Wednesday, March 31, 2004

Menolong Muslim Eropa

Rabu, 31 Maret 2004

Menolong Muslim Eropa

Oleh : Estananto

Estananto
Pengamat, tinggal di Jerman

Tanggal 24 Maret 2004, komisi parlemen Jerman untuk Zuwanderungsgesetz (RUU Imigrasi) pertama Jerman telah mencapai "titik terang" menuju kesepakatan antarfraksi. Di antara hal-hal yang sedang dibahas itu adalah usulan CDU/CSU (Partai Kristen Demokrat/Kristen Sosialis) agar negara diberi hak untuk segera mengusir tersangka pelaku terorisme non-Jerman, tanpa proses pengadilan. Lebih spesifik lagi Guenther Beckstein, Menteri Dalam Negeri Negara Bagian Bavaria dari CSU mengusulkan adanya "Zentraldatei islamistischer Terror" (Pusat Data Teror Islam) yang akan mengumpulkan data-data para tersangka teror dari seluruh negara bagian Jerman (Sueddeutsche Zeitung, 24 Maret 2004). Memang menurut stasiun televisi berita N24, pembicaraan RUU ini dibayangi serangan teroris di Madrid beberapa waktu lalu yang telah memakan korban lebih dari 200 orang. Dengan adanya serangan ini, negara-negara Uni Eropa merasa terancam, karena bahaya sudah datang di tanah air mereka.

Ini bukan pertama kalinya Beckstein memandang "Teror Islam" secara khusus. Pada banyak kesempatan beliau menyebut jilbab sebagai bukan saja lambang agama tapi juga lambang politik, bahkan pemikiran fundamentalis dan lambang penindasan perempuan. Menteri Dalam Negeri di negara bagian yang sering dipuji karena keamanan dan pertumbuhan ekonominya yang baik ini tidak sendirian. Menteri Pendidikan negara bagian yang sama, Monika Hohlmeier, juga dari CSU, mengatakan dengan jelas tentang jilbab bagi para guru sekolah, "Kita tidak boleh membuka pintu sekolah-sekolah kita kepada kaum fundamentalis dan ekstremis" (Sueddeutsche Zeitung, 30 September 2003). Bahkan seorang reporter stasiun televisi BR dan ARD, Simone Schneppensiefen, mendapat "perhatian khusus" dari para pemirsa gara-gara mengenakan kerudung dalam siaran berita. Schneppensiefen harus menjelaskan bahwa saat itu topik berita adalah soal Iran (Sueddeutsche Zeitung, 30 Desember 2003). Bahkan perkara kebiasaan perempuan Muslim untuk berenang terpisah dari laki-laki pun bisa menjadi masalah: di kolam renang Muenchen-Harlaching beberapa orang mengumpulkan tanda tangan menentang hari khusus perempuan di kolam renang itu. Mereka merasa terganggu karena banyaknya Muslimah yang memanfaatkan hari perempuan itu, padahal ada juga perempuan bukan Muslim yang berenang di sana (Program Monitor, stasiun televisi WDR, 8 Januari 2004).

Memang, tidak semua tokoh Jerman berpendapat jelek tentang Islam dan simbol Islam. Salah satu contohnya adalah Kardinal Joseph Ratzinger. Beliau agak tidak setuju dengan pelarangan jilbab, sebagaimana juga dengan wacana seandainya semua simbol agama dilarang di sekolah-sekolah (Sueddeutsche Zeitung, 16 Januari 2004). Ini menjawab pernyataan Presiden Republik Federasi Jerman Johannes Rau pada pesan Tahun Barunya tanggal 29 Desember 2003 yang memicu kontroversi. Rau mengatakan bahwa jika jilbab dilarang dipakai oleh guru-guru sekolah negeri, maka salib dan lain-lain simbol harus dilarang juga. Sebenarnya, perempuan-perempuan berjilbab juga (masih) bebas berjalan di tempat umum tanpa gangguan, masjid-masjid juga (masih) bebas menjalankan segala aktivitasnya termasuk Shalat Jumat. Masih banyak juga orang Jerman yang tidak menunjukkan gelagat buruk terhadap kaum Muslim. Orang-orang Muslim juga masih bebas belajar dan bekerja.

Namun citra buruk Islam yang masih menghinggapi pemikiran banyak politisi sedikit banyak menjadi beban bagi kaum Muslim yang menjadi minoritas. Apalagi jika RUU Imigrasi itu jadi disahkan dan menjadi alat bebas untuk mengusir orang asing yang belum terbukti melakukan aksi terorisme sekalipun. Hal yang menyedihkan adalah, bagaimana mungkin bangsa besar yang melahirkan Johann Wolfgang von Goethe, yang kerap membuat puisi tentang dunia Timur termasuk tentang dunia Islam, ternyata tidak mendapat pengetahuan yang benar tentang Islam dan umatnya. Lebih menyeramkan lagi jika mereka membaca peringatan dari Direktur CIA George Tenet: saat ini ada ratusan "sleeper" Alqaidah di Eropa yang siap melakukan aksinya (Yahoo Nachrichten Deutschland, 24 Maret 2004). "Sleeper" adalah orang yang tampaknya dalam keseharian orang baik-baik, namun suatu saat dengan suatu kode tertentu mereka siap melakukan aksi terorisme.

Pertanyaan menarik adalah: apa yang bisa dilakukan untuk kaum Muslim Eropa yang minoritas itu? Pandangan negatif tentang Islam dan pengikutnya bukan hanya terbentuk saat-saat ini setelah 11 September 2001. Murad Wilfred Hofmann, seorang Muslim asal Jerman mengutip dalam bukunya "Der Islam in 3. Jahrhundert" (Hofmann, 2000) peringatan Ketua Badan Penjaga Konsitusi Jerman, Peter Frisch, tahun 1997: "Ada tanda-tanda bahwa Islamisme dalam abad mendatang ini akan menjadi bahaya besar". Jadi, Islam sudah dianggap setali tiga uang dengan bahaya.

Tidak usah lagi dibahas besarnya peran media. Yang lebih dapat kita lakukan adalah apa yang ada di sekitar kita. Itu telah dilakukan oleh Muslim di kota Goettingen. Mereka telah mengadakan acara dialog dengan mengundang kantor walikota, polisi, dan kalangan gereja datang ke masjid untuk berdialog bersama. Dialog itu tempat di mana semua orang bebas bertanya apa saja tentang Islam yang dijawab saat itu juga. Konon dialog ini telah membantu memperbaiki citra kaum Muslim di sana. Usul yang mirip diungkapkan oleh Joachim Yusuf Huepper. Muslim Jerman yang beristrikan seorang Indonesia itu menawarkan model "partisipasi aktif sebagai alternatif asimilasi" dalam khutbah di depan jamaah Shalat Idul Fitri 1424 H warga Muslim Indonesia-Jerman di kota Muenchen. Konsep ini adalah konsep yang ada di tengah-tengah: tidak larut dalam kehidupan Barat yang berakibat hilangnya identitas keislaman, namun juga tidak terasing dalam kehidupan masyarakat Jerman. Masyarakat adalah manusia biasa yang membutuhkan kehadiran dan pengakuan. Yusuf bahkan lebih jauh mengemukakan contoh: alangkah baiknya jika ada seorang Muslim yang menjadi sukarelawan pemadam kebakaran atau perawat panti jompo. Contoh teladan juga dapat menjadi sarana dialog. Alhamdulillah, pengurus gedung IG Feuerwache, tempat penyelenggaraan Shalat Id tersebut kini malah menaruh kepercayaan kepada Muslim Indonesia untuk memakai gedung untuk setiap Shalat Id karena dinilai disiplin dan bersih.

Tariq Ramadan dalam buku "To be an European Muslim" (Ramadan, 2000) menyimpulkan dua titik ekstrem Muslim yang tinggal di Eropa. Di satu sisi ada Muslim yang hidup tanpa Islam. Mereka meleburkan diri sama sekali dan meninggalkan pertimbangan-pertimbangan keagamaan walaupun masih merasa sebagai Muslim. Di sisi lain, ada Muslim yang tinggal di Eropa namun sebenarnya tidak tinggal di Eropa. Mereka tetap tinggal di tanah air sebelumnya seperti Turki atau Maroko walaupun secara fisik ada di Eropa. Sebabnya, menurut Ramadan, mereka belum mampu membedakan antara pokok-pokok ajaran Islam dan budaya setempat yang timbul sejalan dengan perkembangan Islam di suatu tempat. Dalam praktiknya Ramadan mengajak kaum Muslimin untuk bergerak menuju "Muslim Eropa", yaitu Muslim yang tinggal di Eropa dengan lingkungan Eropa. Ini hanya dapat dilakukan dengan menyesuaikan secara hati-hati fikih yang sudah ada ke dalam bingkai Eropa. Barangkali ini yang dimaksud Azyumardi Azra dalam Resonansi Republika 12 Februari 2004 tentang konsep "Islam Jerman", yaitu Islam dalam konteks Jerman. Ramadan, cucu Imam Hasan Al-Banna, mencoba untuk menunjukkan bahwa konsep "Darul Islam" dan "Darul Harb" sudah usang dan hanya merupakan perumusan ulama terdahulu pada zamannya; kini adalah mungkin seorang Muslim menjadi warga negara yang baik dari sebuah negara Eropa yang sekuler selama kewajiban keagamaannya tidak diganggu.

Menarik juga untuk mengkaji tekad Ketua Umum PBNU dan PP Muhammadiyah dalam sebuah pertemuan tanggal 2 Januari 2002 untuk menampilkan wajah Islam yang damai seraya membimbing kembali kaum radikal. Barangkali tekad ini dapat diwujudkan paling tidak dengan mengirim dai-dai yang membawa pesan Islam damai ini ke Eropa secara teratur. Di Eropa cukup banyak Muslim Indonesia yang menjadi mahasiswa, bekerja, maupun karena pernikahan memilih tinggal di Eropa. Dialog-dialog keagamaan dalam bingkai fikih Islam untuk menuntun kehidupan kiranya menjadi tema menarik. Bagaimana menjelaskan Islam damai ini kepada politisi seperti Guenther Beckstein, kiranya menjadi tantangan berikutnya.

http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=157089&kat_id=16

Monday, March 15, 2004

Kegagalan Pembangunan Pertanian di Indonesia

From: Estananto <estananto@y...>
Date: Mon Mar 15, 2004 1:26 pm
Subject: Kegagalan Pembangunan Pertanian di Indonesia


Senin, 15 Maret 2004




Kegagalan Pembangunan Pertanian di Indonesia


Syaiful Bahari

LAPORAN Fokus (Kompas, 17/1/2004) tentang Kisruhnya
Politik Pangan banyak menguak tabir persoalan pangan
dan pertanian di Indonesia yang tak pernah selesai
dari dulu hingga sekarang. Beberapa narasumber telah
menyoroti akar persoalan dari mulai kebijakan
produksi, impor, keterbatasan lahan, sampai pada
kelembagaan di sektor pertanian.

Namun, keseluruhan pandangan itu belum secara tegas
menyatakan jalan apa yang harus ditempuh Indonesia
dalam membenahi masalah pangan dan sektor pertanian.
Sebagian lebih menggunakan pendekatan produksi, pasar,
dan mekanisme perdagangan yang selama ini menjadi
bagian dari paradigma pembangunan pertanian di masa
Orde Baru (Orba). Tulisan ini dimaksudkan memberi
pandangan lebih mendasar tentang kegagalan pembangunan
sektor pertanian di Indonesia sekaligus langkah apa
yang perlu ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah
pangan yang kian mengemuka.

SEJAK awal tahun 1970, paradigma pembangunan pertanian
di Indonesia berubah drastis seiring perubahan
paradigma pembangunan ekonomi kapitalistis yang
bertumpu pada modal besar. Dalam kerangka pembangunan
ekonomi saat itu, sektor pertanian tidak lagi
ditempatkan sebagai fondasi ekonomi nasional, tetapi
dijadikan buffer (penyangga) guna menyukseskan
industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan
ekonomi.

Sebagai penyangga, yang terpenting bagi pemerintahan
Orba adalah bagaimana mendongkrak produksi pangan
dalam negeri tanpa harus berbelit-belit, cepat, dan
tidak berisiko secara politik. Pilihan ini sebagai
antitesis program land reform di masa Orde Lama (Orla)
yang dijadikan landasan utama dalam program
pembangunan pertanian semesta. Kebetulan pada saat
bersamaan arus global politik-ekonomi dunia
memperkenalkan revolusi hijau sebagai lawan dan
alternatif revolusi merah.

Orba yang sejak kelahirannya menganut ideologi ekonomi
kapitalis cenderung melaksanakan pembangunan
pertaniannya melalui by-pass approach (jalan pintas),
yaitu revolusi hijau tanpa reformasi agraria
(pembaruan agraria). Karena itu, pembangunan di
Indonesia oleh Rohman Sobhan (1993) disebut sebagai
development without social transition (Wiradi, 1999).

Perubahan paradigma ini menciptakan missing link dalam
pelaksanaan pembangunan pertanian dari satu periode ke
periode lain. Pertanian tidak lagi dipandang dalam
aspek menyeluruh, tetapi direduksi sebagai sekadar
persoalan produksi, teknologi, dan harga. Tanah
sebagai alas pembangunan pertanian tidak dianggap
sebagai faktor amat penting. Persoalan keterbatasan
lahan petani yang rata-rata hanya memiliki 0,25
hektar, menurut Syaiful Bahari dari Bimas Ketahanan
Pangan, dapat diatasi dengan menempuh non-land based
development (Kompas, 17/1/2004), bukan dengan merombak
dan menata kembali struktur penguasaan tanah yang
lebih adil dan merata melalui reformasi agraria. Cara
pandang seperti ini merupakan cermin jalan pintas yang
mendominasi kebijakan dan strategi pembangunan
pertanian sejak masa Orba hingga sekarang.

Keberhasilan Orba dalam swasembada pangan terutama
beras pada tahun 1986 tidak sepenuhnya dapat dipandang
sebagai kebenaran paradigma dalam meningkatkan
kesejahteraan petani. Beberapa hasil penelitian yang
dilakukan Survei Agro Ekonomi (SAE) dan
lembaga-lembaga lain menunjukkan, justru di saat
produksi beras mencapai titik puncak, jumlah petani
gurem kian meningkat dari 50,99-persen menurut Sensus
Pertanian 1983-menjadi 51,63 persen tahun 1993 dan
berdasarkan sensus tahun 2003 terjadi peningkatan 2,6
persen per tahun. Hasil penelitian di tingkat mikro di
beberapa desa memperjelas keterkaitan antara
kepemilikan lahan, tingkat kemiskinan, dan kerawanan
pangan. Kelompok masyarakat paling miskin dan rawan
pangan di pedesaan adalah petani gurem dan buruh tani.

Lantas ke mana larinya surplus pangan itu? Siapa yang
memetik keuntungan jerih payah petani? Mengapa tidak
terjadi transformasi sosial-ekonomi pedesaan di saat
pertanian telah menciptakan surplus? Kelompok yang
paling diuntungkan selama zaman emas adalah kaum
industrialis. Kebijakan politik-ekonomi Orba
menggunakan surplus pertanian guna menyubsidi sektor
industri lewat politik pangan murah untuk menjaga
stabilitas upah buruh demi mempercepat proses
industrialisasi.

Di beberapa negara seperti China dan Korea Selatan,
strategi itu digunakan. Namun, ketika industri telah
menghasilkan surplus, sebagian keuntungan dikembalikan
lagi ke sektor pertanian. Hal inilah yang tidak
terjadi di Indonesia. Kasus Indonesia, setelah
pertanian diperas habis lantas ditinggalkan. Surplus
industri justru dipakai untuk konsumsi barang mewah,
pembangunan properti, dan sebagian lagi dibawa lari ke
luar (capital outflow). Pertanian hanya ditempatkan
sebagai subordinasi sektor industri sehingga tidak
pernah terjadi transformasi sosial-ekonomi di pedesaan
maupun tingkat nasional.

PERSOALAN pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi
dan produksi, tetapi juga soal daya dukung sektor
pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang
menjadi prasyarat melaksanakan pembangunan pertanian:
(1) akses terhadap kepemilikan tanah; (2) akses input
dan proses produksi; (3) akses terhadap pasar; dan (4)
akses terhadap kebebasan.

Dari keempat prasyarat itu yang belum dilaksanakan
secara konsisten adalah membuka akses petani dalam
kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk
berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam
berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari
kedua hal itu karena dianggap mempunyai risiko politik
tinggi. Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan
pada produksi dan pasar.

Padahal, apabila kita bercermin pada kisah sukses
pembangunan pertanian di Jepang, Thailand, Korea
Selatan, Taiwan, China, dan Vietnam, semuanya tidak
terlepas dan diawali dengan perombakan dan penataan
kembali struktur penguasaan tanah yang timpang melalui
program reformasi agraria. Reformasi agraria sendiri
mencakup redistribusi tanah kepada petani gurem dan
buruh tani, penataan produksi melalui pembangunan
infrastruktur pertanian, fasilitas permodalan dan
teknologi tepat guna, penguatan kelembagaan/organisasi
petani dalam bentuk koperasi atau asosiasi petani, dan
proteksi terhadap produk-produk pertanian.

Keberhasilan negara-negara itu dalam pelaksanaan
reformasi agraria telah memberi landasan kuat guna
menempuh jalan industrialisasi dan transformasi
sosial-ekonomi dalam skala nasional. Dapat dikatakan,
reformasi agraria hingga kini adalah jalan terbaik
bagi negara-negara agraris seperti Indonesia untuk
melakukan transformasi sosial-ekonomi dan membangun
fondasi ekonomi nasional yang kokoh. Sayang, di
Indonesia isu reformasi agraria masih menjadi momok
menakutkan karena dianggap sebagai warisan konflik
berdarah tahun 1965. Selain itu, pemerintah juga masih
amat percaya dengan resep non-land based development
sebagai cara efektif untuk mengatasi krisis pangan dan
sektor pertanian. Kita hanya bisa membanggakan
kesuksesan negara-negara Asia yang disebutkan di atas
tanpa melihat konteks sejarahnya.

Sebenarnya, sudah sejak lama masalah ketimpangan
penguasaan tanah ini terjadi, bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka. Persoalan ini merupakan warisan
kolonial Belanda yang belum pernah terselesaikan
hingga kini. Program land reform yang dilaksanakan
pertengahan tahun 1960-an akhirnya kandas di tengah
jalan seiring perubahan sistem politik dan ekonomi di
bawah Orba.

Jadi, agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu,
tidak ada jalan lain untuk membangun pertanian yang
kuat, kecuali keempat prasyarat yang sudah dijelaskan
di atas harus dipenuhi lebih dahulu. Jangan sampai
kita membangun pertanian seperti membangun rumah di
atas angin, tanpa disediakan alasnya lebih dulu.

Syaiful Bahari Wakil Direktur Eksekutif Sekretariat
Bina Desa

Tuesday, March 02, 2004

Seandainya saya jadi Presiden

From: "estananto" <estananto@y...>
Date: Tue Mar 2, 2004 6:11 pm
Subject: Seandainya saya jadi Presiden


(beberapa waktu yang lalu ada gagasan membuat artikel
semiserius "Seandainya saya jadi Presiden", sayang belum ada yang
menanggapi.)

You can not have a socially just society with high levels of chronic
unemployment. It is not in my view possible to have a just society
with mass-unemployment. Therefore employment and a generation of
employment again all know it, we have to deliver on it, has to be a
core part of what a just society is in contemporary conditions.

Anthony Gidden

Indonesia masih (selalu) ada di simpang jalan. Ia belum pernah sukses
memutuskan akan ke mana langkah selanjutnya. Perdebatan tentang
bentuk ekonomi apa yang harus diterapkan di Indonesia, apa itu
ekonomi Pancasila, bagaimana penjabaran pasal 33 UUD 1945 (lama), dan
peran kapitalisme internasional dalam kebijakan pemerintahan telah
menjadi tarik menarik berbagai kepentingan, sementara posisi
Indonesia dalam persaingan global makin terpuruk ketika bintang-
bintang baru seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam lambat laun naik
sebagai alternatif penanaman modal.

Sementara 10,8 juta penganggur terbuka bangsa Indonesia belum tahu
harus bagaimana menempuh nasibnya, belum ada visi dan misi yang jelas
dari pemerintah untuk memerangi pengangguran, bahkan juga memerangi
korupsi yang telah membudaya itu. Kita harus menemukan cara baru
untuk mengatasi dua masalah besar ini.

Ada satu lingkaran setan yang harus diputus: mengatasi korupsi
membutuhkan aksi struktural dan kultural sekaligus, untuk melakukan
kedua aksi tersebut dibutuhkan politisi dan aparat pemerintahan yang
bersih. Di sisi lain masih dipermasalahkan anggaran pendidikan yang
diamanatkan besarnya hingga 20% dari anggaran negara.

Saya melihat, pengangguran adalah masalah terbesar jangka pendek yang
harus segera diatasi. Caranya dengan mengalokasikan dana pendidikan
sebagai dana training keterampilan terutama dalam bidang-bidang
jasa&pelayanan, manajemen, hukum, dan teknik (mesin, elektro,
informatik). Penekanan kepada keahlian praktis bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kaum buruh (termasuk pembantu rumah tangga dan
TKI); perusahaan yang secara reguler memberikan pelatihan kepada
buruhnya akan mendapat keringanan pajak. Sekolah Menengah Kejuruan
dan Politeknik akan menjadi ujung tombak pendidikan nasional, Balai
Latihan Kerja harus ditambah agar buruh yang sudah bekerja dapat
meningkatkan keahliannya.

Dampak kedua, terutama dengan ditingkatkannya pelatihan manajemen
kepada rakyat adalah diharapkan jumlah Usaha Kecil Menengah (UKM)
yang dapat diandalkan akan meningkat. Di samping itu dengan
pengetahuan hukum praktis, dengan kursus-kursus hukum bagi rakyat,
diharapkan rakyat akan mampu menegakkan law enforcement dari bawah.
Jadi pemberantasan korupsi harus dilakukan from above and from bottom
secara simultan. Pembersihan aparat kehakiman dengan bantuan rakyat;
Rasionalisasi gaji aparat penegak hukum secara berangsur dalam bentuk
bonus (jika pemasukan negara dapat dinaikkan, mereka akan mendapat
bonus tahunan); rasionalisasi gaji pegawai negeri dalam bentuk
reformasi birokrasi yang telah dimulai sekarang; semuanya dilanjutkan
dalam sebuah sistem terpadu.

Investor asing diharapkan masuk ketika melihat keberhasilan pelatihan
massal ini. Setelah sistem hukum berangsur kuat, pemerintah dapat
mengucurkan kredit kepada UKM yang baru tumbuh, dengan prioritas UKM
yang mengelola hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan dengan
nilai tambah teknologi hingga ke pemasaran dan menyerap lebih dari
100 tenaga kerja. Teknologi tinggi seperti semikonduktor, pesawat
terbang, kereta api, dan permesinan diupayakan dengan cara modal
patungan dalam negeri dan asing. Peran aktif perguruan tinggi teknik
harus lebih ditingkatkan sehingga 20% penghasilan perguruan tinggi
teknik didapat dari kerjasama dengan industri.

Industri pariwisata diarahkan untuk menjual keindahan alam dengan
membangun infrastruktur yang cukup (transportasi, penginapan, dan
pelayanan) kepada turis mancanegara dan domestik. Tawaran pariwisata
petualangan (adventurir) mempunyai pasar yang cukup besar, seraya
menghindari citra pariwisata seksual. Lebih jauh pariwisata untuk
keluarga (dua orang tua dan anak-anak) menjadi target berikut untuk
dicapai, dengan motto "Family Holiday in a Tropical Country".

Target umumnya adalah mengurangi pengangguran terbuka hingga 3 juta
orang saja pada tahun 2009, meningkatkan pemasukkan pajak sebesar
15%, dan meningkatkan kepercayaan internasional serta kepercayaan
diri bangsa.

Budaya bangsa harus disesuaikan dengan tantangan masa depan dan tidak
melulu menoleh ke belakang. Sendi-sendinya adalah "terbuka, jujur,
menghargai kerja, solider, dan religius". Selain itu harus ada
peraturan setingkat UU yang mengatur anti-diskriminasi warga negara
berdasarkan warna kulit, suku, dan agama. Negara harus membantu
memberdayakan masyarakat agar kuat menjadi partnernya.