toh manusia juga. Ini adalah investasi jangka panjang untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa.
Tetapi, buat apa sesungguhnya tentara? Beberapa waktu yang lalu, seorang komandan Angkatan Laut Amerika melontarkan ide agar pihaknya diberikan kesempatan juga "menjaga keamanan" Selat Malaka yang katanya banyak dihuni bajak laut. Itu baru di "pinggir"
perairan Indonesia. Arif Satria, staf dosen IPB Bogor punya data lain: sekitar 1,9 miliar dollar Amerika (bukan rupiah!) kerugian yang dialami akibat pencurian ikan dari perairan Indonesia. Besar kerugian ini bahkan hampir sama besarnya dengan total ekspor produk perikanan Indonesia. Ini diakibatkan oleh kacaunya masalah perizinan, keterbatasan peralatan TNI-AL, dan - seolah menjadi klise - kongkalikong dengan oknum petugas Indonesia sendiri (Suara Pembaruan, 2 Juli 2004). Laut adalah hajat hidup bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Kekayaan laut Indonesia dari sumber daya hayati maupun non-hayati luar biasa besarnya, dan laut pulalah yang menghubungkan ribuan pulau di Indonesia. Di atas laut pulalah berlalu lalang kapal-kapal niaga maupun angkutan yang menjadi urat nadi perekonomian dunia. Sudah seharusnya Indonesia berjaya di laut dan berdaulat penuh atas kekayaan yang ada di dalamnya,
serta berperan aktif menjaga kesinambungan dan kelestarian alamnya.
Sang Presiden menempatkan laut sebagai sumber utama kebangkitan ekonomi Indonesia. Maka dia memulai dengan revitalisasi perangkat keamanan laut (perundang-undangan, TNI-AL, polisi laut, bea cukai, kejaksaan, pengadilan) menjadi salah satu prioritas utama. Perizinan gelap harus dibasmi dan kerjasama harus segara dilakukan dengan negara-negara tetangga untuk menanggulangi pencurian ikan oleh nelayan-nelayan dari wilayah mereka. TNI-AL harus
memiliki 15 buah pesawat intai laut yang dimodifikasi dengan perlengkapan avionik modern dari CN-235 buatan dalam negeri, juga 50 helikopter baru yang memungkinkan operasi di hampir setiap titik perairan Indonesia. Doktrin pertahanan TNI diubah menjadi doktrin pertahanan laut (dan udara) menggantikan sistem pertahanan darat tradisonal. Usaha-usaha perikanan terus didorong dan didukung, baik usaha kecil maupun usaha besar, dengan target peningkatan produk nonmigas menggantikan produk migas. Sang Presiden membuat langkah khusus untuk melindungi nelayan tradisional, terutama perikanan lepas pantai,
yaitu dengan melibatkan secara aktif institusi lokal dalam mengelola sumberdaya. Ini dilakukan di bawah payung otonomi daerah. Untuk usaha perikanan besar yang membutuhkan investasi, sistem kuota seperti di negara-negara Barat diberlakukan dengan transparan.
DPR dan LSM juga dilibatkan untuk menjamin transparansi, terutama untuk menjaga kelestarian bahari. Pengolahan produk perikanan dilakukan dengan mengundang tenaga ahli dalam negeri dan investor lokal maupun asing. Ini adalah pasar yang luar biasa dan
menguntungkan. Wisata bahari Indonesia dikembangkan dan menjadi primadona di samping wisata budaya.
Masih ada hantu lain yang harus diselesaikan oleh sang Presiden, yaitu pengangguran dan pendidikan nasional. Teori liberal klasik mengajarkan, negara harus menarik investor asing sebanyak-banyaknya - seperti yang dilakukan oleh Republik Rakyat Cina - dan dengan
masuknya modal asing itu diharapkan banyak tenaga kerja akan terserap. Namun di tengah persaingan antarnegara untuk merebut investasi tersebut, Indonesia sangat memprihatinkan: sementara negara-negara ASEAN lain mengalami modal langsung asing masuk, Indonesia malah menderita modal keluar sebesar 1,17 miliar dollar Amerika pada paruh pertama
2002. Ini menunjukkan beratnya posisi Indonesia di tengah negara-negara tetangga lain yang situasi politik-ekonominya lebih stabil. Indonesia masih dalam transisi demokrasi dan ini sangat tidak menguntungkan dari sudut pandang investasi luar. Sang Presiden memahami betul peranan pembentukan citra dan dengan demikian peranan Departemen Luar Negeri sangat besar mendapat perhatian. Dia menegaskan misi diplomatik Indonesia ke posisi ofensif: meyakinkan pada dunia bahwa Indonesia dalam transisi namun menyimpan potensi
luar biasa dalam kemajuan penegakan hukum dan pasar yang luar biasa besar dari 200 juta rakyat. Bahkan Sang Presiden pergi langsung ke New York dan berpidato
di Sidang Umum PBB, bahwa Indonesia akan segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel segera jika negara Yahudi itu mundur dari seluruh wilayah pendudukan yang direbutnya tahun 1967 dan mengakui Palestina Merdeka dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.
Indonesia menentang paham antisemit ("Semit" sebenarnya adalah bangsa Yahudi dan Arab) jika itu adalah paham kebencian berdasarkan ras. Tindakan teror terhadap warga sipil, baik Yahudi maupun Palestina, tidak dapat diterima, juga dengan tindakan pendudukan
atas tanah bangsa lain dan pembunuhan atas nama "perang melawan teror". Ini menegaskan posisi Indonesia - sekaligus membantah komentar miring tentang radikalisme - bahwa teror adalah bentuk perbuatan yang tidak mengenal bangsa dan agama, siapapun bisa menjadi pelakunya.
Sang Presiden tidak hanya mengandalkan investasi asing langsung, tapi juga investasi dalam negeri dan lokal. Model danareksa dikembangkan secara intensif dengan payung hukum yang kuat. Jadi penegakan sistem hukum dilakukan berbarengan dengan perbaikan iklim investasi
nasional. Pendidikan telah menjadi komoditi kampanye menarik pada musim kampanye yang lalu. Namun Sang Presiden tahu, bahwa isu ini adalah isu yang sulit dan tidak semata-mata persoalan pendidikan gratis maupun anggaran 20% dari APBN (sementara 15% APBN
dialokasikan untuk membayar cicilan hutang dan bunganya). Persoalan pendidikan adalah masalah struktural dan kultural sekaligus. Maka Sang Presiden menugaskan Menteri Pendidikan Nasional untuk melakukan efisiensi birokrasi dan pembenahan habis-habisan
kurikulum serta kualifikasi dan kesejahteraan guru. Ukuran pendapatan minimal guru harus dihitung dengan basis dua kali Upah Minimum Regional dan dilakukan secara bertahap. Kurikulum secara bertahap tidak lagi menekankan agar peserta didik menjadi generalis, tapi
lebih mengarah ke spesialis, untuk memperbaiki struktur ketenagakerjaan Indonesia di masa datang.
Dengan demikian seorang pekerja akan mengetahui betul seluk beluk bidang kerjanya dan akan mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan rekan sejawatnya di Thailand atau Vietnam. Tenaga kerja Indonesia harus lebih kompetitif, minimal dalam lingkungan ASEAN: harus mempunyai daya analitis yang baik, menguasai bahasa Inggris, dan siap untuk belajar
sesuatu yang baru. Pendidikan agama diarahkan juga agar peserta didik mampu secara kritis mencerna konteks masyarakat dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan; untuk itu - sebagai contoh dalam pendidikan agama Islam - sistem hafalan hanya diperkenalkan
hingga tingkat Sekolah Dasar, selanjutnya akan diajarkan dasar-dasar bahasa Arab dan dasar-dasar kaidah ushul fikih.
Dengan lebih dominannya spesialisasi, beban negara untuk membiayai pendidikan hanya akan terpusat pada hal-hal yang sifatnya umum. Dengan spesialisasi, pihak swasta akan lebih tertarik turut serta karena menyangkut langsung kepentingannya. Negara bertanggung jawab atas kurikulum dan - lagi-lagi - penegakan hukum di dunia pendidikan.
Alangkah beratnya tugas Sang Presiden dan Wakilnya. Akan tetapi, Sang Presiden tahu, bahwa memang seharusnya tugas di lapangan lebih berat saat mengeluarkan miliaran rupiah saat kampanye. Dan yang lebih sulit lagi, menghindarkan perasaan balas budi kepada para penyumbang saat kampanye!
Munich, 18 Juli 2004

Friday, July 02, 2004

It's everywhere

It's everywhere
(02/07/2004 4:47 pm)

Three weeks a go, we were travelling with Deutsche Bahn's WET across Baden-Wuertrtemberg and Bayern. One time an old woman sat just next to our daughter, she is still 2 years old and she wanted to play on her chair. We watched her from her side. The old woman also watched her curiously and sometimes she looked also at us as if she was scared (maybe she thought I was hiding a bomb in my backpack). Suddenly my daughter lost her grip and fell from her chair, and of course cried. But the old woman also cried at us, made us in panic and annoyance.We could not forget it till now. It's very terrible.
Terrible, eh? Wait a minute. This cruel (German) old woman, is only an example of one of ten persons we've meet and having contact with our daughter. The 9 other persons - if we remember correctly - smiled, talked gently, or even gave bonbons to our daughter. I could and should not forget the other 9 samples because of one cruel old woman. It's really unfair if I said the Germans are rascist only because this occasion. They have been "suffered" because even till now, Hollywood films accusing them to be an "eternal" evil because of what Hitler did in World War II. In fact, most of them never agreed what Hitler did.
In every country, there are always stereotype on the foreigners. Not only in Germany. Please tell me which country doesn't have even a small tendency against foreigner and foreign descent people? In Australia, there is an anti-Asian party. In India, the BJP had rejected Sonia Gandhi because she is Italian descent. In China, there was Boxer war against everything European. In the US, after 11 September there were mobs against Muslims. In the 1960s there was discrimination against the blacks. In Holland the late Fortuyn's party won - although not in the first place - because of anti-immigration policy. In Indonesia there was discrimination against Chinese descent Indonesians for years (they should have a special ID card beside a normal one), the government just lifted this up. In Turkey even there was discrimination against the Kurds which has been also lifted up recently. Tell me, which country is free of this?
It's very natural instinct, a self-defense mechanism. I don't say it's OK, what I want to say that sometimes people need some time to learn about how a multicultural society works. One big barrier for understanding each other is what I called "overgeneralization" about a culture group without looking carefully at the main problem. The problem comes if we are failed to build a bridge between the culture and not accepting reality that human is human. Human is not perfect and he reacts according to his experience and knowledge. We're not perfect, wir sind kein Uebermensch.

Tschuess,
Nano

Monday, April 26, 2004

Kota Jakarta

From: "estananto" <estananto@y...>
Date: Mon Apr 26, 2004 10:19 am
Subject: Re: Kota Jakarta (Was : Crazy Idea)


Dear netters,

Kalau boleh nimbrung lagi:
Ide pemindahan ibukota ke Kalimantan Tengah tidaklah cukup. Harus ada pembagian lebih lanjut, meliputi ibukota politik dan ibukota ekonomi, untuk menghindari tumpang tindihnya masalah yang diakibatkan dua aktivitas besar nasional itu.
Jakarta mungkin tadinya hanya dimaksudkan sebagai ibukota politik, sejak zaman Hindia Belanda. Tapi kemudian memusatnya aktivitas ekonomi akibat praktik sentralisme masa Soekarno dan Soeharto, membuat segalanya menumpuk di Jakarta. Apalagi dengan adanya daerah2 industri di Jakarta dan sekitarnya.
Sebagai "ide gila", tentu saja kita harus menyambut positif prakarsa pemindahan ibukota dari Jakarta ini, akan tetapi secara realistis, kita harus melihat berapa besar biaya yang dibutuhkan. Kalau kita ingin memindahkan ibukota politik, berarti sebagian besar dana harus ditanggung pemerintah (membangun gedung baru, membangun sarana telekomunikasi dan transportasi, biaya pemindahan pegawai negeri).
Sedangkan kalau kita ingin memindahkan ibukota ekonomi, maka sebagian besar biaya ditanggung swasta dan kemungkinan akan sulit sekali karena menyangkut biaya dan pemindahan ribuan buruh dari daerah Jakarta. Jangan lagi dihitung kepusingan jika kita memindahkan ibukota as awhole, ibukota politik dan ekonomi sekaligus, tentu
sangat berat. Barangkali bisa dipikirkan alih2 memindah ibukota tapi membuat ibukota ekonomi kedua. Itu kalau mau di luar Jawa. Kalau mau memindah ibukota lebih baik yang dekat2 Jakarta saja, misalnya Jonggol atau Cirebon, itu lebih feasible. Ibukota ekonomi kedua di Palangkaraya atau Makassar bisa diwujudkan dengan memusatkan keputusan2 penting ekonomi di sana.
Pertanyaan soal pemindahan ibukota barangkali juga berkaitan dengan isu pemerataan kemakmuran. Padahal pemerataan pendapatan membutuhkan pemerataan produksi. Perlu dipikirkan agar produksi nonmigas dari luar Jawa paling tidak sama atau lebih dari produksi nonmigas pulau Jawa.

Salam,
Nano, Munich

Wednesday, April 21, 2004

Is Swiss Democracy Exportable?

From: Estananto <estananto@y...>
Date: Wed Apr 21, 2004 7:23 am
Subject: Is Swiss Democracy Exportable?


Is Swiss Democracy Exportable?



Tages Anzeiger (Zurich, Switzerland)

Markus Somm

August 29, 2002

Translated by Sara Kupfer



Background

Direct Democracy: An American journalist has dealt
with Switzerland. Switzerland’s system of direct
democracy fascinates him so much that he concludes
that the United States should imitate it.



Is Swiss democracy exportable?



It is said that direct democracy only works in a small
country like Switzerland. An American author thinks
differently: also the United States could benefit from
studying the Swiss model.



By Markus Somm



It rarely occurs that an American author deals with
Switzerland – and if so, the end result often is more
mythological than informative. Foreigners often depict
the country in such vague terms that natives are
unable to recognize anything new. This fall, a book
will be published in the United States that is free
from such shortcomings and instead presents a
surprisingly accurate portrait of Switzerland. The
title of the book is Direct Democracy in Switzerland,
and Gregory Fossedal is the name of the author. A
former journalist for the Wall Street Journal, he now
heads a new think tank in Washington that seeks, among
other things, to advocate direct democracy in the
United States. It is thus not surprising that Fossedal
is interested in Switzerland considering that no other
country in the world has so thoroughly democratized
its political system on the national level. The United
States is the only other country where similar
democratic reforms have been institutionalized, but
only in a number of single states, not in Washington
itself.



The Swiss Way.



After careful research in Switzerland, Fossedal does
not conclude that direct democracy in Switzerland is a
political aberration. On the contrary. The author is
impressed and increasingly convinced that the U.S.
urgently needs to imitate the Swiss experiment. Only
this way can American citizens’ growing
dissatisfaction with politics be contained. Unlike
former Swiss Ambassador to the United States Alfred
Defago, who told Fossedal that direct democracy can
only be practiced in Switzerland, Fossedal believes
that the system is exportable.



Despite this ideological bias, the author takes a
serious effort to understand in detail what so much
fascinates him. This is why Fossedal’s book also makes
for a rewarding read for the Swiss reading public.
Like many American publicists, Fossedal writes with
wit, fluency, and without sounding intimidating. It is
a pleasure to follow the foreign ethnologist on his
journey through Switzerland. For example, he describes
the happenings in the House of Parliament: the
building, which the average Swiss enters with a
mixture of pride and shy reverence, looks for the
American more like a communal city council. To his own
surprise, Fossedal observes that security checks
obviously do not seem to be necessary (the visit
occurred before the deadly shooting in Zug – in the
meantime, this has changed). And he is bemused by the
fact that many members of parliament hang out in the
hallways in a sweater rather than a suit. The book is
full of such anecdotes. Fossedal brilliantly combines
reportage and analysis, statistics and history,
historical retrospectives and predictions for the
future. Quite obviously, behind the politically minded
researcher hides a former journalist. At first glance,
it seems that Fossedal is interested in almost
everything that can be observed in Switzerland;
however, his narrative always find back to the theme
of direct democracy. Looking at different areas of
Swiss politics, he investigates the way in which this
rare system plays itself out and compares it with the
experiences of other countries, especially the United
States. Even Swiss citizens thus can gain entirely new
insights into their country.

An example is Fossedal’s treatment of taxation policy:
In a convincing and well-informed manner, the author
explains his American readership why Switzerland still
has low fiscal quotas – despite frequent citizen
complaints, they have remained low compared to other
countries. Taxes continue to be moderate because Swiss
voters have to sanction almost every tax raise at the
polls. In all other democracies, political elites can
negotiate tax raises among themselves – which has the
tendency of leading to higher taxation. Decisions to
raise taxes always are controversial, and every
lobbyist of the country gathers in Washington to put
pressure on representatives during tax debates. In the
end, however, it is politicians who decide whether
they want to grant more money to the government on
which they themselves depend.



Perverse Effects



In the United States, Fossedal believes, the final
decision-making power of politicians has perverse
effects: Because Americans (like the Swiss)
traditionally are tax-weary, politicians of both
parties try to make emotional appeals to voters.
Depending on the interests presented by a particular
party, the concerns of one interest group are
denounced as extravagant while the needs of another
group are presented as indispensable. Nobody is
interested in details, voters are hardly being
informed and instead are being charged with emotions
because citizens do not have the power to decide the
outcome of the debate themselves. In short: instead of
having to explain the need for a tax raise or tax cut
to their citizens, as Swiss politicians have to if
they want to get reelected, American politicians
strategically appeal to a diffuse popular dislike of
government. In the end, however, citizens are left
feeling deceived, Fossedal finds. In Switzerland, by
contrast, he was impressed by the degree in which even
moderately educated people are knowledgeable about tax
issues. And nobody complained. Although every Swiss
believes that they are paying too many taxes, they
would never want to trade with the Germans or the
Americans. Fossedal carefully elucidates how direct
democracy leads to decisions that are much better
accepted and understood by individual citizens than it
is the case in representational democracies. Besides,
he refutes one of the most stubborn prejudices about
direct democracies: that citizens tend to give in to
populist demagogues and make irrational decisions,
such as starving their own government. If necessary,
even the Swiss have voted for tax increases – it just
costs the politician more to convince citizens. By no
means does this process undermine the quality of a
political decision – on the contrary.

Another example that critics have often used to
demonstrate the dangers of the system of direct
democracy is the highly contentious issue of
immigration policy. It is sometimes said that the
majority oppresses the minority with the ballot. This
fear is not entirely misplaced. Switzerland, however,
may have the advantage of not being a genuine nation
state with an overwhelming majority. Fossedal thus
again succeeds in elucidating another important effect
that the system of direct democracy has produced in
Switzerland. Although in the past thirty years, the
Swiss have voted on numerous initiatives seeking to
limit the number of immigrants, reason has always
prevailed – motivated either by economic or
humanitarian considerations. The Swiss people always
ended up rejecting radical measure in immigration
policy; hence, the fear of the populists remains
largely unfounded. Above all, however, Fossedal
highlights that the right to introduce initiatives
gives those people who feel threatened by immigrants a
fair chance. In contrast to many other European
countries, nobody in Switzerland can complain about
not having enough of a say in politics.



Unreasonable Democracy



Will American citizens and politicians come to share
Fossedal’s enthusiasm for the Swiss way of direct
democracy anytime soon? Hardly so. At this moment,
promoters of direct democracy are having quite a hard
time. Both major political parties only have a
moderate interest in changing the system. Why should
the elites take away their own power? In the past
years, skepticism about direct democracy has become
particularly widespread in left-liberal circles –
especially in California, which together with Oregon
resembles the Swiss model the most. Both popular
initiative and the referendum are practiced in the
Golden State. Although the fight for more popular
involvement in the political decision making process
originated with the Left shortly before World War I,
it is the Right that since the 1970s has set out to
use the popular initiative to upset the government.

This, at least, is the way the American journalist
Peter Schrag sees it, who a couple of years ago wrote
a shocking account of the state of democracy in
California. With the passing of the famous proposition
13 in 1978, the Tax Revolt movement, which was made up
of people who felt that the tax burden has reached a
breaking point, achieved an important political
victory. The popular initiative, which targeted the
estate tax, was accepted by a large majority of
citizens. It had consequences: For one, the tax rebels
paved the way for Ronald Reagan’s ascendancy to the
White House. For another, Schrag believes, it deprived
the state of California of important resources in the
long term. Schrag attributes the decline of
Californian public schools and infrastructure to this
development.

Thus, is direct democracy harmful after all? Whatever
seems to hold true for California certainly doesn’t
apply to Switzerland – as most Swiss citizens will
attest to . This is not because the Swiss are
politically more mature but because the system works,
Fossedal convincingly shows. Californian democracy
distinguishes itself from the Swiss system in
important respects (see below). Seen this way, the
Swiss can only hope that Fossedal’s book is also being
red in California and not only in Switzerland.

Monday, April 19, 2004

Lagi, Majapahitisme

From: "estananto" <estananto@y...>
Date: Mon Apr 19, 2004 2:08 pm
Subject: Re: Tulisan menarik dari Liputan 6 SCTV


Bung Alma,

itulah gambaran Majapahitisme yang terus dipelihara. Di satu sisi, keberhasilan Raden Wijaya menghalau pasukan Kubilai Khan keluar dari tanah Jawa merupakan prestasi luar biasa yang hanya bisa ditandingi oleh orang Jepang (itupun karena orang Jepang dibantu "angin suci", Kamikaze). Namun di sisi lain, faham fasistik Gajah Mada tentu bertentangan dengan semangat republiken yang hendak dikembangkan di
Republik Indoensia. Bagaimana cara Gajah Mada memperlakukan Sri Baduga Maharaja, bagaimana pula cara Gajah Mada menaklukkan kerajaan2 di Sumatera sebagian kelanjutan kampanye Raja Kertanegara dari Singhasari itu. Sumpah Palapa yang dipelajari jutaan orang itu, tidak lain adalah faham fasistik karena hanya menyangkut kejayaan bangsa
dengan jalan penaklukan. Nasionalisme yang dibangun atas dasar Sumpah Palapa adalah nasionalisme fasis. Soekarno sendiri melengkapi nasionalismenya dengan apa yang ia namakan internasionalisme dalam Pancasila agar ia tidak jatuh menjadi fasis. Dalam tulisannya tahun 1941, ia berharap bahwa Soviet akan mampu bertahan terhadap Nazi
Jerman karena itu adalah lambang kemenangan terhadap fasisme.
Sayang sekali kemudian pengaruh kekaguman terhadap Sumpah Palapa dalam perjalanan pemerintahan Soekarno mengabaikan sama sekali logika sosial-demokrat Hatta yang berujung pada kehancuran: alih2 menata ekonomi seperti yang disarankan Hatta, Soekarno malah membangun angkatan perang terbesar di belahan bumi selatan untuk "merebut" Papua Barat. Revolusi populis gaya Soekarno akhirnya gagal membangun
identitas bangsa yang maju.
Salah satu pertimbangan Sam Ratulangi dari Minahasa agar belahan nusantara timur bergabung dengan Republik Indonesia adalah karena budaya melayu-pesisir, bukan karena ide kebulatan wilayah Majapahit. Soekarno sendiri pernah mengakui bahwa Hatta sebagai wakil presiden adalah modal besar karena ia mewakili pemimpin non-Jawa. Kebiasaan orang Sumatera yang biasa dengan kekontrasan (tergambar pada pakaian
pengantin yang penuh warna kontras) dan budaya intelektual Minangkabau (dari sini lahir para intelektual yang beragam ideologinya dari M. Natsir hingga Tan Malaka) telah menjadi modal penting pembentukan budaya melayu-pesisir, di samping sisi
egalitarian Islam (sementara Islam yang berkembang di Jawa lebih menekankan pada sisi esoteris tanpa merubah struktur kekuasaan raja-raja Jawa).
Maka untuk mempertahankan ide Republik Indonesia, dengan bentang wilayah dalam 3 daerah waktu, ratusan suku bangsa, puluhan ribu pulau, memang membutuhkan pola pandang yang cocok, apalagi jika kita ingin meletakkan diri dalam konteks demokrasi. Kita tidak lagi bisa mempertahankan ide Sumpah Amukti Palapa yang fasistis itu karena tidak akan kompatibel dengan keanekaragaman; ide ini lebih merujuk ke
ke-Tunggal-an dari mana ke-Bhinneka-an. Kita harus lebih memahami perbedaan bukan hanya dengan mengajarkan anak sekolah pada perbedaan baju adat namun perbedaan pola pikir, cara berkomunikasi, dlsb. Sama seperti cara Amerika mengadopsi orang2 kulit hitam yang sebelumnya dianggap budak, kita harus menemukan cara bagaimana orang Indonesia yang berbeda kultur dan bahkan warna kulit menemukan identitasnya
secara alami.

Salam,
Nano

Wednesday, March 31, 2004

Menolong Muslim Eropa

Rabu, 31 Maret 2004

Menolong Muslim Eropa

Oleh : Estananto

Estananto
Pengamat, tinggal di Jerman

Tanggal 24 Maret 2004, komisi parlemen Jerman untuk Zuwanderungsgesetz (RUU Imigrasi) pertama Jerman telah mencapai "titik terang" menuju kesepakatan antarfraksi. Di antara hal-hal yang sedang dibahas itu adalah usulan CDU/CSU (Partai Kristen Demokrat/Kristen Sosialis) agar negara diberi hak untuk segera mengusir tersangka pelaku terorisme non-Jerman, tanpa proses pengadilan. Lebih spesifik lagi Guenther Beckstein, Menteri Dalam Negeri Negara Bagian Bavaria dari CSU mengusulkan adanya "Zentraldatei islamistischer Terror" (Pusat Data Teror Islam) yang akan mengumpulkan data-data para tersangka teror dari seluruh negara bagian Jerman (Sueddeutsche Zeitung, 24 Maret 2004). Memang menurut stasiun televisi berita N24, pembicaraan RUU ini dibayangi serangan teroris di Madrid beberapa waktu lalu yang telah memakan korban lebih dari 200 orang. Dengan adanya serangan ini, negara-negara Uni Eropa merasa terancam, karena bahaya sudah datang di tanah air mereka.

Ini bukan pertama kalinya Beckstein memandang "Teror Islam" secara khusus. Pada banyak kesempatan beliau menyebut jilbab sebagai bukan saja lambang agama tapi juga lambang politik, bahkan pemikiran fundamentalis dan lambang penindasan perempuan. Menteri Dalam Negeri di negara bagian yang sering dipuji karena keamanan dan pertumbuhan ekonominya yang baik ini tidak sendirian. Menteri Pendidikan negara bagian yang sama, Monika Hohlmeier, juga dari CSU, mengatakan dengan jelas tentang jilbab bagi para guru sekolah, "Kita tidak boleh membuka pintu sekolah-sekolah kita kepada kaum fundamentalis dan ekstremis" (Sueddeutsche Zeitung, 30 September 2003). Bahkan seorang reporter stasiun televisi BR dan ARD, Simone Schneppensiefen, mendapat "perhatian khusus" dari para pemirsa gara-gara mengenakan kerudung dalam siaran berita. Schneppensiefen harus menjelaskan bahwa saat itu topik berita adalah soal Iran (Sueddeutsche Zeitung, 30 Desember 2003). Bahkan perkara kebiasaan perempuan Muslim untuk berenang terpisah dari laki-laki pun bisa menjadi masalah: di kolam renang Muenchen-Harlaching beberapa orang mengumpulkan tanda tangan menentang hari khusus perempuan di kolam renang itu. Mereka merasa terganggu karena banyaknya Muslimah yang memanfaatkan hari perempuan itu, padahal ada juga perempuan bukan Muslim yang berenang di sana (Program Monitor, stasiun televisi WDR, 8 Januari 2004).

Memang, tidak semua tokoh Jerman berpendapat jelek tentang Islam dan simbol Islam. Salah satu contohnya adalah Kardinal Joseph Ratzinger. Beliau agak tidak setuju dengan pelarangan jilbab, sebagaimana juga dengan wacana seandainya semua simbol agama dilarang di sekolah-sekolah (Sueddeutsche Zeitung, 16 Januari 2004). Ini menjawab pernyataan Presiden Republik Federasi Jerman Johannes Rau pada pesan Tahun Barunya tanggal 29 Desember 2003 yang memicu kontroversi. Rau mengatakan bahwa jika jilbab dilarang dipakai oleh guru-guru sekolah negeri, maka salib dan lain-lain simbol harus dilarang juga. Sebenarnya, perempuan-perempuan berjilbab juga (masih) bebas berjalan di tempat umum tanpa gangguan, masjid-masjid juga (masih) bebas menjalankan segala aktivitasnya termasuk Shalat Jumat. Masih banyak juga orang Jerman yang tidak menunjukkan gelagat buruk terhadap kaum Muslim. Orang-orang Muslim juga masih bebas belajar dan bekerja.

Namun citra buruk Islam yang masih menghinggapi pemikiran banyak politisi sedikit banyak menjadi beban bagi kaum Muslim yang menjadi minoritas. Apalagi jika RUU Imigrasi itu jadi disahkan dan menjadi alat bebas untuk mengusir orang asing yang belum terbukti melakukan aksi terorisme sekalipun. Hal yang menyedihkan adalah, bagaimana mungkin bangsa besar yang melahirkan Johann Wolfgang von Goethe, yang kerap membuat puisi tentang dunia Timur termasuk tentang dunia Islam, ternyata tidak mendapat pengetahuan yang benar tentang Islam dan umatnya. Lebih menyeramkan lagi jika mereka membaca peringatan dari Direktur CIA George Tenet: saat ini ada ratusan "sleeper" Alqaidah di Eropa yang siap melakukan aksinya (Yahoo Nachrichten Deutschland, 24 Maret 2004). "Sleeper" adalah orang yang tampaknya dalam keseharian orang baik-baik, namun suatu saat dengan suatu kode tertentu mereka siap melakukan aksi terorisme.

Pertanyaan menarik adalah: apa yang bisa dilakukan untuk kaum Muslim Eropa yang minoritas itu? Pandangan negatif tentang Islam dan pengikutnya bukan hanya terbentuk saat-saat ini setelah 11 September 2001. Murad Wilfred Hofmann, seorang Muslim asal Jerman mengutip dalam bukunya "Der Islam in 3. Jahrhundert" (Hofmann, 2000) peringatan Ketua Badan Penjaga Konsitusi Jerman, Peter Frisch, tahun 1997: "Ada tanda-tanda bahwa Islamisme dalam abad mendatang ini akan menjadi bahaya besar". Jadi, Islam sudah dianggap setali tiga uang dengan bahaya.

Tidak usah lagi dibahas besarnya peran media. Yang lebih dapat kita lakukan adalah apa yang ada di sekitar kita. Itu telah dilakukan oleh Muslim di kota Goettingen. Mereka telah mengadakan acara dialog dengan mengundang kantor walikota, polisi, dan kalangan gereja datang ke masjid untuk berdialog bersama. Dialog itu tempat di mana semua orang bebas bertanya apa saja tentang Islam yang dijawab saat itu juga. Konon dialog ini telah membantu memperbaiki citra kaum Muslim di sana. Usul yang mirip diungkapkan oleh Joachim Yusuf Huepper. Muslim Jerman yang beristrikan seorang Indonesia itu menawarkan model "partisipasi aktif sebagai alternatif asimilasi" dalam khutbah di depan jamaah Shalat Idul Fitri 1424 H warga Muslim Indonesia-Jerman di kota Muenchen. Konsep ini adalah konsep yang ada di tengah-tengah: tidak larut dalam kehidupan Barat yang berakibat hilangnya identitas keislaman, namun juga tidak terasing dalam kehidupan masyarakat Jerman. Masyarakat adalah manusia biasa yang membutuhkan kehadiran dan pengakuan. Yusuf bahkan lebih jauh mengemukakan contoh: alangkah baiknya jika ada seorang Muslim yang menjadi sukarelawan pemadam kebakaran atau perawat panti jompo. Contoh teladan juga dapat menjadi sarana dialog. Alhamdulillah, pengurus gedung IG Feuerwache, tempat penyelenggaraan Shalat Id tersebut kini malah menaruh kepercayaan kepada Muslim Indonesia untuk memakai gedung untuk setiap Shalat Id karena dinilai disiplin dan bersih.

Tariq Ramadan dalam buku "To be an European Muslim" (Ramadan, 2000) menyimpulkan dua titik ekstrem Muslim yang tinggal di Eropa. Di satu sisi ada Muslim yang hidup tanpa Islam. Mereka meleburkan diri sama sekali dan meninggalkan pertimbangan-pertimbangan keagamaan walaupun masih merasa sebagai Muslim. Di sisi lain, ada Muslim yang tinggal di Eropa namun sebenarnya tidak tinggal di Eropa. Mereka tetap tinggal di tanah air sebelumnya seperti Turki atau Maroko walaupun secara fisik ada di Eropa. Sebabnya, menurut Ramadan, mereka belum mampu membedakan antara pokok-pokok ajaran Islam dan budaya setempat yang timbul sejalan dengan perkembangan Islam di suatu tempat. Dalam praktiknya Ramadan mengajak kaum Muslimin untuk bergerak menuju "Muslim Eropa", yaitu Muslim yang tinggal di Eropa dengan lingkungan Eropa. Ini hanya dapat dilakukan dengan menyesuaikan secara hati-hati fikih yang sudah ada ke dalam bingkai Eropa. Barangkali ini yang dimaksud Azyumardi Azra dalam Resonansi Republika 12 Februari 2004 tentang konsep "Islam Jerman", yaitu Islam dalam konteks Jerman. Ramadan, cucu Imam Hasan Al-Banna, mencoba untuk menunjukkan bahwa konsep "Darul Islam" dan "Darul Harb" sudah usang dan hanya merupakan perumusan ulama terdahulu pada zamannya; kini adalah mungkin seorang Muslim menjadi warga negara yang baik dari sebuah negara Eropa yang sekuler selama kewajiban keagamaannya tidak diganggu.

Menarik juga untuk mengkaji tekad Ketua Umum PBNU dan PP Muhammadiyah dalam sebuah pertemuan tanggal 2 Januari 2002 untuk menampilkan wajah Islam yang damai seraya membimbing kembali kaum radikal. Barangkali tekad ini dapat diwujudkan paling tidak dengan mengirim dai-dai yang membawa pesan Islam damai ini ke Eropa secara teratur. Di Eropa cukup banyak Muslim Indonesia yang menjadi mahasiswa, bekerja, maupun karena pernikahan memilih tinggal di Eropa. Dialog-dialog keagamaan dalam bingkai fikih Islam untuk menuntun kehidupan kiranya menjadi tema menarik. Bagaimana menjelaskan Islam damai ini kepada politisi seperti Guenther Beckstein, kiranya menjadi tantangan berikutnya.

http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=157089&kat_id=16

Monday, March 15, 2004

Kegagalan Pembangunan Pertanian di Indonesia

From: Estananto <estananto@y...>
Date: Mon Mar 15, 2004 1:26 pm
Subject: Kegagalan Pembangunan Pertanian di Indonesia


Senin, 15 Maret 2004




Kegagalan Pembangunan Pertanian di Indonesia


Syaiful Bahari

LAPORAN Fokus (Kompas, 17/1/2004) tentang Kisruhnya
Politik Pangan banyak menguak tabir persoalan pangan
dan pertanian di Indonesia yang tak pernah selesai
dari dulu hingga sekarang. Beberapa narasumber telah
menyoroti akar persoalan dari mulai kebijakan
produksi, impor, keterbatasan lahan, sampai pada
kelembagaan di sektor pertanian.

Namun, keseluruhan pandangan itu belum secara tegas
menyatakan jalan apa yang harus ditempuh Indonesia
dalam membenahi masalah pangan dan sektor pertanian.
Sebagian lebih menggunakan pendekatan produksi, pasar,
dan mekanisme perdagangan yang selama ini menjadi
bagian dari paradigma pembangunan pertanian di masa
Orde Baru (Orba). Tulisan ini dimaksudkan memberi
pandangan lebih mendasar tentang kegagalan pembangunan
sektor pertanian di Indonesia sekaligus langkah apa
yang perlu ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah
pangan yang kian mengemuka.

SEJAK awal tahun 1970, paradigma pembangunan pertanian
di Indonesia berubah drastis seiring perubahan
paradigma pembangunan ekonomi kapitalistis yang
bertumpu pada modal besar. Dalam kerangka pembangunan
ekonomi saat itu, sektor pertanian tidak lagi
ditempatkan sebagai fondasi ekonomi nasional, tetapi
dijadikan buffer (penyangga) guna menyukseskan
industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan
ekonomi.

Sebagai penyangga, yang terpenting bagi pemerintahan
Orba adalah bagaimana mendongkrak produksi pangan
dalam negeri tanpa harus berbelit-belit, cepat, dan
tidak berisiko secara politik. Pilihan ini sebagai
antitesis program land reform di masa Orde Lama (Orla)
yang dijadikan landasan utama dalam program
pembangunan pertanian semesta. Kebetulan pada saat
bersamaan arus global politik-ekonomi dunia
memperkenalkan revolusi hijau sebagai lawan dan
alternatif revolusi merah.

Orba yang sejak kelahirannya menganut ideologi ekonomi
kapitalis cenderung melaksanakan pembangunan
pertaniannya melalui by-pass approach (jalan pintas),
yaitu revolusi hijau tanpa reformasi agraria
(pembaruan agraria). Karena itu, pembangunan di
Indonesia oleh Rohman Sobhan (1993) disebut sebagai
development without social transition (Wiradi, 1999).

Perubahan paradigma ini menciptakan missing link dalam
pelaksanaan pembangunan pertanian dari satu periode ke
periode lain. Pertanian tidak lagi dipandang dalam
aspek menyeluruh, tetapi direduksi sebagai sekadar
persoalan produksi, teknologi, dan harga. Tanah
sebagai alas pembangunan pertanian tidak dianggap
sebagai faktor amat penting. Persoalan keterbatasan
lahan petani yang rata-rata hanya memiliki 0,25
hektar, menurut Syaiful Bahari dari Bimas Ketahanan
Pangan, dapat diatasi dengan menempuh non-land based
development (Kompas, 17/1/2004), bukan dengan merombak
dan menata kembali struktur penguasaan tanah yang
lebih adil dan merata melalui reformasi agraria. Cara
pandang seperti ini merupakan cermin jalan pintas yang
mendominasi kebijakan dan strategi pembangunan
pertanian sejak masa Orba hingga sekarang.

Keberhasilan Orba dalam swasembada pangan terutama
beras pada tahun 1986 tidak sepenuhnya dapat dipandang
sebagai kebenaran paradigma dalam meningkatkan
kesejahteraan petani. Beberapa hasil penelitian yang
dilakukan Survei Agro Ekonomi (SAE) dan
lembaga-lembaga lain menunjukkan, justru di saat
produksi beras mencapai titik puncak, jumlah petani
gurem kian meningkat dari 50,99-persen menurut Sensus
Pertanian 1983-menjadi 51,63 persen tahun 1993 dan
berdasarkan sensus tahun 2003 terjadi peningkatan 2,6
persen per tahun. Hasil penelitian di tingkat mikro di
beberapa desa memperjelas keterkaitan antara
kepemilikan lahan, tingkat kemiskinan, dan kerawanan
pangan. Kelompok masyarakat paling miskin dan rawan
pangan di pedesaan adalah petani gurem dan buruh tani.

Lantas ke mana larinya surplus pangan itu? Siapa yang
memetik keuntungan jerih payah petani? Mengapa tidak
terjadi transformasi sosial-ekonomi pedesaan di saat
pertanian telah menciptakan surplus? Kelompok yang
paling diuntungkan selama zaman emas adalah kaum
industrialis. Kebijakan politik-ekonomi Orba
menggunakan surplus pertanian guna menyubsidi sektor
industri lewat politik pangan murah untuk menjaga
stabilitas upah buruh demi mempercepat proses
industrialisasi.

Di beberapa negara seperti China dan Korea Selatan,
strategi itu digunakan. Namun, ketika industri telah
menghasilkan surplus, sebagian keuntungan dikembalikan
lagi ke sektor pertanian. Hal inilah yang tidak
terjadi di Indonesia. Kasus Indonesia, setelah
pertanian diperas habis lantas ditinggalkan. Surplus
industri justru dipakai untuk konsumsi barang mewah,
pembangunan properti, dan sebagian lagi dibawa lari ke
luar (capital outflow). Pertanian hanya ditempatkan
sebagai subordinasi sektor industri sehingga tidak
pernah terjadi transformasi sosial-ekonomi di pedesaan
maupun tingkat nasional.

PERSOALAN pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi
dan produksi, tetapi juga soal daya dukung sektor
pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang
menjadi prasyarat melaksanakan pembangunan pertanian:
(1) akses terhadap kepemilikan tanah; (2) akses input
dan proses produksi; (3) akses terhadap pasar; dan (4)
akses terhadap kebebasan.

Dari keempat prasyarat itu yang belum dilaksanakan
secara konsisten adalah membuka akses petani dalam
kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk
berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam
berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari
kedua hal itu karena dianggap mempunyai risiko politik
tinggi. Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan
pada produksi dan pasar.

Padahal, apabila kita bercermin pada kisah sukses
pembangunan pertanian di Jepang, Thailand, Korea
Selatan, Taiwan, China, dan Vietnam, semuanya tidak
terlepas dan diawali dengan perombakan dan penataan
kembali struktur penguasaan tanah yang timpang melalui
program reformasi agraria. Reformasi agraria sendiri
mencakup redistribusi tanah kepada petani gurem dan
buruh tani, penataan produksi melalui pembangunan
infrastruktur pertanian, fasilitas permodalan dan
teknologi tepat guna, penguatan kelembagaan/organisasi
petani dalam bentuk koperasi atau asosiasi petani, dan
proteksi terhadap produk-produk pertanian.

Keberhasilan negara-negara itu dalam pelaksanaan
reformasi agraria telah memberi landasan kuat guna
menempuh jalan industrialisasi dan transformasi
sosial-ekonomi dalam skala nasional. Dapat dikatakan,
reformasi agraria hingga kini adalah jalan terbaik
bagi negara-negara agraris seperti Indonesia untuk
melakukan transformasi sosial-ekonomi dan membangun
fondasi ekonomi nasional yang kokoh. Sayang, di
Indonesia isu reformasi agraria masih menjadi momok
menakutkan karena dianggap sebagai warisan konflik
berdarah tahun 1965. Selain itu, pemerintah juga masih
amat percaya dengan resep non-land based development
sebagai cara efektif untuk mengatasi krisis pangan dan
sektor pertanian. Kita hanya bisa membanggakan
kesuksesan negara-negara Asia yang disebutkan di atas
tanpa melihat konteks sejarahnya.

Sebenarnya, sudah sejak lama masalah ketimpangan
penguasaan tanah ini terjadi, bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka. Persoalan ini merupakan warisan
kolonial Belanda yang belum pernah terselesaikan
hingga kini. Program land reform yang dilaksanakan
pertengahan tahun 1960-an akhirnya kandas di tengah
jalan seiring perubahan sistem politik dan ekonomi di
bawah Orba.

Jadi, agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu,
tidak ada jalan lain untuk membangun pertanian yang
kuat, kecuali keempat prasyarat yang sudah dijelaskan
di atas harus dipenuhi lebih dahulu. Jangan sampai
kita membangun pertanian seperti membangun rumah di
atas angin, tanpa disediakan alasnya lebih dulu.

Syaiful Bahari Wakil Direktur Eksekutif Sekretariat
Bina Desa

Tuesday, March 02, 2004

Seandainya saya jadi Presiden

From: "estananto" <estananto@y...>
Date: Tue Mar 2, 2004 6:11 pm
Subject: Seandainya saya jadi Presiden


(beberapa waktu yang lalu ada gagasan membuat artikel
semiserius "Seandainya saya jadi Presiden", sayang belum ada yang
menanggapi.)

You can not have a socially just society with high levels of chronic
unemployment. It is not in my view possible to have a just society
with mass-unemployment. Therefore employment and a generation of
employment again all know it, we have to deliver on it, has to be a
core part of what a just society is in contemporary conditions.

Anthony Gidden

Indonesia masih (selalu) ada di simpang jalan. Ia belum pernah sukses
memutuskan akan ke mana langkah selanjutnya. Perdebatan tentang
bentuk ekonomi apa yang harus diterapkan di Indonesia, apa itu
ekonomi Pancasila, bagaimana penjabaran pasal 33 UUD 1945 (lama), dan
peran kapitalisme internasional dalam kebijakan pemerintahan telah
menjadi tarik menarik berbagai kepentingan, sementara posisi
Indonesia dalam persaingan global makin terpuruk ketika bintang-
bintang baru seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam lambat laun naik
sebagai alternatif penanaman modal.

Sementara 10,8 juta penganggur terbuka bangsa Indonesia belum tahu
harus bagaimana menempuh nasibnya, belum ada visi dan misi yang jelas
dari pemerintah untuk memerangi pengangguran, bahkan juga memerangi
korupsi yang telah membudaya itu. Kita harus menemukan cara baru
untuk mengatasi dua masalah besar ini.

Ada satu lingkaran setan yang harus diputus: mengatasi korupsi
membutuhkan aksi struktural dan kultural sekaligus, untuk melakukan
kedua aksi tersebut dibutuhkan politisi dan aparat pemerintahan yang
bersih. Di sisi lain masih dipermasalahkan anggaran pendidikan yang
diamanatkan besarnya hingga 20% dari anggaran negara.

Saya melihat, pengangguran adalah masalah terbesar jangka pendek yang
harus segera diatasi. Caranya dengan mengalokasikan dana pendidikan
sebagai dana training keterampilan terutama dalam bidang-bidang
jasa&pelayanan, manajemen, hukum, dan teknik (mesin, elektro,
informatik). Penekanan kepada keahlian praktis bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kaum buruh (termasuk pembantu rumah tangga dan
TKI); perusahaan yang secara reguler memberikan pelatihan kepada
buruhnya akan mendapat keringanan pajak. Sekolah Menengah Kejuruan
dan Politeknik akan menjadi ujung tombak pendidikan nasional, Balai
Latihan Kerja harus ditambah agar buruh yang sudah bekerja dapat
meningkatkan keahliannya.

Dampak kedua, terutama dengan ditingkatkannya pelatihan manajemen
kepada rakyat adalah diharapkan jumlah Usaha Kecil Menengah (UKM)
yang dapat diandalkan akan meningkat. Di samping itu dengan
pengetahuan hukum praktis, dengan kursus-kursus hukum bagi rakyat,
diharapkan rakyat akan mampu menegakkan law enforcement dari bawah.
Jadi pemberantasan korupsi harus dilakukan from above and from bottom
secara simultan. Pembersihan aparat kehakiman dengan bantuan rakyat;
Rasionalisasi gaji aparat penegak hukum secara berangsur dalam bentuk
bonus (jika pemasukan negara dapat dinaikkan, mereka akan mendapat
bonus tahunan); rasionalisasi gaji pegawai negeri dalam bentuk
reformasi birokrasi yang telah dimulai sekarang; semuanya dilanjutkan
dalam sebuah sistem terpadu.

Investor asing diharapkan masuk ketika melihat keberhasilan pelatihan
massal ini. Setelah sistem hukum berangsur kuat, pemerintah dapat
mengucurkan kredit kepada UKM yang baru tumbuh, dengan prioritas UKM
yang mengelola hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan dengan
nilai tambah teknologi hingga ke pemasaran dan menyerap lebih dari
100 tenaga kerja. Teknologi tinggi seperti semikonduktor, pesawat
terbang, kereta api, dan permesinan diupayakan dengan cara modal
patungan dalam negeri dan asing. Peran aktif perguruan tinggi teknik
harus lebih ditingkatkan sehingga 20% penghasilan perguruan tinggi
teknik didapat dari kerjasama dengan industri.

Industri pariwisata diarahkan untuk menjual keindahan alam dengan
membangun infrastruktur yang cukup (transportasi, penginapan, dan
pelayanan) kepada turis mancanegara dan domestik. Tawaran pariwisata
petualangan (adventurir) mempunyai pasar yang cukup besar, seraya
menghindari citra pariwisata seksual. Lebih jauh pariwisata untuk
keluarga (dua orang tua dan anak-anak) menjadi target berikut untuk
dicapai, dengan motto "Family Holiday in a Tropical Country".

Target umumnya adalah mengurangi pengangguran terbuka hingga 3 juta
orang saja pada tahun 2009, meningkatkan pemasukkan pajak sebesar
15%, dan meningkatkan kepercayaan internasional serta kepercayaan
diri bangsa.

Budaya bangsa harus disesuaikan dengan tantangan masa depan dan tidak
melulu menoleh ke belakang. Sendi-sendinya adalah "terbuka, jujur,
menghargai kerja, solider, dan religius". Selain itu harus ada
peraturan setingkat UU yang mengatur anti-diskriminasi warga negara
berdasarkan warna kulit, suku, dan agama. Negara harus membantu
memberdayakan masyarakat agar kuat menjadi partnernya.

Wednesday, February 25, 2004

Underground Economy

From: Hokan@t...
Date: Wed Feb 25, 2004 8:02 pm
Subject: Re: [LISI] Underground economy Re: Fwd: Individualisme


Bung Nano,

Kalau di Jerman ekonomi gelap istilahnya Schattenwirtschaft = ekonomi bayangan dan setahu saya sekarang kira2 18% dari yang resmi, jadi lonjak hebat dibandingkan dulu yaitu sekitar 12-13%. Angka2 ini ada sebab ada segudang lembaga2 statistik ekonomi di banyak universitas yang monitor terus menerus.

Di jaman Blanda setahu saya Boeke memperhatikan hal ini dan menulis theori tentang ekonomie dual di Indonesia. Kawan2 LSM di Solo setahu saya sudah menterjemahkan bukunya 20 tahun yang lalu.

Waktu itu petani2 kita sudah pandai menyembunyikan jumlah panen sebagai bentuk perlawanan pasiv (sekarang tentu sama saja). Perdagangan sayur dan palawija juga
terjadi malam hari, sebab kalau tidak barang2 itu rusak terpanggang matahari, sebab itu memang yang mau monitor ekonomi desa harus rajin bangun pagi.

Integrasi sektor gelap kedalam sektor resmi memang semacam integrasi dari ekonomi rakyat pinggir kedalam ekonomi nasional. Tahun 60-an setahu saya kebanyakan perusahaan2 menengah masih belum terdaftar dikantor pajak, hanya bayar pajak desa saja. Waktu itu saya dengar2 diskusi2 orang2 tua mereka menaksir ekonomi gelap kira 2 x dari yang terang.

Berapa angka itu sekarang saya terus terang tidak tahu, tetapi biasanya orang2 menduga gelap 50% dari yang terang. Angka ini sangat moderat mengingat Junani saja gelap dan terang masih sama besarnya. Dipihak lain dengan adanya minyak bumi sektor negara sangat dominan, tapi berapa produksi BUMN yang benar? Jadi memang angka2 dasar kita penuh tanda tanya. Sebab itu memang proyek2 reformasi ekonomi sementara ini hanya bisa dijalankan dengan trial and error saja. Dalam hal ini kita ahli banget.

Nb. saya 4 tahun lalu pernah tulis review kasar mengenai ekonomi kita. Kalau belum dapat saya kirim.

Wasalam


hok An

Friday, February 20, 2004

UU Sumber Daya Air

Jumat, 20 Februari 2004

Pengesahan UU Air Diwarnai Walk Out

Laporan : uba/ant


JAKARTA -- DPR dan pemerintah, akhirnya, mengabaikan
keberatan publik terhadap isi Rancangan Undang-Undang
Sumber Daya Air (RUU SDA). Kemarin (19/2), rapat
paripurna DPR menyetujui RUU tersebut untuk disahkan
menjadi undang-undang dengan sejumlah catatan. Namun,
Fraksi Reformasi yang menolak pengesahan tersebut
melakukan aksi walk out.

Sejak awal, RUU ini menuai kontroversi. Bahkan,
pengesahannya mengalami penundaan. Masyarakat menolak
materi RUU tersebut karena akan mengomersialkan sumber
daya air. Mereka khawatir peraturan ini akan
menimbulkan konflik antara investor dan masyarakat.
Masyarakat akan kehilangan akses terhadap sumber air
seperti mata air, sungai, dan sebagainya.

Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR AM Fatwa,
Fraksi Reformasi menyatakan isi RUU tersebut
bertentangan dengan ketentuan bahwa air adalah milik
rakyat. Karena itu, anggota Fraksi Reformasi
menyatakan tak ikut bertanggung jawab terhadap aturan
ini dengan mengajukan minderheid nota (nota
keberatan).

Menjelang pengesahan, tiba-tiba anggota FKKI Astrid
Soesanto juga menyampaikan minderheid nota. ''Penjajah
Belanda saja mengakui air sebagai sumber daya milik
rakyat,'' katanya. Dia menganggap pengesahan RUU ini
tergesa-gesa dan sangat dipaksakan. Padahal,
pemerintah belum melakukan sosialisasi atas RUU ini.

Hakam Naja dari Fraksi Reformasi mengatakan kehidupan
rakyat akan terancam secara serius. Bahkan, ia
khawatir akan terjadi konflik sosial, konflik
lingkungan, dan konflik adat. Kekhawatiran lainnya
adalah akibat dominasi swasta, maka kepentingan
pertanian akan terancam. Karena itu, ada upaya untuk
mengajukan UU ini ke Mahkamah Konstitusi untuk
dilakukan judicial review.

Menkimpraswil Soenarno, yang hadir dalam rapat
paripurna menyatakan lega bahwa RUU ini telah
disetujui oleh DPR. Pihaknya akan memperhatikan
cacatan fraksi-fraksi. Soenarno menegaskan, pemerintah
akan menerbitkan delapan PP, yaitu tentang pengelolaan
air, hak guna air, air minum, air tanah, irigasi,
sungai, danau, dan waduk, serta PP tentang pembiayaan.
''Paling lambat satu tahun delapan PP sudah harus
selesai agar UU ini bisa segera diimplementasikan,''
katanya.

Kemarin, mahasiswa dari berbagai universitas
se-Jakarta dan Bogor menggelar aksi unjuk rasa di
depan gedung DPR untuk menentang pengesahan RUU
tersebut. Mahasiswa yang datang dari berbagai
perguruan tinggi negeri dan swasta di Jakarta dan
sekitarnya menyatakan menolak seluruh isi aturan
tersebut.

Menurutnya, di berbagai negara, UU semacam ini selalu
mengorbankan rakyat kecil. Mereka menuduh UU ini hanya
akan mengokohkan dominasi kapitalisme asing yang
menyusup lewat UU.

Di tempat terpisah, mantan Presiden KH Abduurahman
Wahid mengatakan RUU itu hanya akan mengesahkan sitem
monopoli air kepada sebuah perusahaan. Selain itu,
pengesahan ini adalah nyata-nyata tindakan
terang-terangan melanggar UUD 1945. ''Saya yakin,
seperti terjadi pada kasus privatisasi air di
Filipina, nantinya harga air akan menjadi lima kali
lipat dari harga yang sekarang. Sangat berbahaya,''
katanya.

Karena itu, ujarnya, selain dilakukan judicial review,
UU ini bisa diamandemen. ''Kami tahu bahwa usulan
privatisasi air ini adalah usulan IMF dan juga
dorongan dari perusahaan air asing yang terus
merugi,'' katanya.

Friday, February 06, 2004

Ihwal Perang Melawan Gerilya di Aceh

From: "estananto" <estananto@y...>
Date: Fri Feb 6, 2004 10:19 am
Subject: Kompas: Ihwal Perang Melawan Gerilya di Aceh


Dear LISIers,

Tampaknya memang tidak ada cara lain selain mengupayakan solusi politik:

1. NAD dan Papua dikeluarkan dari NKRI, untuk selanjtnya bergabung dalam suatu negara federal, Republik Nusantara Serikat (RNS). Ada tiga negara bagian: NAD, NKRI, dan Papua. Tujuannya adalah memberikan lebih banyak keterwakilan dalam legislatif nasional.

2. RNS membuat kontrak negara dengan NAD dan Papua, bahwa Referendum akan diselenggarakan dalam jangka 50 tahun, apakah NAD dan Papua masih akan bergabung dalam RNS, melebur ke dalam NKRI, atau merdeka berdiri sendiri.

3. Baik NAD dan Papua diperkenankan memiliki hukum sendiri.

4. TNI akan menjadi tentara federal.

Salam,
Nano


Jumat, 06 Februari 2004

Ihwal Perang Melawan Gerilya di Aceh


OPERASI militer di Aceh yang sempat melahirkan sejenis eforia dan mengangkat citra TNI tiba-tiba senyap begitu saja ketika TNI mulai mengisolasi daerah ini.

Apa yang berlangsung menjelma mirip "perang yang dirahasiakan". Akuntabilitasnya samar, atau bahkan mustahil. Sebab, kecuali TNI, tidak satu pun orang luar tahu persis yang terjadi di Aceh.

Kalangan pers sendiri memilih menjauh dari Aceh setelah penguasa darurat militer membuat berbagai ketentuan yang membatasi gerak wartawan. Lebih parah lagi nasib lembaga swadaya masyarakat, khususnya yang bergerak di bidang advokasi hak asasi manusia (HAM) dan hukum. Sejumlah aktivisnya digelandang ke sel tahanan. Bahkan
ada yang terjungkal ditembus peluru. Sementara semua warga negara asing, termasuk diplomat, dilarang memasuki Aceh.

Penguasa Darurat Militer Aceh (PDMA) menyebut alasan keamanan. Tetapi semua orang tahu bahwa Pemerintah RI memang sengaja mengisolasi Aceh untuk memadamkan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam doktrin perang melawan gerilya disebut sebagai proses memisahkan ikan dari air.

Pemerintahan Presiden Megawati bukannya tidak tahu bahwa kebijakan seperti ini cenderung lepas kendali. Terbukti, kritik internasional atas pelanggaran HAM dan isolasi Aceh makin marak akhir-akhir ini di forum internasional. Lantas, apa yang dicapai melalui kebijakan darurat militer tersebut?

OPERASI militer menghadapi gerilya disebut sebagai perang asimetris. Dua kekuatan yang tidak berimbang terlibat dalam konflik terbuka dengan menggunakan kekerasan. Atau dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai perang si lemah melawan si kuat.

Dalam konflik demikian, si lemah akan menghindari konfrontasi langsung dengan si kuat. Namun, pada saat lengah, ia akan melakukan penyerangan dan penghadangan. Tujuannya merontokkan moral pasukan pemerintah, sekaligus propaganda kepada rakyat bahwa pasukan pemerintah tidak sekuat yang dibayangkan.

Kekuatan pasukan gerilya bukan pada skala kemampuan militernya, melainkan pada dukungan rakyat. Rakyat menyembunyikan mereka, menyiapkan logistik, dan menyampaikan informasi intelijen. Singkatnya, rakyat merupakan sumber kehidupan gerilya. Di India, Myanmar, dan Amerika Selatan, usia perlawanan bersenjata ini mencapai puluhan tahun akibat dukungan dan simpati rakyat.

Kendala operasi militer pemerintah terkait dengan sulitnya mengidentifikasi gerilyawan yang hidup di tengah masyarakat biasa. Sebaliknya, gerilyawan mengetahui gerak-gerik lawannya. Bahkan, seperti di Aceh beberapa tahun lalu, misalnya, mereka duduk di kedai kopi bersama prajurit TNI.

Dukungan dan simpati rakyat terhadap gerilyawan merupakan fungsi kontradiksi karakter rezim berkuasa dengan ideologi perjuangan gerilya. Jeff Goodwin (The Limit of Repression: A Qualitative Comparative Analysis of Counter-Insurgency, 2001) menulis, makin represif suatu rezim akan makin luas dukungan atau simpati rakyat terhadap perjuangan gerilyawan.

Dalam sistem yang represif, gerilyawan tampil sebagai pembela rakyat. Mereka menawarkan alternatif masa depan, di samping sekaligus menggerogoti legitimasi pemerintah melalui aksi bersenjata.

Akan tetapi, pemerintah kerap mengabaikan bahwa perlawanan gerilya bukanlah perang dalam arti sesungguhnya. Ia hanyalah bagian dari perjuangan politik. Kecuali revolusi komunis di Cina, Kuba, negara-negara di Asia Tenggara, dan Kongo, pimpinan gerilyawan tidak pernah bermimpi mengalahkan pemerintah berkuasa secara militer.

BAPAK perang gerilya modern, Mao Tse Tung, menganalogikan hubungan gerilyawan dengan rakyat ibarat ikan dengan air. Menurut Mao, ikan hanya dapat tumbuh dan berkembang di air yang bersih. Ini artinya, gerilyawan wajib menjaga air agar tidak tercemar. Mao menyebut mereka yang merugikan rakyat sebagai kriminal.

Mao tidak banyak membicarakan soal taktik dan kekuatan bersenjata gerilya. Bahkan tiga tahap perang gerilya yang disebutnya–defensif, kebuntuan, dan ofensif–bukan diukur dari kekuatan bersenjata gerilyawan, melainkan tingkat kesadaran rakyat.

Pemikiran Mao Tse Tung menginspirasikan para teoretikus perang melawan gerilya. Mereka beranggapan, hal sebaliknya akan berlaku. Mengalahkan gerilyawan harus dilakukan dengan memisahkan atau mengisolasinya dari rakyat. Pemikiran ini dibakukan dalam doktrin perang melawan gerilya.

Dalam praktik, isolasi ini tidak semudah mengucapkannya karena menyangkut upaya merebut hati rakyat. Untuk itu dibutuhkan kesabaran dan kerendahan hati militer. Masalahnya, apakah mungkin hal ini dilakukan tentara pemerintah?

Ho Chi Minh, Jenderal Nasution atau Mao Tse Tung, memang menyebutnya demikian. Sebaliknya, Amerika Serikat (AS) menganggap cara ini kuno dan dapat merusak kebanggaan korps militer.

Lantas untuk itu ditempuh jalan pintas tanpa meninggalkan metode militer, yakni dengan menciptakan kontragerilya dan kontrateror. Atau lebih umum dikenal sebagai pseudo- gerilya. Dalam pemikiran militer AS, pelaku gerilya melakukan teror dan intimidasi untuk beroleh dukungan rakyat.

Lantas bersama dengan anggota gerilya yang berhasil ditangkap dan dicuci otaknya, pasukan pemerintah membentuk sejenis kelompok gerilyawan gadungan. Mereka kemudian melakukan aksi kekerasan, penculikan, pemerasan, pembunuhan, peledakan bom, pembakaran rumah-rumah penduduk, dan konflik horizontal.

Teror terhadap penduduk dimaksud untuk menciptakan ketakutan. Warga mengira pelakunya anggota gerilya. Mereka akan mencari perlindungan kepada pasukan pemerintah. Jika kondisinya demikian, ikan berhasil dipisahkan dari air. Langkah berikutnya membentuk pengamanan swakarsa dan kelompok milisi.

Inggris dan Perancis juga menggunakan cara demikian, namun didukung dengan kebijakan politik dan penegakan hukum. Sebab, dalam banyak kasus, metode demikian berakibat buruk terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Lebih parah lagi dampaknya pada mental dan disiplin prajurit. Mereka menjadi mirip "raja-raja perang".

Kasus pasukan liar yang sempat dihebohkan tahun 1998-1999 di Aceh merupakan bagian dari penerapan metode perang melawan gerilya tersebut. Eksesnya, pembunuhan massal, termasuk kasus pembantaian Teungku Bantaqiah dan para santrinya.

KITA tidak mengatakan peledakan bom serta pembakaran gedung-gedung pemerintah dan sekolah di Aceh beberapa tahun lalu merupakan bagian dari metode pseudo-gerilya tersebut. Namun, tertangkapnya sejumlah anggota militer aktif dan desertir, yang kemudian divonis dalam kasus peledakan bom Gedung Bursa Efek Jakarta, cukup mengejutkan masyarakat.

Demikian pula ketika aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya berhasil mengungkap jaringan peledakan bom yang sebelumnya disebut-sebut dilakukan GAM di Jakarta dan kota lain. Mereka ternyata para "desertir" TNI. Sementara dalam peristiwa pembakaran gedung sekolah yang marak ketika operasi militer dimulai di Aceh, siaran radio BBC dan media internasional, mengutip saksi mata, melihat anggota militer sebagai pelakunya.

Pemerintah AS mengakui gawatnya kerusakan moral akibat metode perang melawan gerilya tersebut. Dengan berakhirnya Perang Dingin awal tahun 1990, AS telah meninggalkannya. Celakanya, banyak perwira menengah dan tinggi di negara-negara sedang berkembang sempat mengenyam kursus militer di AS.

Mereka menggandrungi jalan pintas "merebut hati rakyat" tersebut, walaupun tahu tidak akan menyelesaikan konflik, sebab dengan cara ini militer sangat berkuasa. Makin lama keadaannya demikian, makin lama pula kekuasaan itu bertahan. Tidak heran jika upaya penyelesaian melalui proses politik selalu gagal.

Inilah salah satu faktor penyebab konflik yang berlarut-larut, bahkan sampai puluhan tahun. Wilayah konflik kemudian berubah menjadi daerah tidak bertuan. Atau, menurut Prof Steven Metz (The Future of Insurgency, 1993), memunculkan para bandit yang menguasai pasar gelap, narkoba, perdagangan senjata, dan penyelundupan.

STATUS darurat militer yang diberlakukan Presiden Megawati di Aceh sejak Mei lalu pastilah belajar dari kegagalan daerah operasi militer Jaring Merah yang diberlakukan di Aceh selama sembilan tahun (1989-1998). Operasi yang mengerikan ini tidak menghasilkan apa pun, kecuali ribuan mayat manusia, dendam, dan meluasnya dukungan rakyat terhadap GAM. Di sini kekerasan hanya mereproduksi kekerasan baru.

Selama darurat militer, TNI telah menembak mati lebih dari 1.000 anggota GAM. Jumlah mereka yang ditangkap jauh lebih besar lagi. Dibandingkan dengan jumlah korban tewas di pihak TNI/Polri, angkanya lebih kecil dari 1:10. Namun, sejauh ini senjata GAM yang disita TNI baru berkisar 20 persen.

Sementara itu, jumlah penduduk sipil yang tewas dikabarkan lebih dari 300 orang. TNI menuding pelakunya GAM. Sebaliknya, GAM menuding TNI. Lepas dari siapa pun pelakunya, semua ini menambah dalamnya luka masyarakat. Menghancurkan apa yang pernah dibangun dengan susah payah.

Namun, dengan pengorbanan demikian besar, termasuk mengisolasi Aceh, belum satu petinggi militer GAM pun berhasil ditangkap. Kecuali Sayid Adnan, Gubernur GAM Wilayah Pasee, yang ditembak mati dalam kontak senjata di Buket Seuntang, Lhok Sukon, Aceh Utara, 16 Januari 2004.

Kita harus becermin bahwa konflik Aceh sudah berlangsung lebih dari 27 tahun. Dari tahun ke tahun intensitasnya meningkat. GAM yang tadinya hanya berbekal lusinan senjata tua kini memiliki lebih dari 2.000 pucuk, setara dengan milik TNI. Komunikasi sesama mereka menggunakan telepon satelit, jauh lebih baik dibandingkan dengan TNI.

Jeff Goodwin yang melakukan studi banding di sejumlah negara bergolak menemukan bukti, perlawanan bersenjata hanya ampuh diselesaikan melalui proses politik. Persoalannya, apakah mungkin hal tersebut dilakukan saat kekuasaan pemerintah pusat begitu lemahnya dan sarat korupsi? (maruli tobing)

Tuesday, January 27, 2004

FSD dan Kekuasaan Negara

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/27/opini/821878.htm

FSD dan Kekuasaan Negara


Oleh Sonny Mumbunan

HEBE de Bonafini, pemimpin Mothers of Plaza de Mayo, organisasi
rakyat yang lahir dari rahim krisis Argentina, berujar
keras, "Kalian, tuan-tuan, adalah musuh kami." Tak berhenti di situ,
sembari menunjuk George Soros, spekulan pasar uang ternama, ia
mencerca, "Kalian adalah monster, kaum munafik."

Ekspresi kerasnya disiarkan luas saluran televisi yang meliput debat
tim Forum Sosial Dunia (FSD) Porto Alegre dengan tim Forum Ekonomi
Dunia (FED) Davos-dua forum yang memaknai globalisasi dengan logika
berpunggungan.

Bagi negeri seperti Argentina, neoliberalismo memang melahirkan
begitu banyak cacerolazos-pemukul panci simbol protes-dan piquetes-
buruh PHK yang memblokade jalan-sebagaimana Enron yang bangkrut
serta monster lain berlabel Al Qaeda.

Dalam setiap kali penyelenggaraan FSD, kental terasa kesan "mereka"
dan "kami". Tak terkecuali di Mumbay, India, ribuan pegiat sosial
menempatkan nilai- nilai, seperti solidaritas, persamaan, demokrasi,
keberlanjutan dan partisipasi, berhadapan-hadapan diametrikal dengan
kompetisi, ketamakan, ketidakadilan, dan pengabaian.

Dari watak internasionalisnya, terang mereka bukan
penggerak "antiglobalisasi". Sebuah misnomer-kekeliruan penamaan-
yang dijadikan judul berita utama Kompas (17/1/2004). Sebaliknya,
mereka adalah globalis perlawanan yang mengonsepsikan "dunia lain
yang mungkin". Sebuah tatanan yang diharap mengabdi pada kebutuhan
umat manusia, bukan pada penggandaan modal dan penundukan pasar atas
segala aspek hidup.

Sesungguhnya bukan kebetulan bila FSD berkali-kali diselenggarakan
di Brazil dan sekarang di Mumbay, India. Di Brasil, Partai Buruh
adalah partai kiri yang berkuasa. Begitu pula adanya di India,
terutama Kerala dan Bengali Barat.

Lepas dari keterbatasan dan kekurangannya, participatory budgeting
di Porto Alegre atau reformasi participatory budgeting di Bengali
Barat adalah model terkini bagaimana rakyat menentukan langsung dan
organik pengambilan keputusan dan relasi dengan negara (Jan
Pieterse, Participatory Democracy Reconceived, dalam Futures 33,
2001). Serius! Di Brasil rakyat miskin menyusun RAPBD!

Selebihnya, Partai Buruh bahkan mampu membangun aliansi yang hidup
antara gereja, universitas, dan gerakan rakyat, termasuk pengusaha
kecil. Bersama-sama mereka menghadapi korupsi, klientalisme, dan
reformasi ekonomi neoliberal. Di tempat ini partisipasi dan
kecerdasan rakyat menjadi faktor endogen dalam setiap penyusunan
kebijakan negara.

Dekadensi sosial demokrasi

Bila neoliberalisme-solusi kapitalisme global-adalah titik banding,
titik lainnya berada di bidang antara stalinisme dan sosial
demokrasi. Ia mungkin berwujud socialist renewal atau semacam
sosialisme demokratik. Konsepsi masyarakat ini diyakini lebih unggul
perihal alokasi distributif sumber daya dan surplus sosial.

Meski negara relatif mampu menyediakan kebutuhan dasar warganya,
tabiat antidemokrasi ekonomi dan politik stalinisme tidak seturut
dengan upaya emansipasi utuh umat manusia.

Akan halnya dekadensi sosial demokrasi, Partai Buruh Brasil,
misalnya, dalam dokumen kongres menjelang Pemilu 1994, mempunyai
alasan menarik mengapa mereka menolak sosial demokrasi: kekalahan
elektoral di banyak negara, skandal korupsi, dan terutama yang
paling tragis, kompromi dengan ekonomi neoliberal.

Meski secara umum semangat anti- korporasi, antineoliberalisme, dan
anti- imperialisme begitu meraja, opini dalam FSD sendiri terlalu
beragam. Inilah keunggulan sekaligus kelemahan FSD. Untung karena
representasi masyarakat dunia yang semakin luas, baik isu maupun
opini. Kelemahan karena kesempatan berdebat lebih dalam menjadi
kurang. Di samping, kesulitan menghasilkan fokus isu dan aksi
politik hal mana telah disadari sejak kali pertama FSD.

Saat FSD II, beberapa kekuatan konservatif dalam FSD berusaha
membangun dialog antara FSD dan FED, harap-harap kapital bisa lebih
manusiawi. Bagi mereka masuk akal, kedua forum ini dianggap mewakili
civil society. Sejumput orang kaya, pemilik modal, serta jutaan
massa miskin sama-sama merupakan stakeholder atas dunia.

Sementara LSM radikal dan organisasi berbasis massa luas menyerukan
mobilisasi rakyat.

Mendedah wajah buruk neoliberalisme dan semua kebijakan turunannya
memang lebih mudah. Demikian pula saat mencela Konsensus Washington.
Baik konsensus yang "asli", seperti privatisasi, deregulasi,
liberalisasi, disiplin fiskal, dan pengagungan HAKI. Atau, konsensus
augmented semisal pasar kerja dan upah lentur, corporate governance,
kesepakatan WTO, Bank Sentral "independen". Namun, tidak demikian
mudah ketika sampai pada konsepsi alternatif.


Dari Porto Alegre dan Mumbay, kita kembali ke Tanah Air. Di sini
kita mendapati 24 peserta kontes Pemilu yang bermanis-manis, mematut
diri di depan massa yang tak henti kehilangan pekerjaan dan
menurunnya akses pada pendidikan dan kesehatan murah.

Tesis Robison perihal kontradiksi kapitalisme Indonesia dalam The
Rise of Capital (1996) sebagian masih sahih. Cuma, modal
internasional tidak perlu mengeluarkan tenaga lebih banyak. Dalam
ruang tersisa modal lokal saling berebut, termasuk militer yang
mulai percaya diri dan terkonsolidasi baik. Pascapemilu, pembagian
beban krisis akan semakin berat ke kelompok masyarakat kecil dan
rakyat miskin.

Pengalaman Brasil bisa diacu secara kritis. Gabungan elektoralisme
dan ekstra parlementarianisme tampil begitu menawan dalam mendorong
demokratisasi lebih radikal atas kepemilikan, laba, informasi,
sumber daya, dan kekuasaan.

"Kekuasaan negara"

Menyasar tuan besar finansial, korporasi multinasional, dan lembaga
internasional, seperti IMF dan Bank Dunia-seperti dilakukan B Herry-
Priyono-jelas bukanlah kekeliruan.

Meski demikian, fokus teropong analisis mesti membidik tepat
kekuasaan negara yang berada di tangan rezim neoliberal pemerintahan
nasional kita. Sebab darinya, eksploitasi beroleh ruang dan
kemudahan gerak.

Saat menjawab dua kombinasi Trilema "Teori Ketidakmungkinan", ada
yang menarik dengan si cerdas James Tobin. Ia terinspirasi oleh
pengalaman bagaimana "kedaulatan" Cina menolak konvertibilitas lalu
lintas modal. Hal serupa yang dilakukan para penganjur
neoliberalisme sekarang di era awal lembaga Bretton Woods berdiri.

Tobin, Cina, pun Brasil. Meskipun tidak benar-benar menghilangkan
krisis, Argentina 2000 atau Indonesia pasca-Pemilu 2004 memiliki
mereka untuk belajar.

Sonny Mumbunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitaet zu
Kiel, Jerman

Deindustrialisasi

From: "ma_wardi" <ma_wardi@y...>
Date: Tue Jan 27, 2004 12:24 pm
Subject: Re: Gejala Deindustrialisasi?

T
Dalam literatur sosiologi industri, industri yg kuat ialah bila terbentuk suatu masyarakat industri, suatu rantai industri yg harmonis antara industri kecil-menengah-besar, dari hulu ke hilir.

Revolusi industri di Eropa atau revolusi Meiji di Jepang, setidaknya telah mematangkan terbentuknya suatu masyarakat industri.

Hal itu semua tak terbentuk dg mulus di indonesia, bisa dikata industri di Indonesia bagaikan "industri semu", yg bisa terlihat secara simbolik dg sebuah pabrik yg berdiri angkuh di tengah pesawahan atau pemukiman padat, dimana sangat rendah relasi antara pabrik tsb dg lingkungan sekitarnya, tak terbentuk masyarakat industri.

peradaban agraris dan industri berdekatan ,tapi tak bersenyawa. ( malah bersenyawa negatif, ketika masyarakat sekitar pabrik menutup jalan ke pabrik, menyerbu pabrik, atau malah "memeras" industri.

Analisa sosiologis lain nya, ialah bahwa Industri di Indonesia dan bisnis pada umumnya di kuasai oleh kaum minoritas, warga keturunan, kalau melihat ke jepang, india, cina, taiwan, korea apalagi negara eropa atau amerika, industri atau bisnis digerakkan oleh etnis mayoritas di negara tsb, hal tsb tak berlaku di indonesia.

efek dari penguasa kapital oleh minoritas, ialah akan terjadi kesenjangan sosial , karena terjadi batas sosiologis antara pemilik usaha dg para pekerja atau lingkungan sekitar.

deindustrialisasi bisa jadi, pilihan praktis secara bisnis, karena mereka melihat untung di sektor jasa perdagangan lebih besar daripada sektor produksi, selain itu resiko nya lebih rendah.

bisa dilihat pada kasus astra yg bermula dari penjual mobil, perakit mobil ( diharapkan kemudian bisa membuat mobil sendiri seperti proton malaysia misalnya ) tapi yg terjadi, pabrik toyota astra dijual ke jepang, astra kembali hanya jadi pedagang mobil, sungguh tragis, karena selama sekian tahun telah banyak subsidi yg diberikan pemerintah kepada toyota astra dg harapan ia mandiri, bisa buat mobil sendiri, tapi malah berbalik jadi pedagang kembali, tragis.


analisa sederhana dan naif, bisa jadi memang orang indonesia sudah dari sono nya hanya bisa jadi tukang jahit atau konsumen belaka. bisa jadi ini semua memang telah ditanamkan oleh VOC sejak jaman penjajahan dulu

sekian analisa naif saya

Alma Wardi




http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/26/UTAMA/821129.htm

Kolom Chotib Basri
Gejala Deindustrialisasi?


ALAMAT dan gedung itu tetap di sana, namun tak ada lagi aktivitasnya. Padahal, dua tahun lalu mereka masih menjadi responden penelitian kami. Sekarang tinggal gedung yang tersisa. Pabrik tekstil itu telah tutup.

Inikah gambaran industri kita? Tentu tak ada yang bisa disimpulkan dari data anekdotal itu. Namun, ia seperti menjadi ilustrasi dari persoalan industri di negeri
ini. Di sektor tekstil, kita cemas tentang nasib industri ini di era pascakuota.

Bahkan, sebelum era itu tiba-seperti pernah saya bahas-industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah mengalami persoalan. Dan seperti rumah kartu, industri
lain juga mengalami kemunduran, terutama untuk sektor industri yang bersifat padat karya.

Harian Kompas, minggu lalu, memuat berita tentang ekspor mebel yang menurun. Persoalannya, kelangkaan bahan baku akibat kebijakan pengurangan kuota
penebangan kayu. Alasannya, masalah lingkungan. Akibat keputusan ini, harga kayu meningkat, yang pada gilirannya memukul daya kompetisi industri mebel kita.

Persoalan kelangkaan kayu sebenarnya lebih disebabkan penyelundupan kayu ketimbang pengurangan kuota. Data menunjukkan, ekspor kayu ke Cina yang tercatat di
Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan data impor kayu dari Indonesia yang tercatat di Cina. Mungkin ada masalah perbedaan sistem pencatatan di sini.

Namun, jika kita melihat perbedaan yang begitu besar, bukan tidak mungkin itu mencerminkan masalah penyelundupan. Sayangnya, kemajuan dalam mengatasi
penyelundupan amat lambat, jika kita malu menyebutnya tidak ada. Runtunan persoalan tak berhenti sampai di sana.

Harian Kompas (19/1) juga menulis tentang terancamnya industri baja nasional akibat kebijakan tarif bea masuk yang diberlakukan pemerintah untuk bahan baku
baja. Dengan tarif bea masuk sebesar 20 persen untuk hot rolled coil (HRC) dan 25 persen untuk cold rolled coil (CRC), harga bahan baku baja menjadi amat mahal,
yang pada akhirnya memukul daya kompetisi industri hilir.

Potongan-potongan mosaik di atas memberi kita sebuah gambar yang mungkin tak teramat jelas-namun mengkhawatirkan-gejala terjadinya deindustrialisasi.

Benarkah deindustrialisasi terjadi, seperti keluhan dunia usaha? Terlalu pagi untuk mengatakan ya. Keluhan pengusaha tak selamanya benar. Dunia usaha kadang cerewet dan senang mengeluh, lalu berujung meminta proteksi baru. Semacam professional complainer. Oleh karena itu, kita perlu melihat masalah ini lebih dingin.

SECARA konseptual, deindustrialisasi terjadi karena meningkatnya tingkat upah atau biaya produksi, yang di satu sisi bisa disebabkan oleh boom yang terjadi di
sektor sumber daya alam, seperti minyak atau gas (dikenal dengan Dutch disease atau penyakit Belanda), atau juga karena berbagai supply shock akibat ekonomi biaya tinggi.

Sementara di sisi lain, sektor manufaktur dihadapkan pada harga pasar dunia yang kompetitif. Kenaikan biaya produksi yang tak bisa ditransmisikan pada kenaikan
harga di pasar dunia pada gilirannya akan menekan keuntungan di sektor industri. Implikasinya, tak ada insentif untuk bergerak di sektor industri.

Lebih jauh lagi, dengan kondisi merugi, perusahaan-perusahaan di sektor industri akan tutup. Tentu perlu dicatat, deindustrialisasi tak bisa disimpulkan hanya dengan tutupnya beberapa perusahaan. Ia harus mencerminkan industri secara keseluruhan.

Untuk itu kita perlu melihat kinerja industri secara lebih luas. Observasi yang lebih rinci menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor industri manufaktur sendiri
terus mengalami gejala penurunan. Artinya, gejala penurunan ini bukan hanya terjadi pada TPT, mebel, atau baja, tetapi juga pada industri manufaktur secara keseluruhan.

Sebagai contoh, dalam periode sebelum krisis, pertumbuhan sektor industri mencapai rata-rata 9 persen per tahun, sedangkan setelah periode krisis (setelah tahun 1998) tumbuh sebesar rata-rata 5 persen.

Yang mengkhawatirkan, pertumbuhan ini terus menurun. Sampai dengan triwulan ketiga 2003, industri pengolahan hanya tumbuh sebesar 2,3 persen, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sepanjang tahun 2002 yang 4,1 persen.

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, perhitungan menunjukkan, dalam periode 1988-1997, pertumbuhan tenaga kerja di sektor manufaktur rata-rata 7,1 persen. Daya serap ini mengalami penurunan drastis setelah krisis (1998-2002) menjadi rata-rata 1,9 persen.

Bahkan, untuk tahun 2002 penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur hanya 0,2 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan penyerapan tahun 2001 (3,8 persen).

Bagaimana dengan produktivitas? Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) menunjukkan, pertumbuhan produktivitas per tenaga kerja di sektor manufaktur mengalami penurunan secara tajam, dari 3,5 persen rata-rata per tahun (1993-1997) menjadi minus 0,55 persen (1998-2002).

Kita juga melihat bahwa peningkatan share (peran) industri pengolahan dalam total produk domestik bruto (PDB) terus melambat dari tahun 2001 ke 2002. Bahkan, peran industri pengolahan terhadap total PDB di triwulan ketiga 2003 lebih rendah dibandingkan dengan persentase pada periode yang sama tahun 2002.

Padahal, seharusnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita, peran industri pengolahan dalam total PDB akan terus meningkat (Chenery dan Syrquin,
1975). Di negeri ini kita justru melihat gejala yang sebaliknya. Di dalam struktur ekspor, kita melihat bahwa peran dari ekspor barang industri turun dari 68 persen (Januari-November 2002) menjadi 66 persen (2003).

Laporan Bank Dunia memang menunjukkan bahwa produk-produk dari Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif meningkat dari 27 persen (1995) menjadi 33 persen (2001). Namun, perlu dicatat, sebagian besar produk tersebut adalah produk yang berbasiskan sumber daya alam.

Ini konsisten dengan perhitungan yang saya lakukan, yang menunjukkan bahwa 70 persen produk kita yang bisa kompetitif dalam menghadapi Cina adalah produk primer. Daya kompetisi yang turun ini-seperti gejala deindustrialisasi-disebabkan oleh gangguan dari sisi suplai (supply shock).

Dalam soal upah, misalnya, indeks tingkat upah sudah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tambah yang dihasilkannya. Artinya, tingkat upah yang ada sudah lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitasnya. Di sisi lain, seperti sudah banyak dibahas, kita dihadapkan pada ekonomi biaya tinggi akibat pungutan, korupsi.

Perhitungan menunjukkan bahwa setelah tahun 1995, kenaikan ekspor Indonesia lebih disebabkan faktor permintaan (54 persen) ketimbang daya saing (41 persen). Pendeknya, semua indikator menunjukkan gejala penurunan industri pengolahan dan pergeseran menuju produk primer, mirip seperti gejala deindustrialisasi. Jika demikian, apa yang bisa dilakukan?

KETIMBANG meratapi nasib atau memaki fakta, lebih baik kita berpikir tentang antisipasi kebijakan. Kita harus realistis bahwa investasi ke industri pengolahan tak akan terjadi segera (paling cepat baru terjadi setelah semester kedua 2005).

Tanpa investasi baru, tenaga kerja di sektor manufaktur dan daya saing hanya bisa diselamatkan jika pasar tenaga kerja bersifat fleksibel. Kebijakan pasar
tenaga kerja yang kaku dengan aturan hubungan industri yang terlalu intervensionis hanya akan berakhir pada semakin lemahnya daya kompetisi industri.

Lalu haruskah buruh dikorbankan? Jawabnya jelas tidak. Buruh bisa ditolong dengan memerhatikan tingkat upah riil, misalnya dengan membuat biaya hidup mereka
menjadi lebih murah. Penyediaan rumah susun dengan harga terjangkau untuk buruh di sekitar pabrik dapat menekan pengeluaran mereka untuk rumah.

Jadi, dengan upah nominal yang tetap atau kenaikan upah nominal yang tak terlalu tinggi, tingkat kesejahteraan buruh tetap dapat ditingkatkan.

Kedua, menghapuskan ekonomi biaya tinggi dengan memangkas peraturan. Berbagai aturan dan pungutan yang ditimbulkan karena pelbagai peraturan dapat dihilangkan dengan menghapus peraturan itu sendiri (debirokratisasi dan deregulasi).

Ketiga, berbagai biaya tinggi yang timbul karena tarif bea masuk yang diberlakukan untuk bahan baku diturunkan. Kebijakan proteksionis hanya bisa berlaku temporer dan tak menyelesaikan masalah produktivitas.

Memenuhi tuntutan dunia usaha untuk terus-menerus memberikan proteksi-terutama dalam bentuk hambatan nontarif-secara empiris terbukti hanya membuka kesempatan untuk kegiatan ekonomi rente dan korupsi (Basri 2001), dan hanya meningkatkan insentif untuk melakukan penyelundupan.

Jika toh ingin memberikan proteksi, harus ada jadwal penurunan yang jelas sehingga memberikan sinyal kepada industri untuk siap bersaing. Oleh karena itu, harmonisasi tarif sektor industri harus dievaluasi kembali.

Keempat, kita harus mulai melihat potensi pasar negara berkembang dan juga peralihan pola produksi. Untuk kasus TPT, saya kira produk yang bersifat kualitas tinggi masih memiliki potensi untuk bersaing dengan Cina yang sifatnya low end.

Kita harus berpikir untuk bergerak ke arah diferensiasi produk yang bersifat original design manufacturing dan juga original equipment manufacturing. Diversifikasi pasar ekspor jelas merupakan strategi yang harus serius dijalankan.

Data menunjukkan, Cina semakin berorientasi kepada negara maju, sementara ekspor Indonesia ke negara non-Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengalami peningkatan. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah menjajaki akses pasar.

Terakhir-dan yang paling penting-tentunya perbaikan iklim investasi dan pembenahan institusi. Namun, saya menyadari ini adalah masalah jangka panjang. Akan tetapi, pembenahan itu harus dilakukan sejak sekarang.

Bila antisipasi ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin gejala-gejala itu akan berujung pada deindustrialisasi yang sesungguhnya. Lalu kita menemukan ratusan atau ribuan alamat pabrik tanpa aktivitas. Menyedihkan. (*)

Sunday, January 25, 2004

dari Prof. Iskandar Alisjahbana

From: "estananto" <estananto@y...>
Date: Sun Jan 25, 2004 10:01 am
Subject: "Development as Freedom" ; "Affirmative Action" ; "Need of Achievement Training"


--- In IA-ITB@yahoogroups.com, "Iskandar Alisjahbana"
wrote:
Ibu Hera,
tolong print, lalu dikirim satu kopi ke Ibu Megawati di ITB-Pusat.

Yth Sdr. Bambang Winarto, dan Kawan2 lainnya!

Nenek Moyang Manusia2 Kepulauan Indonesia semua berasal dari
Cina/Asia Daratan.
Jadi sebetulnya semua Pribumi Indonesia adalah Non-Pribumi yang
pertama yang berada di Indonesia. Jadi memang semua manusia itu
sama, dan berasal dari satu, Yaitu ciptaan Tuhan YME, yangsampai
sekarang belum selesai seluruh ciptaannya! Dan mempunyai hak sama
untuk mengembangkan diri masing2. Seperti yang dikatakan oleh Nobel-
prize winner Amarthya Sen: DEVELOPMENT AS FREEDOM.

Bagaimana atau dengan cara apa manusia berkembang, atau
melakukan development-nya? Yaitu dengan cara (Ahli Philosophie
bukan ahli Ekonomi) Adam Smith: "Dengan berkompetisi & berkoperasi
di Lapangan-(bola) yang rata beserta Wasit yang adil" Syarat
lainnya adalah supaya pihak2 yang dipertandingkan adalah kira2 dari
kelas kemahiran (modal-pertama) yang kira2 sama, sehingga kedua
belah pihak dengan seimbang akan berusaha mengeluarkan/mengembangkan
kemahiran, bakat, strategi dan penemuan2-baru masing2, demi
memenangkan pertandingan. Selama bertanding itu keduabelah pihak
berkembang. Itu sebabnya pertandingan2 harus berkesinambungan atau
sering dilakukan.

Mahasiswa-muda Siswono & Muslimin Nasution, pada 10 Mei 1963
merasa bahwa "pertandingan utk berkembang dilapangan bola yang
semestinya rata" adalah tidak rata dan tidak adil. Non-Pribumi
mahasiswa ITB punya motor dan lebih kaya dari Pribumi, bisa beli
buku apa saja dan bisa pindah kelas cepat, utk merebut tempat duduk
yang terbaik. Terjadilah pembakaran motor2 dan adu-jotos dilapangan
Basket ITB pada tgl 10 Mei 1963.

Terbukti "Racial Riots" semacam ini terjadi di Malaysia,
Philipina, Thailand, dll, terhadap Non-Pribumi Cina, dan juga
terjadi di banyak negeri2 di Afrika, terhadap Non-Pribumi India,
kira2 setiap 20 tahun. Ini yang ditulis oleh Prof. Dr. Amy Chua,
gurubesar-ekonomi di Amerika, dalam bukunya "WORLD ON FIRE". Amy
Chua sendiri juga pernah mengalami "run amok"(atau mengamuknya)
pribumi Philipina, sebelum ia pindah ke Amerika.
Menurut Amy Chua, Pribumi mengamuk karena merasa tidak adil
perkembangan yang telah terjadi. Non-Pribumi merupakan suatu
kelompok "Market Dominant Minorities", yang berjumlah hanya
minoritas(10%), tetapi menguasai secara dominan Pasar(80%). Karena
semua manusia itu diciptakan berbakat kira2 sama oleh Tuhan, jelas
ini terjadi karena rumus/pelaksanaan pengaturan Pasar Adam Smith itu
dilakukan oleh penjajah sebelumnya(atau oleh Suharto dlm masa OrBa),
tidak adil dan tidak fair. Kalau pengaturan-nya adil dan sesuai
dengan Adam Smith, maka paling2 10% Non-Pribumi bolehlah menguasai
20-30% Pasar dan 90% Pribumi hanya mengusai 80-70% Pasar. Ini
mungkin masih adil dimata para Pribumi. Ini yang menjadi tujuan &
tugas ITB sambil memajukan Ekonomi Indonesia.

Ini yang dipikirkan oleh Kampus ITB, segera sesudah
kejadian "run Amok" 10 Mei 1963, supaya mahasiswa tidak hanya
mengejar titel Ir & Dr di ITB, tetapi juga mengejar Knowledge utk
menjadi kaya(empunya=mempunyai kapital=kapitalis), sekaligus mampu
membuat lapangan-pekerjaan. Dengan bantuan DirUt BDN, kita datangkan
seorang Gurubesar dalam "Need of Achievement", yang juga mempunyai
pengalaman di USA, melatih Negro2 & Indian2 menjadi lebih sederajat
dengan masyarakat-kulit putih USA. Ini yang dinamakan di
Amerika "AFFIRMATIVE ACTION".

Ini juga telah dilakukan oleh Mahathir Mohammad di Malaysia,
sehingga kira2, (60%) Bumiputra yang hanya menguasai 15% Pasar,
dibina menjadi (60%)Bumiputra dapat menguasai 35% aktifitas Pasar.
Jadi Mahathir Mohammad hanya berhasil mengubah Non-Pribumi Malaysia
yang sebelumnya "Market Dominant Minorities" menjadi "Market Less-
Dominant Minorities". Ini rupa2nya sudah cukup untuk tidak
terjadinya run-Amok atau racial Riots pada masa krisis 1998 yang
lalu. Kawan kita Christianto Wibisono (penulis Kompas seperti Arif
Budiman)menjadi salah satu korban run-Amok nya pribumi Indonesia.

Jadi ITB(meskipun tidak ada persetujuan/bantuan dari pem.
Suharto) dengan mengadakan Entrpreneurship-training dengan Need-of-
Achievement training pada thn 70-an, juga telah mengadakan semacam
AFFIRMATIVE ACTION PROGRAM, tetapi tanpa bantuan Modal seperti
Mahathir Mohammad.

Pendirian2 perusahaan PT.Glasstronics, PT. Soiliens, PT. RFC ,
PT. Arsitektur2 dan PT2 Seniman2, dan banyak lainnya, (meskipun ITB
belum menjadi BHMN,) adalah praktikum/demonstrasi terbuka bagi
mahasiswa ITB, bagaimana Pribumi juga bisa menjadi pengusaha-kaya
seperti Non-Pribumi. Terbukti hasilnya cukup baik. Coba lihat
Wirausahawan2 Alumni ITB kita. Siswono, yang secara patriot meminta
maaf kepada mahasiswa non-pribumi yang kena pukul atau motornya
terbakar pada thn 1963, telah berhasil menjadi Pengusaha-
Bangunan/Kapitalis Pribumi yang tangguh dan dapat meliwati krisis
1998. Alumni Arifin Panigoro telah mampu menghasilkan minyak lebih
banyak dari Pertamina, tanpa dibantu proses Swastanisasi seperti di
Rusia. Dan banyak contoh2 lainnya.
Jadi ITB berusaha membuat "Market Dominant Minorities"
menjadi "Market Non-Dominant Minorities"(atau Market Less Dominant
Minorities), tampa membunuh atau merampok pengusaha/perusahaan Non-
pribumi, tetapi dengan menemukan/mengembangkan bakat2 manusia
Pribumi dan membangun Perusahaan2 Pribumi. Hanya dengan keadaan
Market Non-Dominant atau Less-Dominant Minorities, pembangunan
Ekonomi suatu negara dapat terlaksana. Terutama karena tidak adanya
dendam ethnis, semua pembangunan dapat dilakukan secara damai dan
tekun, tampa gejolak2 yang menghambat atau memundurkan kembali
pembangunan sebelumnya.
ITB is going in the right direction !!!!

Sementara waktu sekian dahulu. Tolong kritik dan komentar.
(iskandar alisjahbana)