Tuesday, March 08, 2005

Pebisnis keluhkan reformasi pajak

Harian Bisnis Indonesia 8 Maret 2005

Pebisnis keluhkan reformasi pajak

JAKARTA (Bisnis): Kalangan pelaku usaha menginginkan kejelasan reformasi pajak serta menuntut pemerintah sungguh-sungguh memangkas biaya bisnis.
Dalam dialog dengan jajaran departemen keuangan, para pengusaha mengeluhkan berbagai permasalahan yang telah berlangsung lama namun belum ada perubahan berarti.
Mereka menyebut berbagai retribusi yang harus dibayar pengusaha maupun 'retribusi tidak resmi', aturan perpajakan serta perilaku aparat pajak hingga persoalan suku bunga yang tidak kunjung turun hingga ke satu digit.
"Inti dari pertemuan Kadin dengan jajaran Menteri Keuangan maupun Menteri Perindustrian hari ini [kemarin] adalah dunia usaha kita tidak kompetitif karena high cost economy yang notabene karena aturan pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah," ujar Ketua Umum Kadin Indonesia M.S. Hidayat sesuai dialog itu kemarin.
Pertemuan itu dilangsungkan untuk mencari jalan keluar dalam menekan biaya bisnis, setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.
Pertemuan tersebut dihadiri kalangan pengusaha anggota Kadin serta Menteri Keuangan Jusuf Anwar, Menteri Perindustrian Andung Nitimihardja, Dirjen Pajak Hadi Poernomo, serta kalangan perbankan.
Bankir yang hadir antara lain Dirut Bank BNI Sigit Pramono, Dirut Bank Mandiri ECW Neloe serta Direktur Keuangan BCA Jahja Setiaatmadja.
Paket reformasi pajak yang direncanakan pemerintah mengagendakan pemutihan pajak, namun sampai saat ini belum jelas. Karena itu, dalam dialog tersebut pengurus Kadin Chris Kanter mengingatkan Menkeu agar dalam reformasi perpajakan yang sedang berjalan sebaiknya meliputi pembahasan UU tentang pengampunan pajak dan UU Peradilan Pajak.
Pengusaha Anton J. Supit menambahkan persoalan pajak yang dihadapi dunia usaha meliputi dimensi yang sangat luas. Dia menuding kumulatif tarif pajak yang tidak kompetitif, tiadanya kesetaraan perlakuan antara WP dan pemungut pajak, kinerja administrasi perpajakan yang tidak efisien serta dominannya peran institusi perpajakan.
Ketua Asosiasi Emiten Indonesia AEI Airlangga Hartarto juga mengeluhkan adanya pemeriksaan pajak yang berlebihan terhadap sejumlah emiten tertentu. "Jangan sampai perusahaan terbuka terlalu 'ditembaki' soal pajak ketimbang perusahaan tertutup," ujarnya dalam diskusi itu.
Namun Menteri Keuangan hanya menanggapi berbagai keluhan pengusaha itu dengan jawaban-jawaban singkat dan sembari 'membanyol'. "Anda menghitung saja salah... bagaimana mengisi SPT," ujarnya sembari tertawa menanggapi ucapan Sofjan Wanandi saat menyampaikan poin-poin keluhannya.
Bahkan menanggapi tudingan dari berbagai pengusaha yang hadir pada pertemuan tersebut menyangkut 'aktivitas' Ditjen Pajak dalam menggapai WP, Jusuf hanya berkomentar pendek: "Tidak ada dusta di antara kita."
Terkait dengan keluhan emiten, Jusuf berjanji akan memberikan yang terbaik. "Emiten kan menjadi primadona pasar modal," candanya.
Potensi hilang
Di tempat terpisah, Dirjen Pajak Hadi Poernomo mengatakan potensi kehilangan (potential loss) pajak dari sektor perbankan dan pasar modal mencapai Rp679,2 triliun.
Dia menjanjikan jika Ditjen Pajak diberi keleluasaan terhadap perbankan, pasar modal, dan keterbukaan transaksi penerimaan pajak bisa tiga kali lipat per tahun.
Di pasar modal, lanjutnya, Ditjen Pajak juga tidak mendapatkan informasi data pemain saham.
Padahal, merujuk Securities and Exchange Comission (SEC), otoritas pasar modal AS itu memberikan data 40.000 pemain saham ke aparat pajak. (gak/ wiw/shm)

No comments: