Thursday, December 26, 2002

Appell für mehr Toleranz

Donnerstag, 26.12.2002

Estananto: Appell für mehr Toleranz am Bsp. Indonesien schrieb :


Liebe Leserinnen, Liebe Leser,

zum Thema Indonesien als dem groessten muslimischen (kein islamische!) Land der Welt haben einige Leser Beitraege geschrieben. Ich moechte folgendes als Indonesier zu dem "Massaker" in Osttimor sagen:

Sie koennen in vielen Geschichtsbuechern suchen, um den Hintergrund der indonesischen Invasion in 1975 zu finden.

Wer war der indonesische General, der die wichtigste Rolle in dieser Zeit spielte? Er heisst Major-General Leonardus Benny Moerdani. Von seine Name koennen wir ableiten, dass er katholisch ist. Diese Invasion hat nichts mit Religion zu tun. Diese Invasion war in
Amerika und Australien bekannt. Sie haben sie solange zugelassen, bis sie vor 20 Jahre Indonesien als wichtigsten Partner gegen die Kommunisten in Suedostasien nicht mehr brauchten.

Der Buergerkrieg zwischen den osttimorischen Parteien ergab in 1975 als Siegermacht Fretilin, die jetzige regierende Partei in Osttimor. Es wird vermutet, dass diese Partei stark von den Kommunisten beeinflusst wurde. Deswegen gaben der amerikanische- und australianische-Aussenminister gruenes Licht zu der indonesischen Invasion. Nach Verschwinden der Kommunisten zu Beginn der neunziger Jahre wird Indonesien nicht mehr als Bollwerk gegen den Kommunismus gebraucht. Ihm kann man nun alle Schuld in der Weltoeffentlichkeit geben.
Kein Wunder, weil Indonesien weder NATO noch Fuchs Spurpanzer noch Stealth Kampfflugzeuge hat. Ein Leser hat hier geschrieben, dass es Massaker in
Osttimor gibt.
Er sagte, dass das ein Beweis fuer Angriffe gegen die nicht muslimische Bevoelkerung in Indonesien ist. Das ist so nicht richtig. Dafuer gibt es folgende Gegenargumente. Erstens, ein Grossteil der indonesischen Bevoelkerung lehnt diese verheerende Aktion ab, weil wir bis 1998 eine 30 jaehrige von den
USA unterstuetzte Diktatur hatten. Zweitens, gibt es in einer anderen indonesischen Provinz in Aceh sogar noch mehr Opfer im Kampf zwischen Rebellen und indonesischen Truppen. Aceh war historisch ein islamisch streng glaeubiges Koenigreich und wurde indonesische Provinz ab 1945. Wegen eines unfairen Vergleichs durch die Zentralregierung in
Jakarta begann in 1976 die Rebellion um Unabhaengigkeit. In 1989 schickte
Jakarta tausende Soldaten und machte mehr als tausende Zivilisten zu Opfern in dieser islamischen Provinz. Ich frage Sie, ob dieser Fall unterschiedlich zu der Situation in Osttimor ist? Ich behaupte: Nein. Denn niemand kann sagen, dass Osttimor ein Krieg gegen nicht-Muslime in Indonesien ist. Warum hoeren Sie kein Nachricht ueber Aceh? Vielleicht, weil Sie kein Interesse daran haben? Oder weil Aceher Muslime und Timorer Katholisch sind? Drittens, offiziell wurden in Indonesien alle fuenf Religionen anerkannt: Islam, katholischer Glauben, evangelischer Glauben, Hinduismus, und Buddhismus. Der Staat gibt alle Rechte zur Religionsausuebung z.B. Feiertage fuer jede Religion. Offiziell ist Indonesien auch kein islamischer Staat. Ausserdem duerfen dem Gesetz nach die Muslime nicht die Kloester, Kirchen oder Synagogen stuerzen.

Bitte lesen Sie dazu im Koran Sure 22:40 nach. Sie koennen argumentieren, dass die Realitaet anders ist. Dies liegt an kleinen Gruppen von Fanatiker, die in der muslimische Bevoelkerung auch nicht gerne gesehen werden. Aus meiner Sicht moechte ich daran erinnern, wie es mit den Massaker unter den Indianer im Namen der Religion oder auch mit der
Inquisition gegen Juden und Muslime in Granada, oder Krieg zwischen Katholiken und Anglikaner heute in Nordirland ist? Ich glaube, dass Jesus niemals diese Katastrophen gelehrt hat. Daher muss man deutlich zwischen Religion und ihren Anhaenger differenzieren. Dies ist sehr wichtig, wenn sie Frieden machen und nicht in einem Streit ohne Ende
versinken wollen.

Es freuet mich sehr, wenn wir ohne Vorurteile einen Dialog zwischen dem Islam und dem Westen oder zwischen Christentum und Islam einfuehren. Diesem Ziel soll
mein Beitrag dienen.

Mit freundlichem Gruss

Estananto

http://www.islam.de/?site=articles&archive=euro-islam&article_number=1398

Thursday, November 07, 2002

Suasana Ramadan di Jerman

BERITA UTAMA

Kamis, 07 Nopember 2002

440_garis_atas.gif (100 bytes)

Suasana Ramadan di Jerman

”OKELAH kalau kalian tidak mau makan, tapi mengapa kalian juga tidak minum? Bukankah tidak minum dalam sehari akan membahayakan kesehatan?”

**

SEJUMLAH jemaah mendengarkan penceramah pada pengajian rutin yang diadakan selama bulan puasa menjelang shalat Ashar di Mesjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat, Rabu (6/11). Hiruk pikuk renovasi mesjid yang sedang berlangsung, tidak mengurangi kekhusuan jemaah mesjid yang mengikuti pengajian tersebut.*

BARANGKALI kita di Indonesia tidak pernah mendengar pertanyaan di atas. Akan tetapi, bersiaplah jika suatu saat Anda sempat menunaikan ibadah saum Ramadan di negara yang mayoritas penduduknya tidak mengenal Islam secara rinci, seperti di Jerman ini. Bahwa ada bulan suci Islam bernama Ramadan mungkin banyak orang tahu. Akan tetapi, bahwa di dalamnya umat Islam diwajibkan berpuasa mungkin banyak yang belum mengerti benar. Maklumlah, kaum Muslimin sangat minoritas di sini, hanya kurang lebih 4 juta orang dari 88 juta rakyat Jerman.

Lebih sedikit lagi jumlah kaum Muslimin yang masih mau menjalankan syariat seperti salat dan saum di bulan Ramadan. Penyebab keengganan sebagian orang ini beraneka ragam: ada yang hanya malas tapi masih yakin itu wajib bagi dirinya, ada yang menganggap cukup dalam hati saja, adapula yang menganggap ibadah seperti salat lima waktu atau saum bulan Ramadan itu pekerjaan orang fanatik”.

Padahal, kalau Ramadan jatuh di bulan November atau Desember, siang hari akan lebih pendek. Tahun ini imsak jatuh pada pukul 5 pagi dan magrib jatuh pukul 5 sore. Akan tetapi, suasana Ramadan di masjid-masjid maupun komunitas orang Islam dari berbagai bangsa di Jerman ini alhamdulillah masih sangat terasa.

Secara garis besar, masjid-masjid di Jerman dapat dibagi menjadi dua: masjid berbahasa Turki dan masjid berbahasa Arab. Ada beberapa masjid lain yang dimakmurkan oleh orang-orang Bosnia atau Pakistan, tetapi jumlahnya tidak banyak. Orang-orang Turki hadir di tanah Jerman tahun 1950-an, ketika itu Jerman membutuhkan banyak tenaga kerja untuk membangun kembali negerinya dari reruntuhan Perang Dunia II. Kemudian banyak yang menjalankan usaha dagang sambil menetap. Sementara itu, orang Arab kebanyakan datang untuk menjadi mahasiswa atau bahkan sebagai pengungsi dari Afrika Utara.

Masjid-masjid ini biasanya menyediakan hidangan buka puasa bersama. Ada yang tiap hari, adapula yang tiap akhir pekan. Orang Indonesia, apalagi para mahasiswa, akan dengan senang hati datang tepat waktu di masjid-masjid tersebut untuk melakukan ifthar (buka puasa). Akan tetapi, jangan kaget karena porsi orang Turki maupun orang Arab itu berlipat-lipat kali dari porsi orang Indonesia. Hidangan sudah disediakan di nampan-nampan dan siap untuk disantap. Para mahasiswa yang masih ”pemula” biasanya menderita kekenyangan di hari-hari pertama. Maklumlah, rasanya tidak enak untuk meninggalkan sisa makanan, kan sudah gratis. Beberapa dengan malu-malu hanya minta porsi anak-anak yang porsinya hanya separuh porsi dewasa. Makan-makan ini dilakukan setelah salat magrib berjamaah.

Masyarakat Indonesia pun tidak mau kalah mengamalkan penyediaan buka puasa yang menurut hadis Nabi saw pahalanya sama seperti orang yang berpuasa ini. Justru karena jauh dari Tanah Air (15 jam naik pesawat terbang!) kerinduan untuk beribadah bersama dan menikmati masakan khas Indonesia makin mengental. Di Kota Karlsruhe, tempat penulis pernah menjadi mahasiswa sejak tahun 1999 hingga 2001, masyarakat Indonesia bergiliran menyediakan hidangan berbuka di rumah masing-masing. Biasanya yang mengundang adalah para keluarga dan yang diundang adalah para mahasiswa. Misalnya, ada tiga keluarga di daerah X secara berpatungan mengundang 20 orang untuk berbuka. Lalu kali lain lima keluarga lain di daerah Y juga mengundang. Tentu saja 20 orang ini tidak datang sekaligus, tetapi bergiliran sesuai dengan daya tampung apartemen keluarga pengundang. Di Jerman, apartemen berukuran 60 meter persegi saja sudah termasuk luas. Namun, tentu saja dalam memasak harus diperhatikan pula faktor bau masakan. Ini karena tidak semua dapur di apartemen-apartemen tersebut dilengkapi dengan alat penyedot asap sehingga bisa jadi merembes ke luar. Nah, sebagian besar tetangga Jerman mungkin bisa mengerti bau masakan Asia yang khas menyengat bumbu rempah-rempah, namun sebagian kecil akan mengeluh atau bahkan bisa jadi memanggil polisi.

Paling tidak sekali atau dua kali dalam bulan Ramadan, IkMIK (Ikatan keluarga Muslim Indonesia Karlsruhe) mengadakan buka puasa bersama. Biasanya acara diadakan di sebuah ruangan besar, mungkin di aula universitas atau ruang bersama asrama mahasiswa. Pengurus IkMIK membagi tugas pada masing-masing keluarga untuk memasak: siapa yang masak nasi, siapa yang masak soto, siapa yang membawa kerupuk, dan lain-lain. Adapun para bujangan biasanya mendapat tugas membeli minuman botol. Acara buka puasa bersama ini bisa dihadiri 50 orang dan dilengkapi dengan ceramah dan shalat tarawih berjamaah. Acara semacam ini tentu lebih meriah di kota-kota yang ada perwakilan RI, misalnya Berlin, Hamburg, dan Frankfurt.

Kemudian tentu saja salat tarawih berjamaah. Mengerjakan salat berjamaah di masjid-masjid Turki mengingatkan saya pada salat tarawih di beberapa masjid di Indonesia: jumlah rakaatnya banyak tetapi mengerjakannya seperti olah raga karena cepatnya. Namun, adapula masjid-masjid yang menyelenggarakan salat tarawih yang dibacakan satu juz Alquran sehingga yang rajin mengikutinya akan dapat mengkhatamkan Alquran. Ini mengingatkan saya pada tarawih di pesantren-pesantren di Indonesia. Beberapa masjid pun membolehkan jamaah untuk itikaf di hari-hari akhir bulan Ramadan.

Kala Ramadan mendekati akhir, tidak ubahnya seperti di Tanah Air, di Jerman pun masyarakat bersiap-siap membuat acara silaturahmi. Salat Idulfitri di sini tentu saja tidak mungkin dilakukan di lapangan, bahkan takbir tidak boleh dilakukan keras-keras dengan pengeras suara karena dianggap mengganggu lingkungan. Biasanya salat Idulfitri dilakukan di masjid-masjid atau aula yang luas seperti lapangan olah raga yang tertutup. Karena keterbatasan tempat, banyak juga masjid yang hanya menerima jamaah laki-laki untuk shalat Idulfitri. Untuk memecahkan masalah ini, ”masjid agung” Freimann di Muenchen (Munich) membuat tenda-tenda di halaman untuk jamaah laki-laki dan membuka masjid untuk jamaah perempuan. Akan tetapi, di bulan Desember 2001 itu, suhu udara pada saat pelaksanaan salat Idulfitri itu 10 derajat di bawah nol. Jadi, kami di tenda-tenda mengerjakan salat Idulfitri sambil menggigil, walaupun sudah disediakan pemanas udara.

Karena Idulfitri di Jerman bukanlah hari libur nasional, kalau Lebaran tidak jatuh pada akhir pekan, orang harus bekerja atau masuk kuliah selepas salat Idulfitri. Oleh karena itu, silaturahmi diadakan beberapa hari setelah salat Idulfitri, dengan menghadirkan masakan khas Indonesia seperti ketupat dan lontong. Kalau daun pisang sulit didapat, plastik jadilah. Daun kelapa sudah hampir pasti sangat susah didapat di sini. Namun, lontong tetap hadir bersama opor dan teman-temannya. Hanya satu yang kurang, keluarga yang jauh di Tanah Air. Sebagai penggantinya, orang kemudian menelefon sanak famili setelah salat Idulfitri atau bahkan mengirim kartu lebaran lewat Isnet (Islamic Network - jaringan pengajian Indonesia di mancanegara).

Di mana pun kita berada, mudah-mudahan kita tidak hanya mendapat lapar dan hausnya puasa. Mudah-mudahan kita termasuk golongan sedikit yang mampu menjinakkan hawa nafsunya dan meninggalkan Ramadan dengan sedih hati. Mudah-mudahan pula kita nanti termasuk orang yang kembali ke fitri. Amin.

(Estananto, mantan anggota Lembaga Kemahasiswaan Salman ITB, tinggal di Munich, Jerman)


http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1102/07/0106.htm

Thursday, October 24, 2002

Kebersamaan, Dialog, dan Inisiatif untuk Maju

ARTIKEL

Kamis, 24 Oktober 2002

440_garis_atas.gif (100 bytes)

Hubungan Islam dan Barat, Catatan dari Jerman
Kebersamaan, Dialog, dan Inisiatif untuk Maju
Oleh ESTANANTO

BALI, 12 Oktober 2002, ledakan bom berkekuatan dahsyat mengguncang Legian, Bali, mengakibatkan 183 korban tewas dan ratusan luka-luka. Sebagian besar korban adalah turis asing dan berita tragedi ini dengan cepat menjadi headline media massa dunia.

Berbagai spekulasi muncul ke permukaan. Dari Al-Qaeda hingga Jamaah Islamiyyah. Dari CIA hingga Yahudi. Bahkan kelompok prointegrasi Timor Timur pun sempat menjadi sasaran dugaan sebagian orang. Akan tetapi jelas, dalam suasana dunia serba tak menentu setelah tragedi 11 September 2001, emosi manusia yang campur aduk di seluruh belahan dunia tidak menyisakan waktu bagi kita untuk berintrospeksi, merenung, menelaah apakah pesan sebenarnya di balik peristiwa-peristiwa yang susul-menyusul itu. Dari para korban serangan World Trade Center (WTC) hingga korban serangan Israel di daerah pendudukan. Dari Presiden George W. Bush yang garang hingga Presiden Megawati yang pemalu. Jangan lupakan juga, Osama bin Laden yang mendadak sontak menjadi manusia paling terkenal di muka bumi. Air bah informasi yang membanjir seolah menenggelamkan seluruh akal sehat kita yang disebut-sebut sebagai makhluk cerdas, homo sapiens, ini.

**

HANYA satu hari setelah tragedi di Legian, stasiun televisi Jerman ZDF, menyiarkan siaran eksklusif tentang musibah tersebut. Yang mengejutkan, pembawa acara di awal program menyitir sebagian ayat Alquran: "Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka" (Al-Baqarah: 191). Sempat perasaan penulis bergejolak, mengapa pembawa acara yang bukan ahli keislaman di Jerman berani mengutip ayat yang sebetulnya berakhir dengan, "Kemudian jika mereka berhenti (dari penganiayaan/ permusuhannya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"? Dengan memotong ayat tersebut, pemirsa seolah-olah digiring bahwa Islam menganjurkan pembunuhan semena-mena. Lagipula, seandainya benar pelaku pengeboman adalah Muslim radikal, bukankah tindakan itu tidak dibenarkan oleh agama Islam sendiri dan tindakan itu tentulah dikecam oleh 99% umat Islam Indonesia?

Sang pembawa acara tidak sendirian. Setahun sebelumnya, beberapa saat setelah tragedi 11 September, kebetulan penulis membaca kolom surat pembaca di koran Sueddeutsche Zeitung (sebuah surat kabar terkemuka di Jerman) dan mendapati tulisan yang mengutip "ayat-ayat pembunuhan dan perang" dari Alquran. Di akhir surat ditambahkan, "Saya tidak percaya Islam artinya perdamaian.” Ketika penulis cek langsung di Alquran, beberapa ayat yang ditulis di kolom itu salah nomor surat dan ayat dan beberapa lagi dipotong-potong sehingga hilang konteksnya. Sayang sekali, tanggapan yang penulis kirim ke Sueddeutsche Zeitung tidak ditanggapi.

Penulis, setelah peristiwa 11 September, mendengar sendiri nada melecehkan dari seorang guru bahasa Jerman di sebuah kursus bahasa Jerman ternama yang sempat penulis ikuti. Sang guru berkata, ini bukti bahwa Islam itu sangat berbahaya, gefdhrlich. Sejak 11 September pula, di Amerika Serikat bermunculan serangan terhadap Islam, misalnya yang dikatakan oleh Jerry Falwell yang baru-baru ini mengatakan "Muhammad adalah teroris". Sebelumnya Pat Robertson yang mengatakan "Muhammad adalah perampok" dan Franklin Graham yang menyebut "Islam is a very evil and wicked religion". Mereka itu sudah sepantasnya digolongkan sebagai fundamentalis Kristen yang juga berbahaya bagi perdamaian dunia (Newsweek, 21 Oktober 2002).

Di lain sisi, penulis pernah menghadiri sebuah pengajian, dengan narasumbernya mengatakan, salah satu ancaman Yahudi dan Nasrani dalam ayat 120 surah Al-Baqarah adalah sekulerisme yang merupakan rekayasa untuk menghancurkan umat Islam. Sebenarnya analisis seperti ini pernah penulis baca di beberapa majalah keislaman yang beredar di kalangan mahasiswa. Penulis berpikir, seandainya beliau pernah mempelajari sejarah munculnya sekulerisme yang justru menantang gereja sebagai personifikasi agama, barangkali beliau akan berpendapat lain. Kadang kala semangat untuk melawan membawa kita ke kesimpulan yang kurang tepat. Kita pun sering terlupa bahwa Nabi Muhammad saw. selalu menghormati hubungan antarmanusia, bahkan yang berbeda agama sekalipun. Tidak hanya dengan yang masih hidup, bahkan yang sudah mati. Beliau pernah bangkit untuk menghormati jenazah orang Yahudi yang lewat di hadapan beliau. Ketika seorang sahabat beliau menegur dengan mengatakan, "Ya Rasulullah, dia itu Yahudi". Maka Rasul yang mulia menjawab, "Bukankah dia itu manusia?" (Hadis Bukhari). Indah sekali kehidupan jika kita mengaturnya dengan bijak. Perang hanya di saat perang, namun condonglah ke perdamaian. Hukum perang tentu saja berbeda dengan hukum damai, maka sendainya kita memandang Alquran sebagai "buku kehidupan" dan bukan teks mati yang hanya bisa ditafsirkan kata per kata, barangkali kesimpulan kita akan menjadi lain.

Adapula seorang kenalan, seorang Muslim Jerman yang bertanya, mengapa setelah tragedi 11 September di Indonesia banyak orang yang bangga mengusung poster Osama bin Laden, bahkan banyak T-shirt bergambar Osama bin Laden dijual di pinggir jalan. Ini menggambarkan bahwa Osama bin Laden yang di negara-negara Barat menjadi sasaran kemarahan, di Indonesia malah menjadi tokoh idola. Ini yang menjadikan kenalan ini sulit menjawab pertanyaan dari teman-teman sebangsanya, yaitu bukankah itu bukti bahwa Islam mengesahkan terorisme? Kelihatannya memang polarisasi yang terjadi telah sedemikian lebarnya.

Beberapa pengalaman di atas seolah melambangkan betapa perasaan curiga tanpa henti antara masyarakat Barat dan kaum Muslimin terus membayangi. Betapa tidak, kita belum pernah menjumpai adanya niatan serius untuk membangun dialog antara dua peradaban besar. Masyarakat barat --terutama lewat media massa-- cenderung mengasosiasikan Islam sebagai agama imigran dan primitif, masih belum berubah dari abad yang lalu. Sementara sebagian kaum Muslimin juga masih gemar melakukan generalisasi terhadap masyarakat Barat dengan teori-teori rekayasa Yahudi. Mungkin dapat dimaklumi bahwa kebencian terhadap Yahudi berawal dari pelanggaran HAM yang berkali-kali dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina sejak awal berdirinya negara itu tahun 1948. Namun, seandainya kita objektif terhadap keadaan kita sendiri, barangkali kita akan lebih giat membangun. Mengapa Israel berani menguasai tanah Palestina karena negara-negara Arab belum mampu menang atas Israel. Negara-negara Arab ini tidaklah miskin. Beberapa di antara mereka mempunyai cadangan minyak dalam jumlah sangat besar. Banyak di antara pemuka negara mereka yang hidup dalam kemewahan dan menanamkan saham di Amerika dan Eropa. Jumlah total investasi Arab di Amerika saja diduga 700 miliar dolar AS. Jika dibandingkan jumlah utang Indonesia yang bagi kita sudah tidak tertanggungkan "hanya" sebesar 150 juta dolar AS, tentulah jumlah ini sangat besar. Dengan demikian patutlah dipertanyakan, mengapa dunia Arab yang sedemikian besar dan kaya bisa dikalahkan? Hikmah apakah yang bisa kita ambil dari sini?

Sayang sekali, tafsiran kita tentang ayat-ayat Alquran ternyata sama sekali lepas dari konteks. Pada masa Nabi Muhammad saw., senjata paling ampuh adalah panah dan pedang dan kendaraan paling bagus untuk bertempur adalah kuda dan unta. Semuanya hanya membutuhkan hitungan hari untuk mempersiapkannya sehingga ketika musuh akan menyerang, mobilisasi dapat dilakukan dengan cepat untuk menghalau musuh. Namun kini mungkin kita lupa, 200 rudal nuklir milik Israel tentunya dibangun selama bertahun-tahun dengan investasi dana dan waktu yang tidak sedikit. Persenjataan canggih seperti pesawat tempur atau tank Merkava yang konon tercanggih di dunia dikembangkan secara hati-hati, melibatkan banyak tenaga ahli, dan tentunya harus dengan manajemen yang rapi. Dulu orang bertempur dengan pedang, sekarang orang bertempur dengan efisiensi dan teknologi tinggi.

Oleh karena itu, jika negara-negara Arab benar-benar ingin berjuang membela Palestina, seharusnya benar-benar dimulai dari diri sendiri sesuai pesan nabi untuk selalu memulai dari diri sendiri. Misalnya, struktur ekonomi yang lebih merata dan kuat. Pendidikan dan perbaikan akhlak rakyat dan yang tak kalah penting: manajemen yang lebih baik. Bom bunuh diri para pejuang Palestina seharusnya membuat kita introspeksi atas kenyataan ini, bukannya malah membuat kita bangga. Mereka menempuh jalan itu hanya karena semata-mata tidak ada jalan lain untuk membela tanah air dan bangsa mereka. Mereka tidak dapat serta-merta disalahkan walaupun dalam sejarah fikih Islam belum pernah ada contoh demikian. Seandainya mereka memiliki senjata dan keahlian yang sama dengan tentara Israel, tentulah mereka memilih bertempur lawan tentara daripada meledakkan bom dalam bus umum.

Kegagalan bangsa Arab sebagai front terdepan Palestina membawa akibat negatif tidak saja bagi bangsa Arab, namun juga Muslimin pada umumnya. Di Indonesia, masalah Palestina langsung atau tidak langsung masih memengaruhi pola pikir kita sehingga mengacaukan agenda prioritas yang seharusnya dilakukan. Kita masih terpaku pada hal-hal yang sifatnya simbolis dan jangka pendek sebagai analogi dari Palestina vs Israel. Umat masih selalu dihantui perasaan tidak berdaya, yang teraktualisasi dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan panas. Penulis teringat analisis Nurcholish Madjid dalam Pintu-pintu menuju Tuhan yang memaparkan hubungan antara keberdayaan dan pola pandang. Di abad pertengahan, ketika Muslimin jaya, mereka memiliki kepercayaan diri dan memandang kaum Yahudi dan Nasrani sebagai yang dilindungi. Namun kini, krisis harga diri Muslimin berimbas pada munculnya berbagai teori konspirasi, pembenahan diri kaum Muslimin, yang meliputi negeri-negeri Muslim dan orang perseorangan, patut mendapat prioritas. Dalam masa-masa ini adalah tepat jika K.H. Abdullah Gymnastiar mengajak Muslimin untuk belajar menghayati kebersamaan, juga dengan umat beragama lain. Beliau juga tak pernah lupa menganjurkan agar selalu memulai dari diri sendiri, bukan menyalahkan orang lain. Kita butuh 1000 Aa Gym lagi karena jika hanya beliau yang mau mengampanyekan pandangan-pandangan introspektif, beliau tidak akan punya cukup tenaga dan waktu mengingat kompleksnya permasalahan. Pembangunan diri Muslimin, mencakup tingkah laku dan aspek manajerial adalah lebih mendesak dari sebelumnya. Hanya dengan jalan demikianlah, Muslimin dapat memperbaiki dirinya, dengan izin Allah. Tidak bisa Muslimin berharap kepada sesuatu selain Allah, tidak kepada bangsa Eropa, tidak kepada Amerika.

Namun, kita butuh lebih dari itu. Jika dunia menginginkan perdamaian, haruslah dibangun sebuah hubungan berasas kesetaraan dengan semangat dialog yang baik pula. Ketidakadilan yang dikenakan dunia atas hubungan Israel-Palestina haruslah ditinjau kembali. Israel harus diperlakukan sama dengan yang lain dan tidak dibiarkan begitu saja melanggar resolusi demi resolusi Dewan Keamanan PBB.

Kemudian, yang tak kalah pentingnya adalah dimulainya kembali inisiatif serius dialog antara (peradaban) Islam dan barat. Sebenarnya "Islam" yang dimaksud sebagai mitra dialog di sini bukanlah Islam sebagai agama, namun sebagai peradaban, demikian pula barat. Kita sering menganalogikan barat sebagai "Kristen", padahal yang sesungguhnya peradaban barat adalah sintesis yang aneh antara ajaran Kristen dan sekulerisme. Kedua ajaran besar ini pernah saling bertempur, namun ternyata ajaran Kristen tetap dibutuhkan sebagai moralitas --tapi belum sebagai spiritualitas-- untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan sekulerisme-materialisme.

Kita bisa berkaca pada Muhammad Iqbal, penyair dan filosof Pakistan terbesar abad XX. Beliau tidak segan-segan berdialog-- walaupun lewat tulisan-- dengan peradaban barat dalam karyanya "Reconstruction of Islamic Thought". Atau kepada Annemarie Schimmel, profesor pada Universitas Bonn yang menjadi pakar tasawuf. Tak terbilang banyaknya buku yang lahir dari tangan Schimmel sebagai seorang Jerman yang dapat menerbitkan kekaguman kepada dimensi mistis dari Islam. Kurangnya keinginan baik untuk berdialog tercermin pada keengganan media massa Jerman untuk mewawancarai Schimmel yang mewakili pandangan damai terhadap Islam di jajaran akademisi barat ketika pecah tragedi 11 September. Penulis hampir tidak menemukan tulisan atau wawancara dengan Schimmel di televisi ataupun surat kabar dalam setahun terakhir.

Pada generasi sebelumnya dapat ditemukan Johann Wolfgang von Goethe yang gemar membaca gubahan puisi Sa'di (penyair Persia) dan Jalaluddin Rumi (sufi dari Turki). Goethe bahkan menulis karya tersendiri yang di dalamnya dapat dibaca apresiasi beliau terhadap ajaran Islam, misalnya West Oestlicher Divan. Jauh sebelumnya kita dapat menemukan jejak-jejak pemikiran cikal bakal peradaban barat dalam khazanah intelektual Islam, misalnya karya-karya Plato dan Aristoteles. Bahkan, dalam sejarah dikenal bahwa peradaban Islam di saat kejayaannyalah yang menyelamatkan literatur Yunani Kuno dari kepunahan. Jadi dialog antara Islam dan barat sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Bukankah hikmah adalah hak Muslimin dan pungutlah hikmah itu di mana saja kamu dapatkan?"

Nasib Muslimin dewasa ini, yang sebagian besar berada di daerah periferi (pinggiran) peradaban dunia, tentu tidak boleh menggiring kita ke optimisme berlebihan -- atau sebaliknya -- pesimisme berlebihan. Optimisme berlebihan dapat dibaca pada ide untuk melawan segala yang berbau barat dengan segala cara, sedangkan pesimisme terlihat dari keengganan untuk membangun kembali apa yang kita punyai hari ini.

Tariq Ramadan, dalam bukunya To be a European Muslim, menganjurkan agar kita berani memilah-milah antara hal-hal yang fundamental dan hal-hal yang dapat diperbaharui. Hal-hal yang fundamental dapat dilihat pada Alquran dan Alhadis, sedangkan hal-hal yang dapat diperbarui adalah hasil interaksi dengan kehidupan kaum Muslimin. Dengan kembali ke sumber-sumber asal, Ramadan menunjukkan bahwa banyak konsep baku yang sebenarnya bukan primer seperti konsep darul harb dan darul Islam. Walaupun buku ini ditulis untuk menjawab pertanyaan apakah seorang Muslim dapat menjadi Muslim yang baik seraya menjadi setia kepada negara Eropa di tempat ia menjadi warga negara (banyak pengungsi yang datang di Eropa Barat adalah Muslim dari Afrika Utara dan Turki), gagasan Tariq Ramadan masih relevan untuk membangun jalan tengah bagi kaum Muslimin. (Akan tetapi, di saat yang sama beliau juga mengingatkan syarat-syarat seorang mujtahid yang tetap tidak bisa sembarangan).

Dengan adanya perbaikan dari dalam diri Muslimin dan di saat yang sama juga dialog yang lebih baik dengan peradaban barat, kita optimistis bahwa gerak maju masih dapat diharapkan. Bukankah amal yang terus berlanjut dan dilakukan dengan baik walaupun sedikit lebih disukai daripada amal yang banyak, tapi dilakukan secara sembarangan?***

Penulis adalah Warga Negara Indonesia, tinggal sementara di Jerman)


http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1002/24/0801.htm